Jumat. Lebaran. Alamaaak, gak bisa mudik pas hari H. Anak-anak belum liburan dan memang jadwal saya buat sedemikian rupa agar semua acara yang diperlukan pas waktunya.
Dan pagi-pagi sudah menelpon bapak-ibu dan saudara-saudara, mengucapkan selamat lebaran, mohon maaf ... sedih juga ya, kalau rumahnya jauh begini. Luar negeri bukan sekedar luar kota, mana tahaaan.
Ya, udah. Idul Fitri. Suasana tetap normal di Jerman tempat saya tinggal. Tidak ada hiruk pikuk yang berarti seperti di kampung halaman. Iya, dulu, biasa di depan rumah ada sebuah lapangan kampung depan masjid penuh dengan karpet koran, di mana orang-orang mulai bersembahyang. Sholat Idul Fitri. “Allahu akbar-Allahu akbar ... Allahu akbar ... laa ilaa haillallah ... “
Abdullah, tetangga kami cerita. Di daerah tempat kami, masjid Turki Tuttlingen dipenuhi 800 jemaah. Spaichingen lebih sedikit. Saya tak ikut karena tahun lalu mau ijin datang katanya khusus laki-laki saja. Ya, udah, di rumah.
Rayakan lebaran bersama tetangga dekat
Sore hari usai mengantar anak acara perpisahan kepala sekolah dan ia menyanyi bersama grup koor-nya, kami lewat perumahan orang Turki.
Hey, rameee ...
Ada sebuah tenda di dekat jalan. Beberapa orang duduk-duduk dan ngobrol. Gak biasanya.
Saya menepikan mobil.
“Assalamu’alaikum ...“ Kedatangan saya disambut dengan tarikan satu kursi. Saya jabat tangan orang Turki itu satu-satu. Kuat!
“Wa’alaikum salam ...“ Orang-orang Turki itu membalas salam.
“Kalian merayakan Zückerfest?“ Selidik saya. Kami pun mengobrol. Bagi orang Turki, Zückerfest adalah Ramazan Bayrami atau Seker Bayrami, hari perayaan akhir Ramadhan yang kita kenal sebagai hari raya Idul Fitri. Mereka biasa berkumpul di satu tempat, saling mengucapkan selamat telah menuntaskan Ramadan, saling memaafkan atau menghentikan permusuhan yang sebelumnya ada. Anak-anak akan menjadi perhatian orang dewasa.
“Kamu mau teh, Gana?“ Gonja, perempuan berhijab itu menawari saya teh khas Turki yang pait getir dengan teko tumpuk uniknya itu.
“Ya, pasti.“ Anggukan saya meyakinkan sang perempuan untuk menuangkan di gelas mungil dengan tatakannya. Porsinya memang kecil tapi mak clenggg! Kental.
“Silakan ambil Sarma, nasi yang dibungkus daun anggur dan ini ... ada lapisan keju kambingnya.“ Elif, teman yang pernah mengundang kami ke perkawinan anaknya itu menawarkan makanan yang ada di meja.
“Sini ...“ Lambaian tangan saya mengundang anak yang ada di dalam mobil, menunggu. Iapun datang dan duduk di sebelah saya. Ia ditawari coklat oleh Abdullah. Kemudian, sebuah koin senilai 2€ diberikan seorang kakek padanya. Katanya untuk uang jajan. “Ah, sama, kayak di Indonesia ada angpao. Duit.“ Kami pun tertawa.
Rayakan lebaran bersama tetangga jauh
Hari Minggu. Saya undang teman-teman Indonesia bersama keluarganya ke rumah kami. Merayakan lebaran bersama karena tidak bisa mudik. Tempat tinggal mereka tak jauh, hanya 15-25 menit dari rumah kami.
Sejak seminggu yang lalu, masing-masing sudah dibagi masakan yang akan dibawa. Diah memasak ketupat, sambal pecel dan goreng krupuk, Cici membawa rendang. Lumpia, sambal goreng telor, bakso, kolak dan ayam bagian saya. Mereka datang sejak pukul 14.00. Angin agak kencang dan pagi hari sudah hujan. Untung segera kering, tamu bisa keluar ke teras atau balkon rumah. Segar.
Beberapa tamu duduk di dalam ruangan, ruang makan. Makanan sudah dihangatkan lagi. Sembari menunggu, kami ngobrol. Salah satu tamu adalah orang Turki, temannya teman yang dibawa teman saya. Ha-ha-ha.
Kalau kemarin temannya teman yang dibawa teman saya itu diajak ke keluarga Turki untuk merayakan Idul Fitri, giliran orang Turki itu yang diajak ke perayaan keluarga Indonesia.
Asyik. Makanan Indonesia yang mirip-mirip menu lebaran ada, orang Indonesia ada, musik Idul Fitri ada ... kurang apa?
Akhirnya, puas kekenyangan, makanan yang sisa dibungkus untuk dibawa tamu pas pulang. Tidak mubadzir.
***
Nah, begitu cara saya merayakan Idul Fitri dengan tetangga dekat dan tetangga jauh. Gak jadi sedih-sedih amat. Tetap seru lebaran bersama tetangga. Jauh dekat sama saja, lho.
Bagi yang bisa mudik pas hari H ke tanah air aka kampung halaman, berbahagialah.
Lelah pasti lelah, bangkrut bisa jadi ... tapi siraman gembira yang berlimpah sebab bertemu keluarga sungguh tak tergantikan. Momen yang indah setahun sekali. Bagi-bagi ceritanya, ya?
Lantaran pekerjaan dan rutinitas menunggu di depan mata, selamat menikmati suasana lebaran dan mudik, selagi bisa hingga batas waktunya. Kemudian, lanjut nulis di Kompasiana. Jangan dilupa.(G76)
P.s: Selamat merayakan hari kemenangan, semoga mudiknya menyenangkan dan diberi kebaikan dalam membuka lembaran baru. Mohon maafkan kalau saya ada salah kata dan perbuatan meski kita ketemu ... hanya dalam maya saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H