Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

„Menikah Itu Menyakitkan …“

21 September 2012   11:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:03 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Gaganawati dan Edi Kusumawati Adi Cahya Menikah adalah sebuah kebajikan yang bijak dari manusia. Menyatukan dua manusia dengan karakter dan asal muasal yang berbeda, membuatnya tak semudah harapan. Masa pacaran di waktu lalu yang biasa didominasi rasa manis, tiba-tiba didatangi awan yang berubah bak hujan lalu beratapkan pelangi karena diresmikan dalam mahligai perkawinan. Sebentar kemudian menjadi gelap lagi. Benarkah menikah itu menyakitkan? Gosip ini menyebar dari mulut kemulut tetangga saya. Menyebabkan beberapa orang berfikir lagi untuk lebih baik sendirian saja ketimbang memiliki pasangan resmi dan menikah tapi hati terpenjara. Bagai hidup dalam sangkar emas. [caption id="attachment_213679" align="aligncenter" width="480" caption="Menikah didasari iman, cinta dan kasih sayang ..."][/caption] *** „Chayenne, ayo bantu aku mengangkat kayu sampai rumah-rumahanku.“ Tim tetangga sebelah menghampiri kami yang sedang duduk-duduk bersama tetangga. Anak tunggal umuran 5 tahun itu agak kesal karena putri saya tak beranjak dari beranda. „Ah, tidak mau, jangan sekarang ya, nanti cat kukuku rusak.“ Mbak Chayenne mengamati hiasan di ujung jari jemarinya itu. Memang anak kemayu itu baru saja mendapat cat kuku dari seorang tante. Kegandrungannya pada warna-warni dan kelap-kelip hiasannya benar-benar menghipnotis gadis umuran 6 tahun itu. Lalu si tetangga mengingatkan saya bahwa saat keduanya masih kecil, ada sebuah kalimat Chayenne yang sempat membuat kami terpingkal-pingkal … “ Willst du mich heiraten, Tim ? “ yang berarti maukah kamu menikahiku, Tim ? Dan si bocah lanang berambut blonde itu hanya manggut-manggut. Tak berapa lama, merekapun bergandengan tangan. Si gadis mengenakan rok mekar cantik dan si anak lelaki dipinjami anak sulung kami sebuah jas lengkap dengan dasi. Tak lupa bunga dari kebun menyertai. Ha ha ha … suasana kebun jadi semakin segarrrr. [caption id="attachment_213680" align="aligncenter" width="507" caption="Maukah kau menikahiku, Tim?"]

1348228058342093762
1348228058342093762
[/caption] *** Usai keduanya beranjak dari beranda, saya dan tetangga meneruskan perbincangan tentang pernikahan. Tetangga saya yang asli Amerika dan besar di Jerman itu mengatakan, „ … sebenarnya menikah itu menyakitkan dan heran banyak orang ingin menikah.“ Perempuan tinggi besar itu jadi maklum ketika Chayenne dan Timmy yang masih belia telah merancang sebuah pernikahan. Mereka belum pernah menikah (lama) sepertinya. D (55 tahun) itu mengaku bahwa setelah 20 tahun pernikahannya, ia baru sadar, benarlah apa kata almarhumah mamanya bahwa „menikah itu menyakitkan … hati-hati.“ [caption id="attachment_213681" align="aligncenter" width="477" caption="Menikah dengan hati-hati ...."]
13482281401434040346
13482281401434040346
[/caption]
Ia bilang sangat menyakitkan lantaran tinggal seatap dengan pasangan tidak selalu berjalan mulus, sesekali membahagiakan tapi juga sering menjatuhkan air mata dan takkan pernah kering. Contohnya, ketika Jerman unggul melawan Portugal, suaminya tak menghiraukan teriakannya. Si pria yang telah mabuk itu mengendarai motor 250 cc-nya tanpa helm menerobos kegelapan malam. Euphoria kebahagiaan tanpa batas. Atau ketika sang suami selalu mau menang sendiri, tak mau membantu pekerjaan rumah tangga (dua-duanya bekerja), sering bolos kerja dengan alasan sakit, melakukan tindakan kekerasan fisik dan verbal, keras kepala dan tak mau mendengarkannya untuk berhenti merokok dan minum minuman keras. Sebenarnya, suaminya itu telah divonis kanker prostat ganas dan diharuskan berhenti mengkonsumsinya. Telah dua kali dioperasi namun si pasangan tak jera. D menjadi sedih, kecewa dan menyesal berlipat ganda. Namun apalah daya tangan tak mampu. Saya tertegun dengan pernyataannya bahwa „menikah itu menyakitkan.“ Tak puas dengan ungkapannya itu, saya datangi seorang teman dari Turki. Kebetulan tiga wanita (DE, DK dan F) dari negara Kebap itu sedang duduk-duduk di dapur, minum teh. Saya nimbrung. Tiba-tiba, suami F menelepon dan meminta F untuk detik itu segera pulang karena ia telah ada di rumah. Kesal karena ia sedang menikmati saat-saat indah bersama kawan-kawan karibnya di sore hari, ia memegang tangan saya sebelum pamitan dan mencium pipi saya tiga kali. Wanita yang baunya wangi itu mengatakan, „Kalau tahu begini, aku tak akan menikah. Lebih baik single dan bercumbu dengan lelaki manapun yang kusuka. Tak ada ikatan. Setelah menikah, tubuh dan jiwaku sangat terbelenggu. Suamiku mengharuskanku ada disampingnya saat ia ada. Meski sebenarnya tak ada kegiatan apapun didalam rumah. Ia hanya menonton TV dan aku beres-beres!“ Haduhhh! Saya makin terhenyak. Mosok sampai begitukah sebuah pernikahan yang dibilang sakral itu??? Belum hilang kekagetan saya itu. DE, si tuan rumah menimpali. Banyak memang lelaki yang mau menang sendiri, suka mengatur dan tidak mengerti pasangannya. Apalagi wanita yang masih memiliki darah ketimuran, harus patuh pada lelaki. Ini juga ia alami. Ia harus mengerjakan dan mengatur semuanya. Lelakinya hanya bekerja pagi sampai sore, sudah. Urusan anak-anak, kerumahtanggaan dan kebun menjadi tugasnya sendiri. Jika ada apa-apa ia yang disalahkan. Karena ia mendapat didikan bahwa lelaki sebagai kepala rumah tangga itu harus dihormati, ia tak banyak berargumen. Lain lagi dengan DK (23 tahun). Wanita Turki itu menikah pada usia 21 tahun. Mabuk asmara membuatnya mengiyakan janji setia. Ketika ia harus melepas karirnya sebagai asisten dokter gigi lantaran mengurus bayi, ia baru sadar. Kebebasannya sedikit terampas! Iapun buru-buru menasehati anak asuh saya dari Rumania (18 tahun) untuk tidak menikah di usia muda. Lebih baik bersenang-senang dahulu, menggapai cita-cita setinggi bintang di langit dulu. Walahhh … piye, jal? Kepala saya menunduk, menerawang. Jika semua pernikahan berbuah gonjang-ganjing seperti itu dan para suami tidak memberikan hak yang setara dengan tanggung jawabnya, pastilah berat. Semoga masih banyak wanita yang tak jera menikah setelah tahu asam garamnya. Ya. Mungkin setelah menikah, istri jadi tahu kebiasaan suami yang tak pernah terlihat selama pacaran. Dunia serasa milik berdua, yang lain mengontrak. Begitu menikah, byakkk … kaki yang bau, suka kentut nan bau, tak pernah mandi, kantong pas-pasan, hobi minum-minuman keras dan berjudi, malas, mendengkur, main perempuan, mencicipi narkoba dan kebiasaan buruk lainnya. Olala, jadi senut-senut para perempuannya barangkali ya? Bukankah seburuk apapun pasangan itu nanti adalah sebuah resiko yang ditanggung penumpang karena telah menjadi pilihan diri sejak awal? Melihat ketidaksempurnaan dengan sempurna? [caption id="attachment_213682" align="aligncenter" width="481" caption="Senyum dulu ah, menikah itu indah!OMG"]
13482282231216200247
13482282231216200247
[/caption] Bagaimanapun, saya jadi lega dengan opini teman kolaborasi saya, mbak Edi Kusumawati Adi Cahya dalam WPC XXI kolaborasi ini, bahwa “ … pernikahan itu indah. Beban hidup bisa dibagi dua agar tidak pusing sendirian memikirkannya.” Tambah perempuan manis itu lagi, bahwa tujuan menikah itu bukankah untuk ibadah? Jadi jika ada masalah seperti KDRT memang bak buah simalakama, jadi lain soal. Untuk itulah penjajagan pribadi lewat pacaran, sebaiknya ditempuh untuk mengenal lebih dekat luar dalam pasangan agar. Tentu saja pacaran sehat yang dibatasi oleh nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Selamat menikmati masa lajang dan atau masa indah pernikahan sampai kaki nini. Manusia diciptakan memang untuk dipasang-pasangkan. Menikmati hidup dengan penuh hati. (G76) Sumber: 1.Curhatan ibu-ibu Jerman dan chatting dengan mbak Eddy 2.Link: http://lifestyle.kompasiana.com/hobi/2012/09/08/weekly-photo-challenge-foto-kolaborasi/

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun