Ayayay. Wang memang banyak uang, lagi-lagi ia mbayari waktu saya usul kami ke Sam poo Khong menjamu mbak Wawa, suami dan anaknya. Welehhh dibayari terus.
"Nggak papa nggak tiap tahun." Haha betul juga kalau Wang njajakke dan mbayari semua tiket setiap tahun, bisa bangkruttt. Semoga cuma kali itu saja ya, Wang.
Tapi Wang, kamu lupa bahwa sepandai-pandainya tupai melompat akan jatuh juga. Waktu kami makan di “Majesty“, resto yang damai pada kami berempat (karena punya menu vegetarian dan dagingnya itu), dia kecolongan.
Ceritanya, Wang ke meja kasir untuk membayar.
"Lho, wis dibayar tho?" Protes si Wang pada kasir. Uang di tangan dikembalikan ke kediamannya. Dompet.
"Iya..." Mbak Wawa, admin Kompasiana itu mengangguk.
"Hah, kapaaaan?" Saya yang ikut makan tidak enak juga. Kok bisa ya, mbak Wawa bayar tanpa sepengetahuan kita?
"Iya-ya ... Lis yang nasinya masih segunung tapi gak abis itu ikut bersalah. Lumayan, di kos gak usah masak, ya Lis?
"Harusnya kami yang bayarin karena kami yang tuan rumah, orang Semarang.“ Muka saya tambah kasihan karena keduluan dibayari.
Ini mematahkan image yang saya tangkap bahwa biasanya Kompasianer yang jadi tamu (datang), kalau kopdar mbayari (betul?). Alamak.
"Nggak papa... " mbak Wawa tetap menggendong adik yang beratnya hampir setara 10 kg beras. Jiah. Sini tak pijitin lagi, mbak Wawa.