Nama saya Gana, kelahiran Semarang. Oh, kota yang langganan banjir, ya? Sudah biasa. Malu? Sedih? Prihatin? Pasti. Oalah Gusti, dari jaman saya kanak-kanak sampai punya anak-anak, tetaaaap saja kebanjiran. Piye, jal? Semarang kaline banjir, jo sumelang ra dipikir .... Kalau panas kepanasan, kalau hujan kebanjiran. Dinikmati saja. Kota ini tetap saya rindukan, sampai nangis ngguguk. Meski tlah jauh ....
Untung ada temannya. Sebelum benar-benar tinggal di Jerman, saya tidak pernah berpikiran bahwa negeri sosis ini ada kota-kotanya yang pernah kebanjiran atau lebih parah lagi, langganan banjir! Setelah sekian tahun, sayapun jadi geleng kepala, negeri yang saya pandang amat sangat ramah akan lingkungan ini masih juga kecolongan. Apalagi Indonesia yang aturan, sistem dan kebanyakan masyarakatnya kurang peduli terhadap lingkungan?
Berikut reportase saya mengunjungi salah satu kota Jerman yang langganan banjir. Kota Passau namanya. Ini masuk dalam salah satu dari 16 wilayah negara bagian Jerman, Bayern. Barang 3 jaman dari rumah kami. Apa saja yang bisa kami nikmati di sana? Kota yang begitu menawan menyedot turis lokal dan manca ini ternyata bisa mengerikan di saat banjir. Terakhir, tahun 2013, tepatnya tanggal 5 Juni, banjir melanda menyebabkan 800 rumah rusak dan 5000 orang mengalami kerugian! Oh, mein Gott!
[caption id="attachment_316718" align="aligncenter" width="627" caption="Catatan sejarah banjir kota Passau, Jerman"][/caption]
***
Menurut catatan sejarah di Jerman, cerita banjir sudah terjadi sejak tahun 1012 di sekitar Donau. Sungai yang panjang membelah negeri itu, juga menyebabkan banjir pada tahun 1051, 1235, 1236, 1342 dan seterusnya. Selain itu masih ada daerah lain yang dilalui sungai Main (Würzburg, Kitzingen, Ochsenfurt, Schweinfurt) dan sungai Rhein, yang kebanjiran.
Ketika jalan-jalan beberapa tahun yang lalu di Passau dan melewati sebuah beteng bertuliskan prasasti di mana mencatat sejarah banjir yang dialami kota wisata itu, saya jadi mengangguk bahwa ternyata, saya baru tahu bahwa memang asli, Jerman bisa juga kebanjiran! Contohnya, salah satu kotanya yang bernama Passau ini.
Di sana, tertulis sejarahnya (meski tidak dimulai dari tahun 1012), berturut-turut berdasarkan ketinggian; 15 Agustus 1501 (13, 20 m), 11 Maret 1595, 10 Juli 1954, 30 Oktober 1787, 2 Februari 1862, 15 September 1899, 4 Agustus 1895, 13 Agustus 2002. Dan barusan terjadi 5 Juni 2013, dengan ketinggian mencapai 12, 89 hampir menyamai ketinggian banjir pertama pada tahun 1501. Apakah ini akan dicatatkan di gerbang itu sebagai peringatan bahwa ternyata tahun 1501 hampir sama dengan tahun 2013. Apakah ini berarti juga sebuah kemunduran dari semua langkah ramah lingkungan yang dilakukan manusianya beratus-ratus tahun kemudian? Entahlah.
Jerman memiliki 4 musim. Kalau saya amati, banjir itu tak hanya terjadi pada musim panas (Juni-Agustus) melainkan juga musim salju (Februari) dan musim semi (Maret). Nampaknya, banjir belum terjadi pada musim gugur (September-November). Barangkali karena memang banyak angin bukan banyak air. I don’t have any idea.
Sedangkan jarak tahun kejadiannya 3 tahun, 94 tahun, 192 tahun, 75 tahun, 33 tahun, 4 tahun, 55 tahun dan 59 tahun. Intervalnya tidak bisa diduga ... Rahasia Tuhan, salah manusianya, alampun murka.
[caption id="attachment_316720" align="aligncenter" width="612" caption="Pertempuran 3 sungai ada di Passau"]
Saya bukan ahli lingkungan bukan pula pakar. Tetapi mata awam saya menangkap, ada hubungannya dengan sungai-sungai yang membelah kota. Passau memang terkenal dengan sebutan Dreiflüssestadt alias kota yang dilalui tiga sungai Donau, Ilz dan Inn. Pertempurannya bisa dilihat jika menikmati kapal pesiar atau boat yang ada. Kalau air kiriman dari tetangga (Australia dan Swiss) disuntak ke Donau (Jerman), apa jadinya kalau bukan banjir?
Baiklah, kamipun menapaki lorong-lorong kota Passau. Indah, bersih, antik ... itu kesan yang saya dapatkan. Sinar matahari seakan menambah hari menjadi semakin berarti, menawan hati. Tak menyangka bahwa kota ini pernah lumpuh, rusak, kacau, mengerikan pada tahun-tahun yang tersebut di atas. Tak hanya sekali!
[caption id="attachment_316723" align="aligncenter" width="380" caption="Menyusuri lorong berpaving"]
Beberapa toko souvenir, restoran, cafe, museum dibuka. Semua tampak sibuk melayani para turis, termasuk kami. Aduh, harganya mahal-mahal kalau beli barang second-nya di ebay barangkali lebih murah dengan kualitas yang masih apik. Saya ambil beberapa kartu pos, biasa, untuk koleksi. Satu kartu 1 euro!
„Buk, jalan paving ini kayak di little Netherland di kotamu.“
„Bedanya, yang terawat dan tidak terawat, Pak“
„Hahahaha ... “ Kamipun tertawa, mengenang masa manis menghuni kota ATLAS. Hiks, jauhnyaaaaaa.
[caption id="attachment_316727" align="aligncenter" width="471" caption="Yang indah dan terawat, ada di Passau"]
Sebentar kemudian, anak-anak sudah rewel. Katanya lelah berjalan kaki di bawah terik matahari. Ya, sudah, suami saya membeli tiket kapal pesiar. Si gadis meminta kapal yang ada kristal Swarovskinya. Halahhhh, milih ... yo, wis, pisan-pisan. Kalau keterusan bisa bangkrut, dhuk.
Setelah menunggu beberapa saat, kamipun diperbolehkan masuk ke kapal. Ya, ampuuuun. Serasa dalam film Titanic. Kerlap-kerlip ada di setiap sudut dan detil kapal. Bahkan sampai kamar mandi. Belakangan suami saya tahu mengapa kami bertiga lama sekali di kamar mandi. Xixi. Takjub. Mata kedua gadis kami tak henti-hentinya mengerjap. Mereka membayangkan bagai putri dari kastil mana dan berpesiar, menjelajah ke seluruh dunia. Semua bling-bling.
Suami usul untuk duduk di dek atas. Memang agak besar anginnya, untung bawa syal. Di sanalah, kami menikmati sajian musik, penganan, minuman dan keindahan di sekeliling sungai. Tentu saja, tetap ada aksen Swarovski di tengah-tengah, agar anak-anak tidak turun mengejar bling-bling. Oh, membayangkan rumah-rumah di pinggir sungai itu kebanjiran. Prihatin. Tapi entah, mereka masih banyak yang bertahan. Tidak pindah.
[caption id="attachment_316729" align="aligncenter" width="558" caption="Mereka keluar, kami masuk kapal "]
Satu jaman sudah kami menumpang kapal. Seakan tak mau turun dari kerlingan Swarovski. Kami meneruskan perjalanan dengan kaki-kaki kecil itu. Mata saya terdampar pada sebuah kastil yang ada di trap tertinggi. Dibangun tahun 1299. Atap merahnya seakan berkata, „Kawasan anti banjir“ Lha, kalau gunung banjir yang bagian terbawah bisa kelelep. Saya jepret untuk dokumentasi. Tak berapa lama, kami berhenti berjalan. Aih. Anak-anak girang mendapati taman bermain yang sangat luas. Jerman memang menyediakan ruang publik bagi rakyatnya. Luar biasa.
Haripun semakin redup. Kami beranjak dari kota wisata yang memang memesona ini, melanjutkan perjalanan ke tempat lainnya. Hmm ... Kota ini beruntung punya pendapatan dari aset yang luar biasa dan bisa dialokasikan ketika banjir melanda. Kalau tidak, masak mau meminjam dari negeri tetangga? Saya amati, Jerman senang menyumbang negara lainnya, bukan sebaliknya. Selamat sore. (G76)
Sumber:
1. Pengalaman pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H