Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Uniknya Tradisi "Nyate" Orang Jerman

18 Februari 2013   17:02 Diperbarui: 2 Januari 2021   15:01 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapa, sih orang Indonesia atau orang asing yang pernah ke Indonesia tak tahu sate? Nyate atau membakar irisan daging (baik sapi, kelinci, kambing dan ayam) yang ditusuk bambu adalah tradisi bangsa kita yang sampai sekarang masih saya kangeni.

Ini tak ubahnya budaya grillen (red: bakar-bakar daging atau sate) orang Jerman atau kebiasaan orang Turki/Rusia dengan Schaschlik/Shaslik. Ketiganya memasukkan unsur asap, kipas-kipas, daging dan tusuk-menusuk. 

Kali ini, saya ingin berbagi tradisi nyate orang Jerman yang tidak untuk dimakan, melainkan untuk membakar roh atau spirit jahat sebagai rangkaian terusan dari Aschermittwoch, akhir dari karnaval Fastnacht.

Nyate? Iya karena simbol nenek sihir itu disunduk, ditalikan di sebuah tiang yang di bawahnya sudah dikitari tumpukan kayu, ranting dan jerami untuk dibakar.

Bahkan tradisi ini saya bilang unik karena ada kegiatan jalan-jalan pakai obor. Setelah sampai di tempat, obor dibuang untuk membakar simbol yang akan disate sampai hangus. 

***

Warga kota menembus gelap dan dinginnya malam (dokpri)
Warga kota menembus gelap dan dinginnya malam (dokpri)
Pukul 18.00. Warga kota S sudah berduyun-duyun berkumpul di kantor wali kota. Sedangkan masyarakat kota O berangkat dari titik Kriegendenkmal (red: tugu peringatan jaman tidak enak, perang). Mereka ini sudah bersiap-siap memegang Fackel alias obor dalam acara Funken feuer. Dikatakan funken lantaran percikan api kelap-kelip terbang diudara, dan feuer yang berarti api.

Funkenfeuer (dokpri)
Funkenfeuer (dokpri)

Tradisi ini biasa ditemukan pada masyarakat Jerman daerah Blackforest seperti tempat tinggal kami. Biasa diadakan pada hari minggu pertama setelah Aschermittwoch atau Fastensontag (red: puasa paskah pada hari minggu pertama).

Kegiatan seperti biasa, dipandegani tim muda palang merang kota SO dan diikuti oleh puluhan warga mulai dari anak-anak sampai lansia. Pelan tapi pasti, mereka menerobos kegelapan malam (yang lebih cepat dari musim panas) dan menantang dinginnya malam yang masih bersalju di sana-sini.

Tenda palang merah untuk mami (makan-minum) (dokpri)
Tenda palang merah untuk mami (makan-minum) (dokpri)

Usai 30 menitan berjalan, sampai juga masing-masing grup dari kota S dan O di sebuah lapangan luas dekat makam gereja. Di ujung sudah berdiri tenda tim palang merah.

Isinya makanan seperti sosis dan roti serta minuman layaknya Glühwein (red: minuman anggur beralkohol) dan Kinderpunsch (red: minuman buah-buahan tanpa alkohol untuk anak-anak). Ini diperuntukkan bagi siapa saja yang lapar karena belum sempat makan malam atau sudah Abendessen tapi lapar lagi dari perjalanan singkat tadi.

Selain itu dijual obor bagi mereka yang tidak membawa tapi hendak mengikuti upacara bakar-bakar ini. Biasanya obor bisa dibeli di internet, 1 bijinya sekitar 50 sen tapi harus beli satu set (20, 50, 100). Kayu dengan lilitan sebuah bahan yang bisa terbakar itu sebenarnya bisa dibuat sendiri, tapi demi keamanan harus baik dan benar cara membuatnya.

Beberapa orang ada yang berhenti di tenda, sebagian lainnya tetap jalan hingga TKP. Aduh, lapangan yang basah dari bekas salju meleleh, jadi lembek. Sepatu terasa direkatkan pada dataran bumi berwarna coklat ini.

Bagaimanapun ini tak mengurangi kenikmatan orang-orang hikmat mengikuti acara. Sesekali tambah romantis saat suasana gelap tiba-tiba disinari api dan langit sedang cerah, ditaburi jutaan bintang. Wow, anugerah Tuhan!

Peserta tak hanya anak-anak (dokpri)
Peserta tak hanya anak-anak (dokpri)
Juga ada kakek-nenek (dokpri)
Juga ada kakek-nenek (dokpri)

Ya. Hadirin telah mengelilingi tumpukan kayu. Seorang pemimpin memberi sambutan dengan megaphone. Setelah diberi aba-aba, semua bergiliran melempar obor ke tumpukan yang di tengahnya sudah ada sate, eh simbol nenek sihir. Ada juga anak kecil yang ngambek, tidak mau melepas obor, ingin dibawa pulang. Hahaha.

Lengkap sudah acara yang tak hanya berkenaan dengan tradisi umat Katolik setempat tapi juga suatu gambaran budaya warga barat yang modern tapi masih melestarikan peninggalan leluhurnya, yang bisa pula menarik wisatawan lokal bahkan asing.

Saya taksir ini meningkatkan rasa kebersamaan orang Jerman, agar tak lekang oleh jaman dan tentunya rasa bersyukur yang dalam pada Sang Pencipta.

Yaiy. Tumpukan kayu menjilat sosok di tengahnya. Penonton perlahan mundur ke belakang. Arghhhhhhhhhhhh … panaaaaas-panaaaaaaaas. Pletik-pletik-pletik … begitu bunyi kayu terbetik.

Api telah menjilat kayu, ranting dan jerami dari bawah ke atas hingga menghanguskan simbol jahat. Sate bukan lagi matang, hancuuuuuurr jadi abu! (G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun