Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pengalaman Melayat Pada Musim Salju di Jerman

6 Desember 2012   05:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:06 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Rabu, 5 Desember 2012. Kami baru saja melayat salah seorang kenalan kami. Kematian, sebuah cerita yang menyedihkan. Takdir Tuhan yang membuat orang sedih, menyesal, takut dan campuran perasaan kelabu lainnya.

Apakah sama tradisi melayat/menguburkan orang Kristen protestan di Indonesia dan Jerman? Bagaimana pula rasanya melayat dijatuhi hujan salju?

***

[caption id="attachment_227869" align="aligncenter" width="587" caption="Salju berhenti saat orang mulai pergi"][/caption]

Kematian datang seketika

Hari Sabtu, 1 Desember 2012 pukul 19.00 yang lalu, suami saya curhat pada salah satu karyawannya. Perempuan mungil itu, HW, memang tak hanya memiliki hubungan kantor saja tapi juga sudah seperti keluarga sendiri. Ia sering meluangkan waktu bersama anak-anak kami untuk berdoa bersama, membaca buku, membuat kue, menggambar, minum teh dan kue bersama, jalan-jalan dan masih banyak lagi. Waktu yang indah.

Tak disangka pada hari minggunya, 2 Desember 2012 pukul 21.00 ia meninggal dunia. Pagi harinya memang wanita yang memiliki riwayat asma itu berpesan kepada suami bahwa dadanya sesak. Lalu tiba-tiba tak bisa bernafas, segera ke rumah sakit. Setelah dirawat ternyata jiwanya tak dapat ditolong lagi.

Kami tertegun. Begitu cepat waktu berlalu. Padahal kami sudah janjian mengirim anak-anak pada hari Sabtu nanti, 8 Desember 2012 untuk membuat kue natal bersama-sama. Sudah tradisi rakyat Jerman di bulan Desember. Tuhan berkata lain. Rencana tinggal rencana. Jangankan rencana kami, rencana pasangan itu juga bubar. Mereka memang sudah merencanakan banyak program tahun 2014. Tahun pensiun mereka berdua untuk menikmati masa tua bersama, banyak acara. Ya Allah, Engkau memang menggariskannya.

Tradisi melayat mayat orang Kristen protestan Jerman

Setelah mendapat visum dari RS, mayat akan dikirim ke krematorium kota W dimana HW tinggal. HW adalah Jemaah gereja Kristen protestan di kota S, 15 menit dari kota W. Usai tiga hari berlalu, diadakan upacara pemakaman dekat gereja kota W bukan di kota S, mungkin dengan pemikiran makam lebih baik dekat dengan rumah.

Gereja telah penuh dengan orang. Sebanyak 300 buah kursi telah diduduki para pelayat. Banyak juga yang berdiri di sekeliling ruangan. Undangannya memang pukul 13.30 tapi sengaja kami datang setengah jam lebih awal, jadi dapat kursi. Begitu datang, antrian orang yang berdiri diatas karpet hijau yang lurus menuju peti mati telah menghadang. Satu-persatu maju, masing-masing mengambil gayung emas dalam wadah yang digantung, berwarna emas juga. Sebentar kemudian orang memercikkan gayung sebanyak tiga kali dan menundukkan kepala, berdoa sebagai penghormatan terakhir/perpisahan. Empat buah lilin raksasa di kanan kiri. Didepannya tergeletak rangkaian bunga dan bunga dalam pot untuk almarhumah. Sayang tak ada foto yang terpampang.

Isakan tangis saudara, handai taulan bahkan kaum fakir miskin yang biasa ia masakin seminggu sekali terdengar di ruangan yang hening. Mata saya ikut berkaca-kaca. HW memang orang yang baik, terlalu baik. Ibaratnya tak perlu makan kalau orang lain butuh makanannya. Niatnya selalu tulus menyenangkan orang lain. Saya mengerti mengapa air mata berjatuhan hari ini.

Tepat pukul 13.30 acara dimulai. Musik orgel berbunyi. Seorang pendeta dan satu petugas teknik memasuki ruangan. Pendeta itu tak berjubah tapi berjas hitam rapi. Ia mulai memberikan sambutan, menceritakan riwayat hidup HW dari lahir sampai meninggal, nasehat untuk orang yang ditinggalkan (suami, anak dan menantu) juga diberikan, kemudian meminta hadirin untuk menyanyikan lagu „Von Güten Mächten“ (kira-kira; dari amal perbuatan baik) karya Dietrich Bonhoefer, melodi oleh Siegfried Fietz. Saya simak kertas putih bergambar hijau ditangan saya.

Kertas teks lagu sudah diletakkan di tiap-tiap kursi dan bisa dibawa pulang nanti. Selesai bernyanyi, hadirin diminta berdiri untuk berdoa bersama. Pendeta membaca teks yang telah disiapkannya. Sebagai orang asing, saya sangat berterima kasih ia berbicara dengan bahasa Jerman formal, lantang lagi jelas.

Begitu duduk, hadirin diajak menyanyikan lagu „Lobe den Herrn, meine Seele“(mencintai Yesus, jiwaku) karya Norbert Kissel (Psalm 103) dan melodie oleh Norbert Kissel (1987). Saya lagi-lagi menyimak saja. Saya pikir ini tak ubahnya pengajian atau membaca Al-Quran waktu melayat orang Islam yang biasa kita lakukan di tanah air. Suasana syahdu tercipta.

Setelah satu jam berada di ruangan krematorium itu, kami diajak keluar oleh pendeta. Keluarga almarhumah yang duduk dibarisan kanan paling depan, mengikuti peti mati yang ditaruh diatas geretan beroda, menuju pintu samping kiri. Mereka diikuti kerabat terdekat. Sedangkan tamu yang lain, dipersilahkan keluar dari pintu utama. Suasana tetap terjaga, hening.

Para pelayat berpakaian serba hitam telah mengelilingi lubang. Salju berserakan. Minus 1 derajat selsius! Untung tubuh saya tiga lapis (satu atasan berbahan wol, jaket wol dan jaket untuk salju), kaki saya dua lapis (kaos kaki panjang hingga pinggang dan celana) ditambah sepatu boot tinggi (lengkap dengan syal hangat dan kaos tangan). Sinar matahari tiba-tiba menyinari. Hari yang indah. Salju turun, meski tipis. Sesekali jatuhan salju dari pohon sisa hujan salju kemarin, mendarat di kepala ini. Plok. Saya jadi ingat, kalau dahulu di tanah air, habis melayat lalu hujan kata orang tua itu pertanda berkah dari Allah. Mungkin demikian adanya perpaduan antara hujan salju dan sinar matahari kali ini.

Melayat kali ini melengkapi layat saya pada orang Jerman di negeri sosis ini, 4 musim sudah. Pernah di musim semi, musim panas, musim gugur dan kemarin, musim salju.

Peti mati telah berada di lubang. Pendeta lagi-lagi membacakan doa dan mengajak hadirin menyanyikan lagu ketiga, tanpa diiringi musik. Judulnya „Ich bete and die macht der Liebe“ (red: Saya memohon kepada Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Sebentar kemudian pria yang bicaranya sangat jelas itu mempersilahkan masing-masing untuk memberikan penghormatan lagi sebelum pulang. Dan lelaki berambut putih itu mengingatkan doa malam di gereja kota S untuk almarhumah HW. Mungkin ini mirip Rosenkranz di dalam gereja bagi umat Katolik Jerman atau iktikhaf umat Islam di masjid? Doa dalam hening. Kami tak bisa datang.

Lirih saya komat-kamit al-fatihah dan mengikuti tradisi yang ada. Mengambil gayung emas dari mangkok gantung berwarna emas pula. Mencipratkan tiga kali, meletakkan rangkaian bunga atau setangkai mawar, berdoa, lalu pergi. Suami saya memberikan sebuah bebek keramik warna merah bergambar cinta. Seingatnya, almarhumah di kantor selalu mengagumi bebek mini itu. Katanya ini amat mengingatkan pada ketiga putra-putri kami. Kini, suami ingin menguburnya bersama jazad pecinta bebek merah itu. Ohhh saya lupa bawa bunga dan hiasan keramik untuk makam. Semoga lain waktu kalau ziarah sama anak-anak terbawa. Suka lupa. Yang penting niat layat ada.

[caption id="attachment_227870" align="aligncenter" width="528" caption="Sebagian pelayat yang masih tinggal"]

1354773024580060885
1354773024580060885
[/caption]

Hujan salju seketika berhenti bersamaan dengan perginya para pelayat. Sebelum pulang, kami disapa suami almarhumah, EW (63 tahun). Oh, hampir saya tak melihatnya karena jalan saya menunduk. Sedihhhh sekali kehilangan sosok yang menjadi favorit anak-anak saya wanita murah hati berusia 62 tahun itu.

EW merangkul saya, mengucapkan terima kasih kami telah datang dan tentunya kartu ucapan yang kami kirim pada hari H kematian minggu lalu. Waktu itu memang suami hanya memasukkan dalam kotak pos, takut mengganggu. Padahal saya bilang tradisi melayat pada hari H di Indonesia berbeda dengan di Jerman. Tak perlu malu atau canggung mengganggu keluarga yang ditinggalkan almarhum/ah. Itu ditanah air. Lain ladang lain belalang lain lubuk lain ikannya. Ya, mengikuti adat orang Jerman sajalah.

Sebelum menuju tempat parkir, saya abadikan suasana di makam. HW, rest in peace. Semoga Allah memberikanmu tempat yang indah seperti halnya kamu membuat orang gembira dan merasa dunia ini indah denganmu.

Saya jadi tersadar. Kematian mengingatkan tiap orang untuk selalu berbuat baik. Tak perlu berjanji „sebentar“ atau „besok“ dalam melakukannya. Semaksimal mungkin jangan menunda. Karena soal waktu bukan monopoli manusia tapi urusan Tuhan. Sedetik saja menunda-nunda sesuatu yang baik, bisa jadi itu akan menjadi akhir dari dunia. Tak ada waktu tersisa. Semoga saya selalu diingatkan soal yang ini. Saya manusia, tempatnya salah.

Begitulah pengalaman menarik saya hari Rabu sore. Saya penganut Islam dari masyarakat Jawa, Indonesia. Melayat menjadi sebuah niat yang selalu ingin saya lakukan. Apalagi pada almarhum/ah yang sangat saya kenal seperti HW ini. Tak soal kalau ia orang Jerman yang beragama Kristen Protestan. Saya hanya ingin nguntapke, mengantar jazad untuk kali yang terakhir. Innalillahi wa innalillahi roji’un. Semua akan kembali pada-Nya.(G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun