[caption id="attachment_404106" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/kompasiana(kompas.com/nasa)"][/caption]
Pagi-pagi, saya jemput anak di sekolah. Jam pertama tes bahasa Inggris, makanya saya jemput sesudahnya. Alasannya, si anak bilang sakit habis salto di jam olah raga kemarin. Punggungnya bermasalah. Setelah saya antar ke dokter setempat, tak lama kemudian saya kembalikan ke kelas.
Di depan sekolah, saya bertemu dengan seorang ibu-ibu yang mengantar anaknya ke taman kanak-kanak:
“Gana, kamu punya kacamata gerhana matahari?“ Tangan si ibu sedakep. Cemas-cemas tak gembira.
“Nggak. Memangnya kacamata hitam biasa tidak bisa?“ Saya berhenti. Memandangi wajahnya yang dipasangi kaca mata.
“Nanti bisa buta ... harus punya khusus. Punya kami sudah tak jual. Sekarang butuh bingung ... padahal kan besok gerhananya.“ Meninggalkan ibu yang keningnya makin berkerut mikirin gerhana matahari itu, anaknya mau nonton. Saya tersenyum.
Anak gadis saya yang ragil juga cerewetnya minta ampun. Ia mengomentari soal gerhana matahari. Welehhh ... ia jadi mirip dosen yang menjelaskan muridnya tentang phenomena ini. Anak-anak sudah dibagi ilmu dari guru TK beberapa hari yang lalu:
1.Tidak boleh menatap langsung atau matanya bisa blind, buta.
2.Pakai kacamata khusus.
3.Meski ini gejala alam unik, jangan memotret sembarangan (apalagi selfie, bisa kebakar retina dan jadi buta).
Walaaah. Anak-anak takut sekali kalau ketinggalan mukjizat luar biasa milik Tuhan ini. Mereka tak mau menunggu barang 20 tahun untuk melihatnya. Sekarang, ya, sekaraaaaanggg .....
Gerhana matahari terakhir sebelum besok itu adalah tahun 1999. Bagi yang sempat melihat pasti senang. Sedangkan yang kelewatan, bisa menilik beragam media yang mengisahkan dan mendokumentasikannya.
Tahun 1999? Murid saya, keturunan Polandia-Jerman mengaku masih ingat waktu kecil pernah nonton dengan kacamata khusus. Sekarang ia sudah 18 tahun, nggak minat lihat lagi. Nggak menarik katanya, sembari mengeluarkan buku pelajaran yang akan kami bahas tadi.
Ohhhh. Soal kacamata khusus gerhana matahari ini tak hanya menjadi desas-desus warga kampung kami di bagian Jerman selatan (yang kabarnya jadi wilayah yang akan dilewati benar oleh sang matahari besok, selain Inggris), melainkan juga soal listriknya piye???
Pertanyaan ini muncul di kepala para tetangga yang menggantungkan tenaga listriknya dari tenaga surya saja, tidak ada serep-nya. Peteng ndhedhet?Lumpuh? Membayangkan seperti di Semarang, byar pet. Habis byar (gebyar=terang) lalu pet (peteng=gelap).
Apalagi diberitakan bahwa gara-gara gerhana matahari ini, tenaga listrik dari surya di Jerman akan turun drastis sekian kali lebih cepat dari biasanya. Bahkan, lebih serem lagi double-triple. Coba lihat besok ya?
***
Ya, sudah. Besok saya ajak anak-anak sebentar menggelar ember besar berisi air pada pagi hari (cara yang diajarkan guru SD saya dulu). Kan kejadiannya selama beberapa jam, bisa nyempil. Atau pakai teropong, Binocular. Pasti asyik, melihat matahari yang dimakan raksasa di sana. Buta rambut geni? Hiyyyyaaa ...
Hmmmm, bagaimana dengan di Indonesia? Sepertinya jadwalnya beda, gak kebagian Maret mungkin April. Yup, untungnya Indonesia tidak perlu khawatir kehilangan tenaga listriknya hanya karena gerhana matahari. Sebabnya, tenaga matahari tidak terlalu banyak digunakan di tanah air yang berlimpah sinarnya sepanjang tahun. It’s very hot all day long there. Kalau Matahari di Semarang, malah jadi mall. Bahkan ada AC nya. Silir.
Dan lagi, tanpa adanya gerhana matahari saja, listriknya masih perlu ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya. Semoga tahun ini makin maju dunia pelistrikan Indonesia. Biar tidak suka njeglek, byar pet atau gangguan lainnya. Selamat sore.(G76).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H