Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

DOSEN: Omong Se-DOS, Gaji Se-SEN (?)

8 Juli 2011   07:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:50 1751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_121407" align="alignleft" width="629" caption="Dosen: Omong se-DOS gaji se-SEN"][/caption]

Pernah sekali saya melamar menjadi seorang guru TK di kota tempat tinggal kami di Jerman. Semua berkas adalah terjemahan ke bahasa Jerman dari penterjemah tersumpah di Jakarta. Balasan dari pak walikota yang menjadi direktur TK setempat adalah "Momentan brauchen wir keine Erzieherin ..." (red: untuk sementara waktu kami tidak membutuhkan guru TK). Nelangsa rasanya. Jika di Indonesia banyak teman kenalan sewaktu di pasca sarjana melamar saya untuk jadi dosen. Disini saya melamar kemana-mana, ora payu (red: tidak laku) ha ha ha ... Jadi berbanggalah Anda yang mengajar di Indonesia baik sebagai guru atau dosen. Sayangnya, dosen di negeri terkadang diplesetkan menjadi ngomongnya harus se-DOS dan gajinya hanya se-SEN. Hiks. Seingat saya, usai wisuda tahun 2000, saya mengajar langung di almamater saya. Tanpa ba bi bu, saya diterima sebagai dosen honorer. Yang penting sudah mempunyai akta IV, sebagai prasyarat seseorang untuk mengajar dan track record yang mumpuni. Menerima gaji pertama RP 250.000 dari golongan III C (?) waktu itu merupakan sebuah kesenangan yang luar biasa, narima ing pandum (red: menerima apa adanya). Lalu tahun 2001 saya mengajar sembari meneruskan S2 dengan swadaya, dengan anggapan bahwa jika menunggu disekolahkan pastilah memakan waktu lama karena antri. Maklum banyak dosen senior, saya masih anak bawang. Lantaran kesibukan LSM, radio, kuliah dan keluarga saya sering meninggalkan mahasiswa. Hal itu bukan sengaja dan bukan karena mogok mendapat gaji kecil. Meskipun begitu tugas dan pemadatan saya lakukan pada 4 kelas. Setelah tiga tahun mengabdi, saya jenuh dan boikot tanpa ijin pamit. Sekitar tahun 2004, seorang profesor yang akrab dipanggil Om Ret menanyakan kepada saya. Mantan guru besar UNNES itu sedang dalam rangka akreditasi kampus tempat saya mengajar. Saat bertemu di kampus pasca, beliau bertanya, apakah benar saya dosen tetap sesuai yang tertera dalam daftar dosen. Saya yang digaji honorer jadi melongo. Kok bisa? Saya mengirim SMS kepada rektor, tak ada jawaban. Saya anggap angin lalu. Gusti ora sare (red: Tuhan tidak tidur), untung saya sudah walk out. Seorang teman kuliah saya, setelah lulus S2 diterima di almamater kami. Wanita keriting itu mengajar di universitas negeri bagus di kota kami. Selain disana, perempuan ayu nan kenes itu mengajar juga di kampus tempat saya dahulu mengajar. Keluhannya, lagi-lagi soal gaji. "Mosok gedunge mentereng, mahasiswane okeh kok gajine sitik" (red: masak gedung kampusnya megah, mahasiswanya banyak tapi tak mampu menggaji dosen dengan baik dan benar). Tetapi demi keempat anaknya, tak ada kata mundur dodolan abab (red: menjual ilmu dengan mulut/suara). Setelah wisuda S2 tahun 2005, saya berfikir, mau digaji berapa saya ini? Siapa yang mau menggaji saya dengan harga cukup? Karena gaji tidak hanya sekedar berdasarkan pendidikan tetapi juga kualitas mengajar, kesukaan dekan-rektor-staff, kreatifitas dan masih banyak lagi. Persiapan menjadi dosen yang bagus, tidak seperti membalikkan telapak tangan. SKS (red: Sistem Kebut Semalam) belajar sebelum mengajar sering saya lakukan dahulu. Hiks. Sementara ini, saya diajak seorang teman dari Amerika untuk mengajar di VHS-Volkhochschule (red: sebuah sekolah alternative di Jerman) mungkin mengajar bahasa Indonesia, tari atau memasak masakan Indonesia. Gajinya kalau tidak salah 400 euro (Rp 4.500.000,00). Tetapi jika tidak mendapat murid kursus, gajinya dipotong banyak. Saya menggeleng, ketiga anak kami masih kecil-kecil. Kalau saya kerja dengan gaji minim, anak-anak ikut siapa? Saya orang asing, kelas dua di negeri asing. I am alone here ! Kalau membayar baby sitter bermata biru berambut pirang, saya tombok dari gaji itu. Hiks. Sembari berandai-andai menjadi guru atau dosen di negeri Angela ini, saya hunting di beberapa website berbahasa Jerman. Informasi yang saya temukan adalah seorang guru Realschule (SD kelas 5 hingga 10 atau SMP) berusia 35 tahun menerima gaji 2950 euro. Sementara satu guru dari Gymnasium (kelas 5 hingga 13) mengantongi 8300 euro. Lalu seorang guru Grundschule (SD kelas 1-4) mendapat 4500 euro neto, padahal biasanya guru SD dihargai brutto 2560 euro. Sayangnya belum saya temukan berapa gaji dosen Jerman. Gosip dari suami saya, seorang profesor kenalannya bisa saja meraup 4000 euro sebulan (1 euro sekitar Rp 12.000,00). Kelas 5 sampai kelas SMA apalagi universitas di Jerman sering kosong, siswa/mahasiswa dipulangkan lebih awal. Kalau yang itu berarti dosen yang maknanya gajinya sak-DOS ngomongnya sak-SEN karena banyak jam mengajar absen. Kalau di negeri kita mungkin omongnya se-DOS, gajinya se-SEN. Atau bisa jadi sekarang gaji guru atau dosen sudah naik sesuai harapan? Is it a long way to go?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun