Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Kisah Piring Ajaib

29 Januari 2014   15:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:21 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Piring ini sebenarnya tak istimewa. Warnanya oranye. Tapi tergolong ajaib. Ada kekuatan yang muncul karenanya hingga membuat saya ingin tetap semangat hidup dan beraktivitas di Jerman.

Mengapa? Karena gara-gara piring itulah, saya mengambil hikmah dari sebuah ketidaksukaan seseorang atau perlakuan yang tidak terpuji seseorang pada saya. Romantika hidup. Dinikmati.

[caption id="attachment_319048" align="aligncenter" width="614" caption="Piring ajaib warna oranye ...."][/caption]

***

Saya berkenalan dengan seorang wanita di Jerman. Sebelumnya, kami memang sering bertemu. Dari pertemuan-pertemuan kami, lewat percakapan selama itu, saya sadar diri: dia tidak menyukai saya. Saya bisa meraba dari cara bicaranya, saya mengerti dari raut mukanya, tatapan matanya, dan saya meraba dari perasaan saya (bisa rumangsa dudu rumangsa bisa, bisa merasa bukan merasa bisa). Saya tidak tahu sebabnya. Saya tidak pernah bertanya, asli sungkan dan enggan. Dia juga tidak pernah menjelaskannya, tak pernah ia ungkapkan pada saya. Belakangan, saya baru tahu dari desas-desus orang bahkan dari laporan orang yang berbaik hati memberitahukan kepada saya. Bahwa dia membenci saya dan saya selalu buruk di matanya. Okey. Fine.

Entah, barangkali karena saya orang asing di Jerman. Mungkin saja karena cara pandang saya berbeda dengannya. Sebab saya orangnya termasuk sulit baginya? Atau kesalahan yang tidak saya sengaja?

Apa yang kemudian saya lakukan? Saat perempuan itu sedang berulang tahun, saya berencana membuatnya bahagia. Saya ingin dekat di hatinya. Well ... memberi ucapan dan kado. Why not? Bingo! Sepulang dari kursus bahasa Jerman, saya mampir ke sebuah toko swalayan besar. Di sana, saya menemukan sesuatu yang unik dan menarik. Piring berwarna oranye dengan gambar bunga. Saya ambil satu set untuk minum teh/kopi dan satu set untuk makan. Masing-masing untuk porsi enam orang. Lumayan berat mengangkatnya sampai stasiun bus dari tempat kursus. Waktu itu saya masih jalan kaki dan langganan karcis bus karena belum mendapat SIM Jerman (yang baru saya dapat di tahun kedua kedatangan saya di Jerman, harganya 2000€). Tak saya pedulikan hawa dingin dan salju yang berserakan di antara langkah saya yang berat. Bagaimana tidak berat? Tangan kiri dan tangan kanan menjinjing setidaknya barang seberat 3 kg. Punggung menggotong ransel isi beberapa buku diktat dan buku tulis untuk belajar (6 bulan lamanya). Sayapun harus berjalan kaki sekitar 10 menit untuk kemudian rehat, berhenti mengangkatnya dan masuk bus. Selanjutnya, dari halte menuju rumah, 5 menit. Andai waktu itu tangan saya kosong, langkah saya akan sangat ringan. Tidak dengan barang-barang pecah belah itu. Oh ... saya gengsi sok kuat agar orang tak berpikir bawaan saya itu berat. Saya pura-pura membuatnya menjadi ringan karena ada misi di sana: kado untuk orang yang tidak menyukai saya. Yuhuuu!

Sesampai di rumah, kado saya bungkus rapi, dengan kertas kado warna oranye pula. Warna kesukaan Geburtstagskind, orang yang berulang tahun itu. Padahal warna kesukaan saya sebenarnya, pink alias jambon si merah jambu.

Sayapun mengantar kado, berikut ucapan di dalamnya. Saya tulis dengan tinta apik warna-warni. Sayang, sewaktu saya berikan, ia sedang tidak berada di tempat. Saya tinggal kado di atas meja ruang tamunya.

Saya tidak bermaksud membeli teman dengan kado (meski saya paling senang kirim kado pada teman yang saya sayangi), justru ingin membahagiakannya. Lalu, apa yang bisa saya harapkan dari niatan baik saya padanya? Terima kasih? Sanjungan? Oh, nö, tentu tidak!

Sehari kemudian, pagi-pagi sekali sebelum saya berangkat kursus bahasa ke kota, di depan pintu rumah kami tinggal, ada sebuah kado tergolek. Lho, kok? Bukankah itu kado yang saya berikan pada seorang wanita kemarin?

Ternyata, saudara-saudara ... wanita itu mengembalikan kadonya. Tanpa keterangan mengapa, tanpa mengetuk pintu dan tanpa kata-kata ....

Apa yang kemudian saya lakukan? Menangis? Ohhhh, tentu! Itu tahun pertama saya pindah ke Jerman. Keadaan luar biasa itu semakin berat. Ditambah mengetahui begitu ternyata cara orang memperlakukan saya, niat baik saya. Sudah jauh–jauh menentengnya ... Telah mencoba membuat kejutan manis (ternyata akhirnya saya yang terkejut). Mana saya orang asing, jauh dari tanah air, sudah tak ada orang tua atau saudara dekat yang bisa mengayomi ... Byuhhhh ... sungguh, dunia serasa runtuh.

Baiklah, saya buru-buru menyeka air mata saya daripada nanti membuat suami saya ikut sedih. Sudah kehilangan uang, istrinya masih tetap tak bahagia. Saya berusaha meyakinkan diri bahwa Tuhan melihat semuanya. Dia menjadi saksi dari kejadian yang saya alami itu. Catatannya rapi. Sanksinya pasti. Entah sekarang atau nanti.

Apakah saya akan kesal dengan piring tak berdosa itu? Membantingnya? Tidak, tentu tidak. Eman-eman. Ibu saya mengajarkan untuk merawat barang agar suatu saat barang itu bermanfaat untuk saya. Jangan asal buang. Ya. Benar. Piring itu saya rawat sampai hari ini. Delapan tahun lamanya. Bahkan saya amat menyukainya. Mencerahkan. Piring itu selalu saya hadirkan dalam pertemuan keluarga atau teman di rumah kami. Ini menguatkan hati saya. Piring itu membuat orang-orang yang menyantap hidangan di atasnya, bahagia. Hilang nila setitik, minum susu sebelanga. Begitu hati kecil saya berkata. Padahal piring itu ...

Piring untuk orang yang tidak menyukai saya dan dikembalikan tanpa kata.

Piring yang membuat saya menyukai warna oranye yang notabene warna kesukaan orang yangtidak menyukai saya.

Piring yang memberikan hikmah bahwa melihat sesuatu jangan hanya sisi negatifnya saja. OK, ini ditolak orang, keuntungannya, saya jadi punya piring rada bagus karena semua piring kami ada di Indonesia.

Piring yang menjadi prasasti bahwa ada orang yang tidak menyukai saya. Hingga membuat saya semangat hidup untuk mencari kawan, berintegrasi dan bertemu dengan orang yang menyukai, mengerti dan memahami saya. Begitu sebaliknya.

Piring yang mengeringkan air mata saya sebelum jatuh. Buat apa susah? Susah itu tak ada gunanya ...

Piring yang menyadarkan saya bahwa di atas langit masih ada langit, Tuhan ada di mana-mana.

Semangat! Saya ingin tetap hidup dan mengisi kehidupan, yang terbaik.

Itulah sebabnya, saya juluki dia “Piring ajaib.“ (icon peluk piring yang bukan buatan Indonesia, tidak pula made in Germany). Selamat pagi.(G76)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun