Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ingin Melestarikan Adat Pernikahan Jawa

9 Juli 2012   12:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:08 8604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya ingin kilas balik pengalaman saat menjalani adat pernikahan Jawa yang adi luhung dan patut dilestarikan ditengah kemegahan pernikahan modern jaman sakini.

Menikah bagi sebagian besar orang, tidak hanya soal jatuh cinta dan resepsi pernikahan. Sebelum merayakannya, ada beberapa ritual yang kami jalani dan ingat-ingat betul sampai kini. Ribet tapi bermakna. Peresapannya lamban tapi pasti. Bangsa Indonesia memang kaya akan tradisi dan budaya yang tak dimiliki negara lain. Rasa bangga merasuki dada

[caption id="attachment_199647" align="aligncenter" width="448" caption="Singgasana raja dan ratu sehari"][/caption]

***

Witing tresno jalaran soko kulino adalah pepatah Jawa yang saya dengar dari jaman nenek kakek saya. Ini berarti bahwa cinta itu tak hanya datang dari mata turun ke hati, bisa juga karena kebiasaan dan direkayasa lewat perjodohan. Yang tadinya tak kenal, jadi kenal dan sayang. Tetapi tentu saja acara perkenalan tetap diperlukan sebelum kedua insan dipersatukan dalam satu atap.

Jaman berubah. Tanpa cinta, mustahil kami menikah. Tanpa ritual, mustahil kami bangsa yang berbudaya.

Saat yakin bahwa kami serius pacaran dan ingin bersatu, ide itu muncul. Perkenalan antar keluarga kami berdua disebuah restoran yang banyak menyajikan menu ikan (yang notabene favorit saya) diatur. Disana, kakak tertua saya dan ibu berbincang dengan suami dan beberapa kawan terbaik.

Setelah itu ayah meminta keluarga pria untuk mengikuti adat kami, ndhodhog lawang. Wah, bingung juga karena 100% keluarga pria ada di luar negeri. Ada akal mencari orang terpercaya di kantor suami bekerja, sebagai perwakilan untuk berembug dengan keluarga saya.

Hasilnya, keperluan mengetahui bobot (kualitas yang baik dari kedua calon pengantin), bibit (red: latar belakang keluarga masing-masing), bebet (red: calon pengantin khususnya pria, memiliki dipercaya mampu memenuhi kebutuhan keluarga) terlaksana. Masing-masing keluarga mengetahui masing-masing isi dari pasangan berikut keluarganya. Meski tidak bisa dikatakan guarantee not to run, pengetahuan dasar 3B ini penting demi menjaga kelanggengan rumah tangga nanti. Beda keluarga saja sudah membuat repot, apalagi beda negerinya? Tak kenal maka tak sayang. Sudah kenal makin sayang.

Setelah pertimbangan ketiganya, ada beberapa hal yang membuat bapak berat melepaskan saya. Kami berdua berusaha meyakinkan, sementara pernikahan ala barat di Jerman juga dalam waktu bersamaan telah dipersiapkan pihak keluarga pria. Ayayay!

[caption id="attachment_199636" align="aligncenter" width="454" caption="Seekor ayam, salah satu yang dibawa saat lamaran"]

13418350451534745412
13418350451534745412
[/caption]

Acara lamaran (sekaligus peningsetan/pengikat) dan pernikahan-pun akhirnya menjadi solusi. Tanggalnya telah dihitung dengan primbon oleh ayah dan ibu sendiri.

Suami dan perwakilan keluarga pria mengusung ubarampe yang diperlukan seperti seperangkat alat sholat, sepasang cincin, beberapa lembar kain batik, tebu dan kawan-kawan, pisang dan buah lainnya, sejumlah uang, seekor ayam, keperluan wanita, satu set suruh ayu yang dipersiapkan ibu saya karena suami bingung mencarinya waktu itu (daun sirih sebagai perlambangharapan tulussupaya mendapatkan keselamatan), sebuah stagen (red : ikat pinggang Jawa dari kain putihyang besar dan panjang, sebagai pertanda panjang dan kuatnyatekad), hasil bumi seperti beras, gula, garam, minyak goreng, buah-buahan (ini juga dipersiapkan ibu saya, sebagai pralambang hidup kecukupan dan sejahtera bagi keluarga baru).

[caption id="attachment_199637" align="aligncenter" width="469" caption="Tukar cincin"]

13418351481096815274
13418351481096815274
[/caption]

Acara Liru Kalpika (red. Tukar menukar cincin) juga diadakan sekaligus demi penghematan hari dan dana. Ia sematkan cincin di jari manis kiri saya, begitu pula sebaliknya. Tunangan biasanya juga dilakukan beberapa bulan atau tahun sebelum acara pernikahan, tergantung kesepakatan keluarga.

Sedangkan beberapa keluarga lain juga melakukan peningsetan (diambil dari kata singset=kedua keluarga dan calon pengantin diikat erat) jauh hari sebelum acara pernikahan atau saat midodareni.

Oh ! Suasana rumah yang sesak oleh keluarga dan hadirin tak mengurangi keseriusan dalam membicarakan acara penting lainnya seperti bubak kawah, siraman, midodareni, panggih, resepsi.

Seorang juru paes terkenal di kota Semarang, salah seorang teman ayah bersedia menghias kami berdua dalam setiap ritual yang diadakan. Disela jadwal meriasnya yang padat, kami diberi waktu yang cukup. Hargapun jadi cukup damai.

***

Pernikahan kami dirancang sesederhana mungkin di rumah orang tua saya. Undangan yang ayah berikan kepada saya untuk dibagi hanya 25 lembar, entah berapa yang telah beliau sebar. Yang diutamakan adalah acara adat dilaksanakan dengan khidmat agar tak kehilangan roh. Pengaturannya dipimpin oleh ayah yang memang berpengalaman mengatur acara pernikahan Jawa, tanpa event organizer seperti yang sekarang makin marak di tanah air.

Ayah mengundang saudara-saudarinya, teman terdekat, tetangga dan anak didik beliau di sebuah yayasan yang melestarikan budaya Jawa. Semua menjadi bagian dalam sebuah kepanitiaan. Pengrawit, niyaga, sinden, MC, perias, teknisi dan sound system, tenda dan meja kursi, katering, penerima tamu, seksi sibuk … semuanya beres.

***

Sehari sebelum acara pernikahan, pemasangan Bleketepe dan Tarub dimulai. Sebuah gapura yang dihiasi tarub yang terdiri dari berbagai tuwuhan,yaitu tanaman dan dedaunan yang punya arti simbolis. Sepasang tebu wulung, pohon tebu yang berwarna merah hati ini memiliki arti bahwa kalbu pasangan pengantin kuat tak ubahnya warna yang ada.

Setandan pisang (yang menandakan suami bisa meniru pohon pisang yang bisa tumbuh dimana saja dan bermanfaat dari tunas sampai ujung daunnya) terpasang sudah.

Tak ketinggalan cengkir gading, yakni kelapa kecil berwarna kuning yang melambangkan kencang-kuatnya pikiran baik, sehingga pasangan ini dengan sungguh-sungguh terikat dalam kehidupan bersama yang saling mencinta. Ia menggantung disana.

Daun beringin, mojokoro, alang-alang, dadap srep diselipkan diantaranya. Ini menjadi doa agar pasangan hidup dan tumbuh dalam keluarga yang selalu selamat dan sejahtera.

Bleketeple, anyaman daun kelapa yang menyerupai satu sisir atap, digantungkan digapura depan rumah. Hal ini dimaknai sebagai pengusir gangguan dan roh jahat. Sebuah pertanda rumah orang tua saya sedang dijadikan tempat upacara perkawinan!

***

Saya anak nomer lima dari tujuh bersaudara tetapi anak perempuan pertama yang akan menikah. Sedangkan orang Jawa biasanya hanya menikahkan anak perempuan dan atau mboyong anak mantu perempuan. Untuk itulah, bapak menginginkan acara Bubak kawah alias mantu kapisan (red: menikahkan anak untuk pertama kalinya). Dua tahun kemudian, orang tua saya menggelar ritual tumplak kunjen (red: menikahkan anak perempuan untuk terakhir kalinya). Pamungkas.

[caption id="attachment_199638" align="aligncenter" width="448" caption="Simbol menikahkan anak perempuan kali pertama "]

13418356091299409399
13418356091299409399
[/caption]

Gamelan ditabuh para pengrawit dan niyaga. Sinden nyaring menarik suaranya mengiringi penyerahan kembar mayang. Bau kopi semerbak di udara. Saya speechless dan sedikit mengantuk.

***

Acara siraman atau mandi adalah kegiatan untuk membersihkan kedua calon pengantin sehari sebelum resepsi. Bunga tujuh rupa dari tujuh mata air telah berada di belanga perunggu kembang setaman. Gayungnya tanpa ampun memerciki badan yang menduduki kursi. Dingin tapi wangi semerbak setelah orang-orang yang ditunjuk memandikan seperti kedua orang tua temanten atau yang mewakili, nenek kakek, pinisepuh yang memiliki reputasi kehidupan yang unggul dan terakhir, perias.

[caption id="attachment_199641" align="aligncenter" width="461" caption="Panitia membawa kendi dan bokor isi tujuh mata air"]

13418359671836185188
13418359671836185188
[/caption]

Untuk praktisnya waktu itu acara siraman kami dilaksanakan ditempat yang sama di halaman depan rumah orang tua saya, tidak dipisahkan.

Gending-gending mengalun dari gamelan di pelataran depan rumah orang tua saya.

[caption id="attachment_199639" align="aligncenter" width="448" caption="Sinden menyanyi, niyaga menabuh gamelan "]

13418357671907288916
13418357671907288916
[/caption]

« Wis pecah pamore ». Pyarrrrr … kendi dibanting ke lantai oleh pihak yang ditunjuk. Ini sebagai pertanda memecah status calon pengantin untuk dinikahkan. Menikah !!! Handuk menyelimuti, masuk kedalam rumah untuk berganti pakaian yang telah basah kuyup.

Badan dibalut mantel mandi warna biru, kepala ditutup handuk agar kering. Bapak dan ibu menyuapi saya untuk terakhir kalinya. Adat ini memiliki makna bahwa besok usai resepsi, tanggung jawab orang tua diserahkan pada suami untuk menyuapi (red : menafkahi). Ujung rambut saya dipotong untuk menghilangkan sukerta (red : sial) dan ditanam di halaman depan rumah.

[caption id="attachment_199640" align="aligncenter" width="432" caption="Ujung rambut saya dipotong bapak, kress!"]

13418358821362567323
13418358821362567323
[/caption]

Para tamu acara siraman dijamu dengan minuman tradisional dhawet hijau (dengan air kelapa dan gula Jawa). Ritual dodol dhawet dilaksanakan orang tua saya. Ayah memegang payung, ibu memakai selendang dan bakul dipinggang (berisi kereweng/pecahan genting rumah sebagai alat tukar dodol yang akan dibagikan kepada para tamu yang akan membeli/minum).

[caption id="attachment_199642" align="aligncenter" width="448" caption="Bapak ibu menjual dhawet kepada para tamu"]

13418360762000147055
13418360762000147055
[/caption]

Ritual berikutnya adalah Ngerik. Anak-anak rambut calon pengantin wanita dengan hati-hati dikerik oleh pemaes. Ratus atau dupa wangi mengasapi helai-helai rambu saya. Perias menghiasi wajah saya dengan warna-warna pallete.

Kebaya hijau  saya kenakan. Kain batik motif sidomukti dan sidoasih menyertai. Lambang kain itu mengacu pada kemakmuran dan kehormatan sesama.

Saya telah siap mengikuti upacara midodareni. Seingat saya midodareni ini diambil dari kata widodari alias bidadari atau dewi dari kahyangang. Pada masa itu biasanya calon pengantin putri memang dipersiapkan untuk tampil manglingi (red : menakjubkan) layaknya bidadari.

Rombongan perwakilan orang tua suami saya berada diserambi rumah, dibawah tenda, saya dipingit dalam kamar tak boleh tidur sampai tengah malam. Konon saya dipercaya ditemani dewi cantik dari kahyangan. Sesaji ada dimana-mana.

Beberapa teman, saudara yang sudah tua (semuanya perempuan, kecuali tukang foto) bergiliran mendatangi saya untuk sekedar bercanda, berbincang dan memberikan nasihat.

Sedangkan suami saya mengirim SMS, sedih tidak boleh masuk rumah untuk bertemu. Inilah salah satu tujuan acara, agar ia melatih kesabaran. Apalagi ia hanya boleh minum segelas air putih yang disodorkan ibu saya. Tak boleh yang lain.

Aww. Tak ada acara nyantri (red : calon pengantin pria menginap di rumah mertua) dalam skenario kami. Memang ada beberapa keluarga calon pengantin pria yang menyerahkan anak lelakinya kepada orang tua calon mempelai putri (meski boleh makan tetapi tidak diperbolehkan bertemu sampai keesokan pagi saat dirias bersama). Nyantri ini juga dimaknai menyandera calon pengantin pria agar tak lari atau terlambat datang pada acara ijab dan atau resepsi. Dari pandangan modern, ini juga praktis (apalagi kalau tinggal di luar kota/pulau/negeri).

Suami saya dan rombongan pulang ke rumah masing-masing. "Jangan lari ya, Mas Bagus! Besok datang jam 5 pagi ke salon depan jalan besar." begitu kata panitia padanya.

***

Ijab kami laksanakan di masjid yang hanya beberapa meter dari rumah orang tua. Acara berlangsung sukses dan khidmat. Lega rasanya, telah resmi memegang buku suami dan istri.

Berikutnya adalah upacara Panggih atau Temu Penganten dimana tiga orang wakil dari keluarga saya menemui pengantin pria didampingi rombongan (kecuali wakil orang tuanya) tepat didepan pintu rumah orang tua saya.

[caption id="attachment_199643" align="aligncenter" width="448" caption="Penyerahan kembar mayang "]

13418362061000061423
13418362061000061423
[/caption]

Rombongan pengantin pria, empat diantaranya membawa rangkaian kembar mayang dari acara Bubak kawah (red: menikahkan anak perempuan untuk pertama kalinya) menyerahkan kepada pihak kami. Hiasan itu dari janur (red: daun kelapa berwarna kuning) dengan pucuk nenas berpindah sudah.

***

Acara belum juga usai. Balangan suruh (red: lempar melempar daun sirih yang diisi kapur sirih dan diikat benang) mengikuti alur. Sayangnya, suami tak terkena lemparan saya karena ia jongkok demi berkelit dari lemparan saya dari jarak 2 meteran! Saya yang tertawa dan kaget dengan reaksinya, terkena daun sirih terbangnya. Oh, no! It couldn’t be … he won the game! Tawa hadirin dan tepuk tangan bergemuruh.

Konon, daun sirih memiliki dayamengusir roh jahat. Dengan ini, harapannya kami adalah pengantin sejati, bukan aspal (asli tapi palsu).

***

Selanjutnya, ritual Wiji Dadi yaitu suami saya selaku pengantin pria menginjak sebuah telur ayamkampung yang ada diatas nampan warna emas yang dihiasi irisan pandan dan mawar merah putih. Kaki kanannya yang kotor dan amis dari telur saya basuhi dengan air kembang disebelahnya. Ini melambangkan bahwa suami sebagai pemimpin istri akan bertanggung jawab, istri mengasihi dan merawat suami, serta memiliki keturunan yang baik.

[caption id="attachment_199644" align="aligncenter" width="484" caption="Injak telur, tok tok pyarrr!"]

13418363381140793003
13418363381140793003
[/caption]

Lalu ritual Sindhur Binayang, bapak mengalungkan kain merah berpinggir putih di bahu kami berdua, menggeret dari depan menuju krobongan (red: singgasana mempelai yang dihiasi ukiran kayu) sebagai pertanda penunjuk kebahagiaan. Ibu memegangi bagian punggung kami, yang berarti mendukung tut wuri handayani (di belakang memberikan dorongan).

Dikursi pengantin, bapak memangku kami berdua di kedua lutut. Ritual timbangan namanya. Beratnya sama-sama, ujar ayah saya. Bapak mencintai kami berdua tanpa perbedaan meski kalau pakai timbangan BB yang asli pastilah beda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun