Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bagaimana Cara Menjelaskan Sebuah Perceraian Pada Anak?

27 Juni 2012   08:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:29 3476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dahulu waktu jadi anak, tak pernah ada perbincangan yang menyinggung soal perceraian baik di rumah atau di sekolah. Saya juga tak pernah bertanya. Ketika menikah dan memiliki anak ternyata sebuah pertanyaan muncul tentang ini (kepada saya), menggunggah hati mencari jawabannya dan mengerti cara penyampaian yang pas tentangnya. Belajar dari buku yang lucu dan terekomendasi. Anak-anak harus dikasih tahu tentangnya.

Perceraian rupanya tak selamanya suram. Ini menjadi sebuah solusi (terbaik) bagi pasutri, meski bisa jadi sebuah tekanan psikis bagi anak-anak yang terbagi. Mungkin, perceraian bisa terlihat indah jika memang dilakukan dengan baik dan benar. Am I right?

***

[caption id="attachment_197315" align="aligncenter" width="644" caption="Kami tetap orang tua kalian meski telah berpisah, Nak. (dok.pribadi)"][/caption]

Kedua putri saya baru saja saya jemput dengan jalan kaki. Sengaja mereka saya ajari untuk hemat BBM dengan menggunakan mobil hanya jika memang sangat perlu. Berangkat ke sekolah karena tergesa-gesa, pakai mobil, 5 menit sampai. Jika mengayuh kedua kaki sepulang sekolah, 15-20 menit naik turun tanjakan kecil. Capek tapi sehat.

Dalam perjalanan, saya sengaja menanyakan apa saja yang mereka alami sepagian di sekolah bersama guru dan teman-teman. Salah satu cerita yang menarik adalah saat Chayenne menanyakan mengapa temannya, Vivi, 6 tahun menceritakan padanya bahwa orang tuanya berpisah dan sering ribut. Mamanya di kota Seitingen, papanya di Spaichingen. Anak-anak ikut mama. Mereka hanya bertemu ayah seminggu sekali, dijemput, entah pergi kemana tanpa mama.

Pertanyaannya tak bisa saya jawab langsung, saya hanya mengalihkan pada kejadian lain yang ia ceritakan. Saya belum siap menjawab dengan baik. Dalam hati berjanji mencari jawabannya entah esok atau lusa.

Heran, natal tahun kemarin saya sempat berbincang dengan ibu Vivi dan mengagumi keluarganya yang harmonis. Perempuan bertubuh bongsor itu memiliki tiga putri yang sudah besar-besar dan cantik bak bunga merekah, memiliki pekerjaan sambilan sebagai penterjemah dalam 3 bahasa, suami yang ganteng dan menafkahi, mobil besar dan rumah yang bagus. Ada apa dibalik pertengkaran dan perpisahan mereka? Namanya rumah tangga, tak ada yang tahu apa isi didalamnya kecuali pasutri itu sendiri. Tahu sama tahu.

Kebetulan seorang tetangga dari Turki yang kenal dekat dengan keluarga Vivi mengatakan bahwa si mamalah sumber perceraian ini. Wanita keturunan Belanda itu telah selingkuh terlebih dahulu. Di masa getrennt (red: pisah ranjang), akhirnya si ayah yang berprofesi sebagai polisi itu menemukan pacar baru. Keduanya, saya yakin … lagi-lagi bahagia.

***

Seminggu sekali, kami menengok perpustakaan sehabis les balet. Rencana menepati janji, menjawab pertanyaan anak-anak mengapa orang tua bertengkar dan kemudian bercerai. Buku-buku telah ada di kantong, dua diantaranya adalah pilihan saya soal perceraian berjudul „Wir bleiben eure Eltern, auch wenn Mama und Papa sich trennen“ (red: kami tetap orang tua kalian, meski bercerai sekalipun) dan „Wir teilen alles“ (red: kita bagi rata semuanya).

Sekilas saya baca buku yang tak begitu tebal dengan ilustrasi yang cukup membantu penjelasan tentang perceraian dan penyelesaiannya itu. Seperti biasa, saya bacakan pada malam hari sebelum tidur.

Lewat buku yang pertama „Wir bleiben eure Eltern, auch wenn Mama und Papa sich trennen“, saya ceritakan kepada mbak Chayenne dan dik Shenoa bahwa dua orang anak seumuran mereka bernama Jonas dan Lena curiga ketika melihat orang tua mereka berkelakuan aneh saat piknik.Ketika kedua bocah bermain ternyata mereka memperhatikan kedua orang tuanya sedang serius membicarakan sesuatu dipinggiran sungai.

Keyakinan Lena bahwa mereka bertengkar ternyata benar. Jonas yang lebih kecil masih tak begitu paham.

Kecurigaan Lena bertambah saat makan malam di rumah. Kedua orang tuanya tak bertegur sapa sekalipun dan tak ada penjelasan kepada mereka anak-anaknya.

Kebiasaan sang ayah mencium Jonas dan Lena sebelum berangkat ke kantor seusai makan pagi misalnya, tiba-tiba menghilang. Dan tabiat ayah yang berubah lainnya …

Ketakutan anak-anak bahwa kepala keluarga itu marah kepada mereka, tak dijawab sang bunda. Mama diam seribu bahasa. Hingga suatu hari, si ibu serius mengajak mereka berdiskusi bahwa mereka bertiga akan segera pindah tanpa ayah dan menjelaskan persoalan pasutri yang mereka pendam selama ini.

Jonas dan Lena heran karena kepindahan tanpa papa ini tiba-tiba sekali. Mama menjelaskan bahwa papa telah menemukan rumah yang lain, ingin menyendiri tanpa mereka bertiga.

Kekhawatiran Lena dilontarkan kepada ayahnya yang baru pulang dari kantor. Dengan bijaksana, lelaki berambut coklat itu memegang kedua tangan gadis kecilnya. Pandangan matanya menunjukkan kesedihan. Pelukan jatuh pada si sulung sembari meluncurkan kalimat keterangan bahwa apa yang diceritakan istrinya benar. Sebagai pasutri sudah tidak ada cinta diantara mereka. Hari-hari hanya diisi pertengkaran yang tak berujung pangkal. Hal ini tak bisa dilanjutkan lagi. Tetapi sebagai ayah, cintanya pada Lena dan Jonas tak akan pudar. Sebuah penjelasan yang menguatkan imaginasi anak bahwa cinta diantara orang dewasa (misalnya suami istri) bisa berakhir, sedangkan kasih sayang orang tua pada anak sepanjang masa.

Sebagai anak-anak, Lena tak bisa menerima penjelasan yang blak-blakan itu. Ia kesal meninggalkan ayah dan bersembunyi dibawah kasur tingkatnya.

Waktu malam minggu mereka diperbolehkan untukmenginap di rumah eyang putri. Sekembalinya, mereka dikagetkan oleh truk barang yang mengangkut karton-karton ayah dan sebuah sofa!

Jonas yang terkecil berteriak panik. Ia mengira tukang pengangkut barang itu mencuri sofa. Buru-buru ayah berkacamata itu mengatakan bahwa ia butuh sofa itu di rumah barunya. Dasar anak-anak, Jonas masih saja tak mengerti perkataan bapaknya. Ia bahkan membujuk kepala keluarga itu untuk meminta si tukang mengeluarkan sofa dari mobil transport. Si ayah hanya manggut-manggut dan berjanji bahwa Jonas dan Lena boleh mengunjungi rumah barunya, duduk bersama di sofa sembari membaca buku, seperti yang sudah-sudah.

***

Saat menjalani hidup bersama mama, Jonas dan Lena merasa aneh tanpa ayah disekitar mereka. Dengan sabar, si ibu menjelaskan sekali lagi arti penting pisah ranjang atau perceraian bagi pasutri.

Ibu Jonas dan Lena juga pintar-pintar menghadirkan entertainment bagi anak-anak (ke kebun binatang, ke taman bermain di kampung). Sesekali anak-anak memang rindu akan kehadiran sang kepala keluarga, untung setiap malam bapak itu menelpon mereka demi mengucapkan selamat tidur dan jatah hari Sabtu untuk jalan-jalan.

Ada beberapa kasus perceraian, dimana pihak yang diberikan hak asuh oleh pengadilan tak mengijinkan pasangannya menjenguk anak-anak bukan? Namun dalam tulisan Susanne Szesny dan Julia Volmert ini, ada sebuah keadilan diatas sebuah keretakan rumah tangga. Anak tak boleh dijadikan korban perceraian melainkan dibesarkan bersama-sama dengan cinta kasih seutuhnya, meskipun dari dua rumah yang berbeda.

***

[caption id="attachment_197317" align="aligncenter" width="616" caption="Anak-anak membagi. Sama rasa, sama rata ..."]

13407847621890349801
13407847621890349801
[/caption]

Buku „Wir teilen alles“ membahas hal yang sama. Demetrius dan Paula memiliki orang tua yang tak pernah akur (Herr dan Frau Schroberklott). Pasutri itu didepan mata anak-anaknya, saling membenci kebiasaan pasangannya, adu komentar buruk, membuat ulah demi memancing kemarahan lawan dan seterusnya.

Anehnya, justru anak-anak merasa merekalah yang bersalah atas kejadian tak harmonis tiap harinya itu. Kekhawatiran mereka muncul lambat tapi pasti. Untung setelah Demetrius dan Paula mengumpulkan anak-anak usia lima tahunan yang memiliki orang tua bermasalah, ditemukan kesepakatan bersama bahwa keributan itu bukan kesalahan anak-anak.

Ide muncul dari Paula, menikahkan kembali orang tua mereka Herr dan Frau Schroberklott didepan pastor. Persiapan pernikahan dilakukan anak-anak mulai dari undangan, kue pernikahan hingga gambar rencana pembangunan dua rumah bagi orang tua mereka.

Usai kedua mempelai menyatakan TIDAK untuk menikah didepan altar, pastor dan hadirin, tepuk tangan bergemuruh. Jelas sudah bagi para saksi, bahwa mereka harus segera … DICERAIKAN.

Sementara Herr dan Frau Schroberklott terbang untuk acara liburan (ke tempat yang berbeda satu sama lain), Demetrius dan Paula menghancurkan rumah mereka dan membangun dua rumah yang berbeda sesuai selera mama dan papa. Sebuah gorong-gorongrahasia dibangun di dalam tanah untuk menghubungkan kedua rumah, hingga mempermudah mereka untuk mengunjungi rumah kedua orang tua mereka denga mudah.

Rencana berjalan mulus dan senyuman kedua anak-anak yang belum dewasa itu mengembang. Kebahagiaan terpancar di hati mereka meski orangtuanya BERCERAI dengan damai. Bahkan keuntungannya adalah mereka memiliki fasilitas dobel karena di kedua rumah tersebut masing-masing menyediakan apa saja yang mereka butuhkan; kolam renang, warung hamburger, stand es krim dan masih banyak lagi! Selain itu kedua orang tuanya merasa nyaman hidup sendiri-sendiri tapi tetap memiliki waktu bersama anak-anak yang sering menyelinap lewat bolongan rahasia bawah tanah.

***

Princess Nen dan Princess Noa manggut-manggut, lalu berkata bahwa mereka tak mau orang tuanya (saya dan suami) DIPISAHKAN seperti cerita Vivi, teman disekolah, atau kisah anak-anak dalam kedua buku yang baru saja saya bacakan. Hati saya trenyuh, mereka sudah punya visi misi yang sama. Don’t worry kiddies, we are still in love.

Tak pernah terbersit sebuah cita-cita untuk bercerai setelah mengucapkan ikrar setia di hari pernikahan kami. Bagaimanapun, hidup adalah sebuah rahasia yang hanya diketahui-Nya. Terus berusaha dan berdoa. Semoga pernikahan para kompasianer juga langgeng sampai kaki nini. Jika memang pasutri harus dipisahkan, saya yakin dengan cara yang indah dan berakhir damai seperti dalam fantasi kedua buku diatas. I can say, it’s marvellous. (G76).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun