Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Adat Melayat di Jerman Membuat Saya Takut Mati

19 Juli 2011   08:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:33 5286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_218801" align="aligncenter" width="368" caption="Contoh makam di Jerman"][/caption] Pepatah desa mawa cara nagara mawa tata (red: desa memiliki cara sendiri-sendiri sedangkan negara mempunyai tatanan lain dibandingkan negara lain) atau peribahasa lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya (red: setiap daerah memiliki adat istiadat yang berbeda-beda) selalu mengingatkan saya selama di negeri asing, Jerman. Betapa tidak, bahwa budaya barat yang banyak bagusnya itu ternyata juga menyisakan sesuatu yang serasa tidak pas di hati, misalnya adat melayat rakyat Jerman. Saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan budaya mereka, tetapi karena sejak kecil saya sudah terbiasa dengan adat yang berbeda di Indonesia (tenda-tenda melayat didepan rumah almarhum/almarhumah bagi tamu, bendera kuning tanda berkabung, lemparan beras kuning dengan berbagai uang recehan rupiah, kotak sumbangan bagi keluarga, mengantar hingga kuburan, nasi berkat dalam kardus, yasinan, empat puluh-seratus hari, ngijing dan masih banyak lagi). Akhirnya bertahun-tahun lamanya saya berusaha beradaptasi, tapi belum membuahkan hasil. I keep on trying to see something imperfect perfectly buntutnya masih juga gedheg-gedheg (red: geleng kepala). Hiks. Pertama kali saya melayat seorang ayah dari om yang masih ada garis keturunan suami. Kakek tua itu berusia sekitar 85 tahunan. Selain bekerja di sebuah perusahaan swasta, semasa hidupnya ia banyak bergaul dengan Schutzverein (red: klub menembak dan  berburu). Ketika meninggal di musim dingin di bulan September, ternyata banyak juga yang melayat. Kalau saya hitung dengan jari ada sekitar 65 orang. Diantaranya 15 orang regu tembak yang mengikuti proses penghormatan terakhir, 5 orang dari gereja, 15 dari saudara dan 30 dari rekan-rekan kerja atau kenalan. Saat itu saya salah kostum, memakai pakaian panjang berbahan katun, seharusnya dari bahan woll atau jaket yang tebal untuk membalut tubuh. Biasanya bulan September akan seceria nyanyian Vina Panduwinata, ternyata cuaca Jerman seperti bunglon yang gampang berubah dalam sehari. Karena rasa hormat saya pada keluarga yang ditinggalkan, saya mengikuti acara dari awal sampai terakhir sembari menggigil kedinginan. Brrr ... 10 derajat celcius. Haaaaaaaaa ... Mula-mula penghormatan diberikan di dalam gereja, tiga perempat jam kemudian, semua keluar menuju Friedhof (red: kuburan) yang cantik nan asri. Sebagai catatan saja bahwa makam orang Jerman seperti yang sering saya lihat di televisi, tidak seangker dan semrawut layaknya kuburan Indonesia. Pihak pengelola TPU biasanya menempatkannya di sebelah gereja atau Kapel (red: tempat berdoa mirip gereja mini). Pihak keluarga  menanaminya dengan bunga-bunga cantik dan lilin dalam sangkar nanti. Tetapi sebelumnya mereka tak perlu repot memandikan atau merawat mayat sebelum dikubur karena dipasrahkan kepada agen. Heeee ... Acara di pekuburan itu dipandegani seorang pastor berjubah putih yang menggotong sebuah kitab suci. Acara penghormatan terakhir dari klub tembak berlangsung beberapa menit, sedikit mengagetkan memang dengan lepasan peluru di udara. Pakaian tradisional yang warna-warni menambah kekhidmatan hadirin dalam menyimaknya. Topi ala Robin Hood dengan beberapa selipan bulu burung, celana kulit berukir warna hijau, hitam atau coklat, atasan putih atau merah dan Dirndl (red: rok adat perempuan Jerman) yang cantik! Setelah usai, setiap hadirin dipersilahkan untuk menyiramkan air suci dari gentong emas dari gereja. Tiga kali menciprat atau sekedar berdiam diri didepan peti mati bisa menjadi pilihan. Saya yang muslim tentu saja bengong dan hanya mengikuti apa yang mereka lakukan. Saya tak ubahnya sapi dicocok hidung. Hiks. Rak mudeng, ik (red: saya tidak paham, nih). Pada akhirnya nanti, tanda palang pantek (red: kayu salib bertuliskan nama almarhum, tanggal kelahiran dan kematian tertera, untuk kemudian diganti dengan nisan batu besar cantik atau bahkan berhiaskan patung pualam berbagai model yang akan dipasang pihak panitia. Kontrak kuburan itu sekitar 20 tahun dan batu akan dikembalikan kepada keluarga saat kontrak habis dengan pemberitahuan lewat surat peringatan. Sementara mereka yang dibakar dan dimasukkan dalam guci biasanya ditempatkan dilemari atau rak kotak berkunci disekitar kuburan, atau dikubur dalam tanah dalam ukuran yang lebih kecil dari yang dipetikan mayatnya. OK. Ternyata acara tidak berhenti disitu saja, acara Kaffe trinken (red: minum kopi atau teh serta makan kue) digelar di sebuah restoran. Yang diundang biasanya orang-orang tertentu, pihak keluarga terdekat. Semua biaya ditanggung keluarga yang ditinggalkan. Mungkin itulah rupanya, beberapa tamu yang hadir di tempat makan itu memberi salam tempel alias menyalami sambil memberikan amplop berisi uang. Biasanya berkisar 15 euro (sekitar Rp 200.000) sampai ratusan euro, tergantung kemampuan masing-masing tamu dan kedekatan dengan keluarga. Setelah mengobrol mengenang kisah almarhum, tamu menghirup kopi atau teh. Beberapa juga ada yang meminta bir bahkan wine (red: anggur). Kemudian saat malam menjelang, pelayan akan menyiapkan makan malam misalnya Vesper yakni roti dan salami irisan berbagai daging atau sosis, Sauerkraut (red: kol putih yang diiris berasa cuka), Würstsalat (red: salat dari irisan tipis nan panjang dari daging babi), Gebratene Schwein (red: babi rebus dengan saus warna coklat) dan masih banyak lainnya. *** Selain di gereja dan dilanjutkan ke makam, ada adat lain yang diikuti tetangga saya. Seorang wanita berusia 80 tahun baru saja ditinggalkan sang suami, 91 tahun. Meski selalu rajin bekerja setiap hari dan menyetir kemana saja bersama sang istri, ia tak pernah sakit. Namun sebuah kehendak jika suatu hari ia harus menginap dirumah sakit karena serangan jantung mendadak. Begitu mendengar, kami langsung meletakkan sebuah kartu „Gute besserung" (red: semoga lekas sembuh) disebelah tempat tidurnya di rumah sakit kota. Beberapa tangkai bunga Crysant warna oranye yang kami beli dari sebuah toko seharga 1,99 euro saya taruh dalam pot gelas transparan. Hati kami miris, nafasnya amat berat tersengal-sengal. Saya mengiyakan perkataan suami saya, „Nicht lange mehr ..." (red: sudah pupus harapan). Dua hari kemudian, ia meninggal. Kartu ucapan kedua turut belasungkawa lengkap dengan amplopnya segera saya tempelkan pada si istri yang baru saja dicangkok lututnya. Hati saya serasa sendu mendengarkan cerita kehidupan mereka. Si wanita blonde itu berterima kasih, tak biasanya tetangga ada yang baik dan simpati, melayat di rumah. Haaaaah? Di Indonesia sudah biasaaa .... Sang istri dibantu kerabat dari kota terdekat, mengorganisir pemakaman. Satu minggu kemudian, saya diundang untuk mengikuti acara „Beerdigung" (red: melayat). Dari ratusan tetangga, hanya 7 saja yang mendapat undangan (saya, tetangga kiri saya, tiga orang tetangga bawah sana, dua orang mantan tetangga). Sementara 23 orang lain adalah kerabat terdekat dan teman-teman almarhum. Total 30 kursi yang disediakan sebuah lembaga pemakaman di tengah kota itu terisi penuh. Asisten pastor mulai membantu menyiapkan lilin, piano dan sebuah buku besar. Beberapa menit kemudian, pastor datang dan mulai berkhotbah. Bahasa Jerman saya yang grotal-gratul (red: belum lancar) mencoba menangkap kata-kata lelaki berjubah putih itu. Kalau tidak salah, ia menceritakan kehidupan almarhum dari lahir sampai meninggal. Dari menderita saat perang hingga bahagia bersama istri, tanpa anak. Sesekali, ucapannya diiringi piano dengan lirik „Meinen Jesus lass ich nicht" (red: Tuhan Jesus tidak akan meninggalkanku), „So nimm denn meine Hände" (red: peganglah sekarang tanganku, atau "Nun sich der Tag geendet" (red: akhirnya kiamat besar telah tiba). Satu jam, ruangan yang dihangati oleh pemanas ruangan itu mulai ditinggalkan hadirin. Satu persatu memberikan penghormatan terakhir didepan peti yang dihiasi sebuah photo besar dari almarhum yang menatap, seakan-akan hidup. Silahkan mengangkat gayung untuk mencipratkan air atau berdiam diri. *** Adat melayat yang terakhir amat berkesan. Selain terjadi pada musim panas, acara digereja dan di aula itu lebih modern. Maklum, yang meninggal adalah seorang lelaki berusia 50 tahun. Khotbah yang disajikan pastor juga tidak membuat kami mengantuk. Energi mengikuti Beerdigung itu juga masih ada, apalagi mendengarkan iringan lagu Enya "Only Time, Phil Collins dengan "Against all odds" atau "Going where the wind blows" milik Mr. Big yang mengharu biru. Hiks, tak kurang dari seratus orang hadirin mulai menyeka keringat dan air mata yang bercucuran. All right. Menyimak tiga acara melayat di Jerman, membuat saya jadi takut mati di Jerman. Bagaimana acara saya nanti jika waktu telah tiba? Saat ini saya sedang mencari informasi kepada teman-teman dari Turki yang lama di Jerman tentang adat mengubur Muslim di negeri yang susah sekali menemukan masjid  dan makam Islam ini. "Nun, möchtest du dich zu verbrennen lassen oder mit dem Box? Ich wünsche mir meine Asche ..." suami saya lalu menyentil saya tentang rencana jika meninggal nanti; dibakar atau dimasukkan peti mati. Sementara ia berharap jika meninggal ingin dibakar dan abunya disebar di laut, atau kalau ribet lebih baik dengan nisan kayu saja kuburannya. „Bitte, schick mich Heim ..." Saya menunduk, meminta suami saya mengirim jasad ke Indonesia saja. Suami saya terperanjat karena dengan adat Muslim untuk segera dikebumikan dimana penerbangan Jerman-Indonesia minimal 16-24 jam baru sampai, keperluan surat-menyurat untuk terbang ke tanah air dan jumlah uang yang harus ditunaikan itu tak seperti membalikkan telapak tangan. Kalau saya orang penting, mungkin pengurusannya bisa jadi lebih mudah dari Jerman ke Indonesia. Hiks. Saya jadi benar-benar takut meninggal di negeri asing. Hiks ...  God, help me!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun