Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Pak Ogah di Check Point Charlie, Berlin

23 Juli 2015   15:28 Diperbarui: 23 Juli 2015   15:28 1299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Pak Ogah, bantuin dong"

"Cepek dulu, dooonggg."

 

Begitu ingatan saya pada cerita si Unyil di TVRI. Karena sering mengharap imbalan untuk melakukan sesuatu dan malas kalau tidak dapat apa-apa, ia ogah alias tidak mau melakukan apapun. Harus ada cepek alias seratus. Jaman segitu, lumayan duitnya. Sekarang bisa jadi, dibuang (sayang).

 

Pak Ogah barangkali hidup di dunia lain, yang kalau tanpa melakukan sesuatu bisa mendapatkan sesuatu atau kalau melakukan sesuatu semua diukur dengan nilai rupiah. Tidak kenal amal, tak tahu kebaikan dan kebajikan. Padahal banyak tindakan atau kegiatan di dunia ini yang tak bisa dibayar dengan uang, contohnya persahabatan atau pertemanan sejati. Tanpa uang, bantuan pasti akan datang tanpa dicari.

 

Hidup yang sia-sia dengan menganggur tidak melakukan hal poisitif padahal merupakan kerugian waktu. Oh, nö!  Ah, pak Ogahhh. Killing time orang memang beda-beda.

 

Eh, ternyata pak Ogah tidak hanya di Indonesia, lho.

 

Ceritanya, kami pernah jalan-jalan ke Berlin. Di sana, kami menemukan jalan Check Point Charlie (wilayah Soviet dan Amerika). Tempat itu dahulu digunakan sebagai kontrol warga yang wara-wiri keluar-masuk Jerman, selain check point Alpha (wilayah Inggris) dan check point Bravo (batasan Amerika).

 

Check Point Charlie itu, berupa dua arah jalan yang di tengah-tengahnya ada gardu penjaga. Tumpukan karung goni yang saya gak tahu isinya apa tapi pasti bukan duit, pasir kali ya, ada di depan gardu. Mungkin dulu buat sembunyi biar tidak tertembak atau tempat meletakkan brem senjata agar stabil menembak musuh. Dan maksud sekarang, demi menggambarkan suasana jaman dulu sebenar-benarnya. Meski ada turis Inggris nyeletuk, katanya malah mirip fantasi Disneyland. Halah.

 

 

***

 

Di sana. Iya, di Check point Charlie. Ayayay ... Terlihat tiga orang pemuda berseragam serdadu Amerika, Perancis dan Rusia waktu jaman perang dengan bendera negara. Ih, lucuuu, tapi ... emm sebentar ...

 

"Boleh anak-anak foto bersama kalian?" Seorang ibu menuntun dua anak kecil yang sedari tadi digandeng biar tak hilang. Maklum, banyak turis meski waktu itu masih bulan Mei. Adem-panas.

"Dua euro satu orang..." Gubrakkkkk! Si mas yang wajahnya ganteng itu mengajukan syarat berfoto wefie bersama mereka. Si ibu mengangguk dan memberi receh padanya setelah sesi foto selesai. Saya meringis. Waaaah saya kira gratis. Eh, mana ada yang gratis di tempat wisata, ya? Ini namanya “cerdas“. Ekonomi kreatif. Meskipun hal ini menuai kontra, khususnya pihak Amerika. Seorang veteran Amerika Serikat yang pernah bertugas di check point Charlie, Kolonel Vernon Pike menganggap tindakan itu tidak bisa ditolerir dan tak menghormati sejarah.

Tau kenapa? Check point Charlie itu kan tempat penting sebuah drama penembakan remaja 18 tahun dari Jerman timur oleh komunis di tanah tak bertuan. Check point Charlie juga tempat yang ngedab-edabi di mana dua tank Soviet dan Amerika bertemu muka. Sangar.

 

Saya pun jeprat-jepret. Anak-anak gak mau fotoan sama “pak Ogah“. Ya, sudah, kami pun mlipir ke panorama Charlie Check Point, black box. Terlihat turis makin banyak kayak semut. Sarangnya, “snackpoint Charlie“, junk food yang ada di sekitar gang, kian ramai kayak antri beras jaman Belanda.

 

Di seberang gardu si Charlie tadi, ada "black box" yang ada kedainya. Dijual souvenir, pemutaran film jaman perang di museum Charlie (5€), museum Jerman Barat dan Jerman Timur, replika beteng batu, dan papan panjang yang memuat gambar dan sejarah PD II. Oh, ya. Jangan lupa bawa paspor saat berkunjung. Kedai souvenir itu akan memberikan stempel sebagai memori bahwa Kompasianer sudah melewati Check Point Charlie.

 

Kedai itu mini tapi tetap unik, menjual kartu beragam desain dan ukuran dengan pecahan tembok berlin menempel. Ada yang seharga 2,89€. Jika lapar, cobalah Crepes, rata-rata 2,80€ atau cicipi roti dengan sosis juga murah. Kalau mau agak “mewah“ dan bisa duduk nyaman, nongkrong di Einstein Cafe saja.

 

Jika ingin tahu banyak tentang sejarah lengkap Check Point Charlie, masuki museum Check Point Charlie sajalah, di seberang gardu pak Ogah tadi alias di seberang kafe. Mau saya temani? Cepek duluuu ... pakai Euro, ya. Ha-ha-ha! Bercanda.(G76)

 PS: Lokasi check point Charli tak jauh dari museum Trabi (kendaraan Jerman jaman dulu) dan Bundestag.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun