Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Perlukah Perjanjian dengan Anak Dibuat?

22 Maret 2012   09:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:37 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1332406873626097486

Kata pepatah: kecil-kecil anak kalau sudah besar menjadi onak? Ah, semoga saja tidak …

Memiliki anak yang telah memasuki masa puber memang berbeda saat anak masih bayi/kanak-kanak, ada saja cobaan mental yang terjadi. Sebagai orang tua, kadang ada rasa kesal dan tak sabar … saya juga manusia biasa.

OK, sebagai orang tua, tak patah arang menempuh segala cara, termasuk berbicara dari hati ke hati kepada anak adalah penting …

***

Suatu kali, kami berbincang dengan anak sulung. Dari hasil perundingan, kami telah memberikan pengertian bahwa tahun ini, ia telah berusia 12 tahun (kelas 6) yang berarti beban dipundaknya sudah mulai terasa. Beberapa tugas yang kami tekankan adalah membuat PR, belajar dan membersihkan kamarnya. Urusan lain-lain adalah nomer sekian atau hanya sebagai bukti kerelawanannya selaku anggota keluarga saja. Nah, sebagai award untuknya, ia diperbolehkan untuk berkuda di sebuah ranch yang letaknya 5 menit dari rumah. Kami amat memahami bahwa kuda adalah nomer satu dalam hidupnya. Deal.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, kami mengevaluasi. Usai perjanjian tak tertulis itu, ternyata, ia tak mengerti diskusi terdahulu. Anak kami itu saya pikir telah memasuki masa puber (maaf, jika saya periksa celana-celananya sebelum dicuci, sepertinya ia telah mengalami mimpi basah) sehingga mungkin saja mengalami masa yang agak sulit dari masa sebelumnya. Meskipun demikian, saya amat menyayangkan jika si bocah masih belum juga berubah dari tahun sebelumnya. Ia masih malas mengerjakan PR hingga mendapat kartu peringatan berulang-ulang dari sekolah, tak mau belajar sebelum tes hingga nilai ulangannya jeblok dan kamarnya yang luas berantakan (setelah masuk Gymnasium kelas 5, ia saya beri wewenang untuk merapikan kamarnya sendiri demi melindungi harta dan rahasia pribadinya dan hanya sesekali saja saya re-cek).

Walhasil, si ayah tetap mengijinkannya berkuda setiap sabtu dengan alasan demi jaringan sosial (anehnya psikolog menganjurkan hal yang sama dan neurolog kami menentangnya). Excuse me??? NATO (No Action Talk Only) … saya merasa bahwa ini tidak bisa dibiarkan, karena akan menjadi contoh bagi kedua adiknya. Serasa tak fair jika si sulung mendapatkan permakluman meski tidak menunjukkan itikad yang baik sedangkan kami mulai mempersiapkan anak kedua (masuk SD kelas 1 bulan September 2012 nanti) untuk mengikuti aturan penghargaan dan konsekuensi demi kemajuan proses belajar di sekolah.

Saya mulai melempar argumen kepada suami dan anak. Hasilnya, kami terlibat lagi dalam perundingan dan lahirlah sebuah Vertrag (red: perjanjian di atas kertas) tertanda anak, ayah dan ibu. Tujuan dari hal ini adalah agar ia belajar soal konsekuensi, hak dan kewajibannya secara bertanggung jawab dan tidak lupa/melupakannya secara sengaja lantaran tertulis diatas kertas!

[caption id="attachment_177770" align="aligncenter" width="635" caption="Perjanjian tertulis (dok.pribadi)"][/caption]

Isi/kalimat dari perjanjian itu adalah murni dari nuraninya dan kami hanya mengarahkan dan menandatanganinya, dikopi dan disimpan masing-masing pihak.

Misalnya:

1.Saya harus belajar kosa kata bahasa Inggris dan Perancis setiap hari selama 10 menit seperti anjuran bapak/ibu guru, jika tidak saya harus mengeluarkan peralatan makan dan minum dari mesin cuci piring sampai tanggal 25 Maret 2012“

2.Saya berjanji akan mengikuti bimbingan belajar bahasa Jerman disekolah pada hari Selasa dan bahasa Perancis* pada hari Jumat di bimbel atas kemauan sendiri demi kemajuan belajar (*karena mencaplok dana 100 euro dari ayah tiap bulannya)“

3.Jika saya beres mengerjakan PR dari Senin-Jumat, membersihkan/merapikan kamar saya paling lambat hari Jumat jam 20.00, saya berhak berkuda pada hari Sabtu-nya pukul 14-17.00

4.„Namun jika nilai ulangan saya 6 (red: nilai terendah dari rentangan 1-6), saya tidak boleh merengek meminta uang untuk berkuda selama 4 kali“ (red: setiap hari sabtu, seminggu sekali adalah kursus berkuda)“.

5.Saya diijinkan untuk berlibur ke Legoland, jika memenuhi persyaratan sebagai berikut; hormat pada orang tua, tidak boleh berbohong, rajin mengerjakan PR dan seterusnya …“

Kemudian …

„Warum weinst du?“ Suami saya bertanya kepada sang anak karena menangis tersedu-sedu.

„Ich habe gar nicht gemacht; meine Hausi sind noch nicht fertig, meine Zimmer ist noch nicht aufgeräumt und heute ist wieder Samstag … ich möchte zum reiten, aber …“ Ia tersadar bahwa hari itu adalah hari Sabtu, dimana hari paling dinantinya untuk berkuda. Memiliki perjanjian segitiga dengan kami, anak sulung sadar bahwa ia tak berhak menagih uang untuk menaiki poni/kuda bersama grupnya lantaran ia belum usai mengerjakan PR-nya, kamarnya masih berantakan … Bocah lelaki itu mengerti sekali telah menyia-nyiakan kesempatan meski orang tuanya selalu mengingatkan setiap hari plus perjanjian tetapi nasi telah menjadi bubur. Ia tak bisa berkata apa-apa melainkan menjatuhkan butiran air halus dari kelopak matanya sembari merenungi nasib tak bisa berkumpul dengan para cowboy dan cowgirl pada hari itu.

Saya rasa, efek jera itu tak ubahnya kapok lombok (red: hanya sesaat). Si anak mengulangnya lagi dan lagi, bahkan lebih pintar, ia berusaha membuat siasat; misalnya dengan berbohong telah menyelesaikan PR namun enggan memperlihatkannya, tidak merapikan kamar namun hanya mengumpulkan yang berserakan dan membuangnya di sebuah lemari pakaiannya (jika lemari dibuka haduhhhhh … isinya berhamburan!) atau menyembunyikan sampah dibawah tempat tidur, ditutupi selimut dan ide ‘cemerlang‘ lainnya. Apakah itu ia lakukan semata-mata demi mendapatkan jam berkuda? Jan ... jan ...

Ya Allah Gustiiiiiiiiii nyuwun ngapura … ternyata membuat perjanjian dengan pesan moral bagi anak itu tak mudah. Perlukah adat membuat perjanjian tertulis dengan anak diteruskan? Ini sembari menanti masa dimana ia memahami perkembangan kejiwaanwho I am?“ pada dirinya dan segera sadar ia melakukan semua untuk masa depannya (tak hanya menyenangkan orang tua), sehingga everything’ll gonna be all right secara natural …? (G76).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun