Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Mengapa Kampung Orang Tua Saya Kebanjiran?

24 Januari 2014   22:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:29 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prihatin sekali mendengar berita banjir di Indonesia, khususnya di ibukota Jakarta dan kampung halaman saya, Semarang. Sudah tradisi? Harus diakui, tampaknya iya. Mengapa ini selalu terjadi? Tidak usah menyalahkan pemdanya saja. Masyarakat juga ikut menyumbang kesalahan pada alam ini. Koreksi harus dimulai dari diri sendiri. Wah, saya juga salah, ik?

***

Baru saja sebuah email datang dari seorang mantan sekretaris saya yang akhirnya jadi sekretaris suami saya. Sekarang dia sudah jadi bos. Memiliki usaha sendiri. Bersyukur. Oh, ya, saya memang berbagi sekretaris pada suami saya. Suami saya itu takut kalau ia memiliki sekretaris perempuan, apalagi yang bahenol (secara suami saya ganteng presto haha). Bisa kepencut, tergoda, digoda dan masih banyak kesulitan yang akan dialaminya. Kalau saya, terserah yang menjalani saja.

Nah, kawan kami itu mengabarkan bahwa sudah 10 hari ini, kota Semarang digrujug udan terus. Bapak ibu saya waktu saya telepon juga biasa-biasa saja, wis kulino. Hujan berhari-hari ini mengakibatkan daerah-daerah yang rawan banjir seperti Bubakan, Tawang, Simpang Lima, Tlogosari dan tentu kampung daerah orang tua saya tinggal ... kebanjiran, kelelep separo. Meski ada yang bilang banjir itu berkah (bagi tukang dorong, becak, gerobak, penjaja pinjaman payung), ada yang harus dicermati dari musibah ini. Alam sedang marah!

Saya pernah mendengar sebagian orang menyalahkan pemda „Bagaimana ini, jangankan langkah pencegahan pra musim hujan, tindak lanjut penanggulangannyapun kurang gregetnya. Mana? Mana pemda?“

Lhooooo ... sebentar. Lha masyarakatnya sendiri yang menghuni daerah itu bagaimana? OK, kalau memang pemda lelet, bisa disalahkan sedikit. Tapi bukankah butuh peran serta masyarakat? Saya, dia, Kompasianer dan semuanya?

Lihat saja cara orang membuang sampah. Saya paling gemes kalau melihat anak-anak sekolah dan penjaja makanan membuang sampah sembarangan di sekitar rumah orang tua kami yang notabene dikelilingi gedung sebuah sekolah swasta yang lumayan bagus dan terkenal itu. Terutama plastik, iya ... sampah yang tak mudah diurai tanah dan tentunya mbunteti gorong-gorong.

Apa di sekolah mereka tidak diajari cara membuang sampah yang baik dan benar dan akibat brutal dari cara manusia yang tidak ramah lingkungan? Apa orang tua tidak mencontohkan dan mengingatkan selama mereka di rumah? Tuh, banjir ... ozon sudah bolong dan entah apalagi. Atau sudah diajari tapi nduableg alias bandel? Entahlah, saya belum sempat wawancara, hanya pernah mendelik, membelalakkan mata sembari mengingatkan, „Ehh ... jangan tho dik, buangnya di tempat sampah jangan di selokaaaaan. Tak slentik, lho!“

Kemudian keserakahan manusia, oalahhhh. Semua ditanami gedung beton, semua dihiasi plester (lantai dari semen dan pasir, yang katanya biar lebih mulus, lebih wah, lebih bagus ... padahal justru tidak bisa meresap air genangan sementara gotnya sudah sumpek mampet). Ya, sudah, air banjir disuntak ke dalam rumah saja. Hmmm ... karena banjir, tiap RT di wilayah kampung orang tua saya berlomba-lomba meninggikan jalan yang sudah berubah pavingan. Para pemilik rumah mulai gemas pula karena jalan jadi lebih tinggi dari rumah, membuat benteng kokoh agar air dari jalan tidak masuk rumah. Tuh, tinggian mana sekarang? Jalannya apa rumahnya? Ananging, langkah begini sampai kapan. Apakah rumah dan jalan itu harus menyundul langit?

Manusia serakah? Juga iya, kampung orang tua saya yang dahulu memang sudah sering banjir kalau hujan deras itu, dahulu masih kaya akan ladang, kebun, sawah. Sekarang? Bulan September 2013 yang lalu terakhir pulang, semua sudah musnah alias amblas. Sudah ditanami rumah-rumah bertingkat dan bagus serta tak lupa berpagar tinggi (jadi pengen penekan, menaikinya). Dikelilingi gedung-gedung sekolah yang magrong-magrong, tinggi menjulang dan terkesan wah. Masalahnya, polusi tak hanya soal urusan mata saja (kelihatan penuh, sumpek, sesak, ramai). Urusan polusi udara dan suara tambah runyam di kampung kami. Namanya kampung, gang, pasti sempit. Nah, asap motor dan kendaraan selalu menghiasi setiap hari. Iuran, kok, asep? Padahal saya sempat sebulan di sana. Bisa uhuk-uhuk kalau jam berangkat dan pulang sekolah, tho? Belum lagi kemacetan yang tercipta. Suara ramai anak-anak menghafalkan abjad atau angka dengan pengeras suara (kalau tidak pakai microphone pasti para guru bisa serak-serak basah macam Bryan Adam atau Janis Joplin). Wis, pokoknya komplit polusinya. Mengapa tidak jalan kaki meski dekat rumah? Atau pakai sepeda seperti jaman dahulu? “Ah, males, panas, tanteee.“ Begitu barangkali alasannya. Embuh lah ... saya tidak tahu.

Saya sungguh kangen melihat banjir yang masih cetek kala itu, menggenangi lapangan besar dengan lantai tanah dihiasi rumput di depan rumah, dan kebun milik RT. Lambat laun meresap, hilang dalam sekian jam. Sekarang?

Udan-udanan. Berhujan-hujan, menangkapi ikan betik dan sepat, kepiting, bahkan belut ... Setelahnya ada kunang-kunang dan laron pada malam hari. Sekarang? Yang ada hanya klakson. Tin-tiiiiiiin ... (minggir mau lewat dari kebanjiraaaan, awas kecipratan) ngaget-ngageti wong turu utawa leyeh-leyeh. Kalau sedang istirahat bisa kaget 45. Di Jerman, klakson tidak sembarangan dibunyikan. Ada kode etiknya. Kalau tidak perluuuu sekali, jangan pencet tombol yang ini. Tabu. Bukankah bangsa Indonesia bangsa yang sangat ramah dan berbudaya? Ternyata soal klakson belum sampai. Sedih, prihatin. Semoga ini ada dalam pelajaran sebelum mendapatkan SIM (apapun itu jenis kendaraannya).

Saya ingat sekali waktu kecil, senang nyeroki, membersihkan saluran air setiap sore hari. Tiap minggu ada gotong royong warga untuk membersihkan, entah sekarang. Kalau yang dibersihkan ujung saja mana ada efek? Wong yang lainnya kotor dan penuh sampah sehingga jadi mampet? Werok atau tikus besar paling suka daerah seperti ini. Duh ... jan-jan.

Begitulah uneg-uneg hari ini. Saya jadi tahu, mengapa kampung orang tua saya ... selalu kebanjiran! Selamat sore (G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun