Funkenfeuer. Funk (kelap-kelip merah agak oranye, pletik/percikan api) dan Feuer (api). Tradisi ini masih hidup di masyarakat Schwarzwald di area negara bagian Baden-Wurttemberg, Jerman. Tradisi membakar sosok tukang sihir di atas tumpukan kayu ini adalah sebagai pertanda kelarnya karnaval Fastnacht/Faching/Fasnet dan masa menjelang paskah dengan puasanya. Mereka percaya ini menghilangkan roh jahat si tukang sihir hingga menuju kedamaian hidup. Unik menarik. Ada nilai di sana.
[caption id="attachment_327710" align="aligncenter" width="396" caption="Funkenfeuer, musnahlah tukang sihir!"]
***
Beberapa minggu yang lalu, tepatnya pada hari minggu 9 Maret 2014, masyarakat berduyun-duyun di lapangan. Mereka ini sudah berkumpul di halaman balaikota menuju lapangan. Fackel atau obor ada di tangan-tangan orang yang dibalut jaket agak tipis (biasanya Maret masih dingin dan harus berjaket tebal). Tak hanya orang dewasa, anak-anak, remaja dan lansia, seperti biasa, turut serta. Ini yang selalu menyenangkan, bahwa semua mendukung sebuah pelestarian tradisi. Meski mereka bangsa Jerman, dari negeri yang modern, maju dan disiplin. Saya kira, hanya bangsa terbelakang dan berkembang saja yang masih memegang teguh warisan leluhur berujud budaya.
Tumpukan api sudah disiapkan panitia sejak satu hari sebelumnya. Masing-masing daerah memiliki titik tersendiri. Di daerah tempat tinggal kami, pada hari H, pihak palang merah sudah mendirikan tenda dan memarkir mobil yang lengkap dengan peralatan dan obat-obatannya. Mereka ini berjaga-jaga barangkali ada yang terluka, sakit dan seterusnya. Bilik lapar untuk menawarkan Würst (sosis) dan Getränke (minuman hangat hingga soft drink) siap jaga. Tak perlu khawatir kalau setelah perjalanan wandern (jalan kaki dari balaikota ke lapangan), menimbulkan rasa lapar dan dahaga. Nyam-yam, glek-glek.
Kami merangsek ke depan di antara kerumunan yang mengelilingi kayu. Saya amati satu boneka besar yang dipancang di tiang, tepat di tengah-tengah. Ow, itu sosok tukang sihir. Mulai dari rambutnya yang panjang, tutup kepala dari kain, rok dan celemek. Ingat profil Mak Lampir, yang sungguh bikin saya ketakutan waktu kecil (suaranya saja sudah bikin merinding bulu kuduk, apalagi tampilannya!). Tumpukan kayu ditata rapi agar nanti kalau sudah terbakar tidak menimbulkan kejadian yang tidak diinginkan.
Seorang pemimpin acara tampak membawa megaphone. Menceritakan seluk-beluk tradisi dan meminta anak-anak untuk tetap berada di sekitar orang tuanya/orang dewasa yang mengantarnya agar tidak celaka. Tidak terlalu dekat dengan api, percikannya (Funkenfeuer) bisa menjalar melebihi badan tumpukan kayu. Pernah sekali, pertama kali mengenal upacara ini, saya nekat untuk memotret lebih dekat. Jaket saya yang dari plastik kepletikan, bolong di bagian dada. Haduh rusaklah jaket penghangat itu. Untung tidak tembus. Kenang-kenangan upacara tradisi Jerman yang masih terus saya ingat sampai hari ini.
Ketika bertemu dengan tetangga dan orang-orang yang saya kenal, saya tanyakan mengapa mereka datang. Beberapa mengatakan bahwa ini pertanda bagus untuk mendorong semangat hidup ke depan, jauh dari aura jahat seperti tukang sihir. Hexe atau tukang sihir adalah sebuah legenda yang masih hidup di masyarakat sekitar mereka. Dan pada hari itulah pembumihangusan sosok jahat. Supaya dalam menyambut paskah, tidak tergoda, hati dan pikiran bersih. Kembali suci.
[caption id="attachment_327711" align="aligncenter" width="490" caption="Tukang sihir di karnaval tawari alkohol (macam congyangjus)"]
[caption id="attachment_327712" align="aligncenter" width="512" caption="Tukang sihir di karnaval, medeni bocah (takuti anak-anak)"]
[caption id="attachment_327713" align="aligncenter" width="512" caption="Tukang sihir di karnaval, culik anak-anak"]
[caption id="attachment_327714" align="aligncenter" width="288" caption="Tukang sihir di karnaval bawa sapu, sebar kertas dan asap"]
Beberapa lagi bercerita, tak tahu apa maknanya, hanya senang saja berkumpul dengan masyarakat. Kan jarang-jarang bisa kumpul. Apalagi kalau mengajak seluruh keluarga dari anak kecil sampai lansianya, rasanya kebersamaan itu tercipta. Maklum, biasanya, masing-masing sibuk dengan aktivitas/rutinitas. Inilah saatnya tiba!
Bagi saya sendiri, ini sebuah atraksi menarik, bagaimana masyarakat modern bersama-sama melestarikan budaya leluhurnya sampai anak-cucu. Jadi acara menarik yang tak boleh dilewatkan oleh warga asing, seperti saya. Tak ubahnya ketertarikan bule di Semarang yang menyaksikan Warag Ngendog sebelum Ramadhan, atau acara budaya lainnya. Semangat banget, di Indonesia tidak ada Funkenfeuer.
Funkenfeuer tidak saja mengingatkan saya akan legenda Hexe yang dari ratusan tahun masih hidup dan melekat di otak bangsa Jerman secara turun-temurun ini. Sekali lagi, bagaimana masyarakat di negeri Eropa ini, bahu-membahu mengapresiasi budaya bangsa sendiri (budaya barat khususnya Jerman banyak yang bagus, lho). Patut ditiru karena Indonesia yang berbhinneka tunggal ika memiliki beragam budaya yang harus tetap dilestarikan pemiliknya, dari Sabang sampai Merauke. Ah, Indonesia, semakin indah dipandang dari jauh. Selamat pagi. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H