Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tari Sesonderan Buka Pameran Foto Jerman

9 September 2015   14:04 Diperbarui: 9 September 2015   14:52 1730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Lis. Kompasianer Listhia Hardiati Rahman. Siapa yang gak kenal artis Commuter di Jakarta itu?

Tak salah kalau saya minta dia untuk membuka pameran foto Jerman sekaligus pameran lima foto Kotekers dari lomba essay foto Koteka dan kartu pos Fiksiana Community di UPGRIS Semarang, 2-3 September 2015. Tadinya mau batal karena Lis mau ada PKL di Jepara, Tuhan menjawab kekhawatiran itu, "Tarian Listhia, rejekimu, Gana." Terima kasih, ya Allah. Terima kasih, dik Lis.

Lewat tarian Sesonderan, tarian penyambutan tamu yang rancak dari Malang, Jawa Timur itu ia memilih dibawakannya dengan baju ungu, selendang hijau pupus.

Sesonderan?

Tari Sesonderan, agak mirip dengan Tayub atau gambyong dari Jawa Tengah. Tarian tersebut menjadi tarian pergaulan untuk mengajak orang menari, bersukaria. Lihat saja gerakan tebar sampur dan lenggat-lenggotnya. Tari itu juga diisi gerakan tari Jaipong dari Jawa Barat. Musiknya memang beda sih, dengan Tayub atau Gambyong yang lebih lembut. Bagus untuk disetel pagi-pagi biar tidak ngantuk.

Tari Gambyong sendiri sering saya lihat saat ada manten atau wisuda sebuah kampus. Baju yang dikenakan saat Gambyong biasanya didominasi warna hijau dan kuning (warna dewi Sri), meski tidak menutup kemungkinan pilihan warna variasi lain.  Barang tiga sunduk mentul di kanan, diimbangi rampai bunga melati yang menggantung dari kondenya di sebelah kiri. 

Tayub, pernah lihat waktu sunatan. Semoga akhir September ini, saya jadi nari Gambyong di festival Indonesia di Konstanz. Sudah lupaaaaa ... latihan lagi!

***

Ya, kembali ke Lis. Saya senang berhasil menggaetnya dalam pameran, meski sempat kecewa memang, karena ....

"Lis, entar pakai bajunya apa?" Pesan saya kirim.

"Ungu agak keijo-ijoan" Anak gizi UNDIP semester 7 itu membalas inbox FB saya. Pikiran melayang membayangkan ijonya rumput yang tak bergoyang.

 "Yaaaahhh ... Ungu gak punya. Gak jadi kembaran kita" Balasan message sampai.

"Mbak sih gak bilang." Entah seneng karena gak jadi kembaran sama saya atau sedih karena gak bisa jadi twin dengan "idolanya" yaaaa (hueeek).

 "Seharian kemarin pasang gambar pameran sibuk banget, gak ingat. Baru ingat tadi ... tapi kamu udah ambil baju di ibu sanggarnya ya." Tanggal 1 September itu saya ngetem di UPGRIS, memasang kertas yang sudah dilekati foto Jerman.

Ah. Biru. Itu warna kebaya yang saya pilih. Kalau merah kan udah waktu di kompasiana Jakarta. Yang toska, udah dicoba di seminar di Jepara. Mau yang baru. Halahhh, kemayu.

  

 
 
 
  

Dan ketika dua jam sebelum pembukaan pameran, baju biru itu baru melekat saat di WC kampus lantaran tadi pakai rok kembang.

"Wih cantiknyaaaaa ..." Dosen, staff dan siapapun yang kenal saya dan melihat langsung komen.

"Yo, mestiii ... Mumpung!" Gaya saya kemayu. Lenggat-lenggot berjalan dengan sekat kain batik warna putih. Idiiih, malu-maluin kaaan.

"Ah, nyedhaki sing ayu dan nom ahhh ..." Seorang staf mendekati saya yang menurutnya lagi ayu dan tampak lebih muda dari usianya (halah).

"Nom opo, makan kalender yooo..." Kepala saya pacak gulu. Hahaha ... Orang-orang tambah gemes. Tapi gayeng, pagi-pagi sudah ada hiburan. Ramai. Iya, karena saya. G-a-n-a.

Tak berapa lama setelah kutak-kutik gambar yang belum beres, saya hubungi Lis pada pukul 09.00.

"Jangan lupa jam 10.00 ya. Kamu nari pas pembukaan." Peringatan itu untuk alarm Lis bahwa dia hanya punya waktu sejam untuk sampai ke UPGRIS di lobi. Gak boleh telat. Saya paling takut kalau ada hal yang tak beres hari itu. Saya kan PIC nya.

"Sipp ...". "Adik" temuan saya di Kompasiana itu mengiyakan. Saya legaaaa ....

Satu jam berlalu.

"Sudah pukul 10.00, kita mulai sekarang?" Mbak Nita MC Kampus mendekati saya. 

"Aduuuh, yang nari belum datang lagi dalam perjalanan. Bagaimana kalau narinya setelah pembukaan?" Cemas-cemas tak bergembira. Lis kok ilang?

"Sebenarnya tari lebih baik sebelum acara pembukaan." Perempuan berjilbab itu menolak usul saya kalau acara dibuka dulu baru nanti 30 menit kemudian tarian.

"Kamu di mana?" Sibuk tangan saya ketak-ketuk keyboard HP.

"Taksiiiiiii ...." Listhia menyebut alat transportasi lux yang dipilihnya.

"Aduhhhhh ..." Kecemasan saya belum juga punah.

Tak berapa lama, Lis sudah nongol di antara anak tangga menuju lobi.

"Ke mana aja sih, Lis?" Sudah siap mencowel pipinya yang seger dan mukanya yang kinyis-kinyis.

"Tadi lupa jepitnya gak adaaaa ..." Mata dan senyum Lis yang hampir mirip punya anak ragil saya itu menjawab.

"Walaaahhh ... Ya udah ke pojok sana ya keluarnya dari sana. Areanya sini-ni. Mbak Nita, bisa dimulai sekarang? Lis sudah di sini" Tangan saya melambai pada MC cantik itu.

"Sebentar mbak, bapak rektor sedang ada meeting." Setelah panik nunggu Lis karena pak Rektor sudah siap, giliran ndomblong, nunggu lagiiii ... pak rektor yang sedang ada sesuatu.

Tak berapa lama, semua clearHappy. Tarian, dimulai

 
 
 
 

Syukurlah acara pembukaan pameran segera dimulai. Listhia menarikan rancak itu sebelum pidato dijembreng. Begitu dia seolang melepas selendang warna hijau yang kepanjangan dan ditalikan itu, saya sudah salah sangka bahwa bapak rektor yang akan diajak. Xixixi ...

Ternyata tidak. Si Lis malu kali yaaaaa. Xixixi ..

"Sebenernya tariannya memang ngajak orang nari gitu ..." Celoteh Listhia (yang lupa pakai giwang?) usai menari.

"Lho, kenapa nggak?" Dukungan datang dari saya. Suasana pembukaan biar nggak kaku pidato mulu.

"Lis, kamu tuh tulisan sama orangnya bedaaaa" Mbak Wawa menyentil. Dari hasil penelitian admin Kompasiana itu beberapa orang memang beda dengan tulisannya waktu ditemui di dunia nyata. Hahaha, "Kalo mbak Gana nih, rame terus".

"Hahaha ... bukan rame mbak, ember borot. Iya nih, Lis pemalu ... kalau saya malu-maluin" Tawa saya lepas. Mumpung di Indonesia, belum dilarang.

Tubuhnya tadi begitu gemulai mengikuti irama musik jreng-jreng. Dan ketika saya bergaya bak fotografer jeprat-jepret modelnya:

"Ahhhh ... mbak Ganaaaa ..." Lis merajuk manja. Malu dipoto terus-terusan oleh saya yang pakai rok batik, bisa mbegagah.

"Yah, mumpung lagi cantik, dandan lamaaaa, narinya lima menitan. Eman-emaaaann ... ayo nggaya lagi." Kumat saya ini. Tapi tetap saja ... Lis, malu-malu kucing dan saya yang malu-maluin. Terima kasih banyak dan jangan kapok, ya Lis. Menari itu bikin budaya lestari. Teruslah menari di dalam negeri, siapa tahu bisa ke luar negeri.

Ditunggu terbitnya bukumu, ya Lis dan don't forget ... bagi satu! (G76)

 

Semarang, 3 September 2015

PS: OMG, fokus kamera dan memory cardnya rusakkk, gambarnya jadi aneh...

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun