Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Menggunakan Hak Pilih dari Jerman

2 April 2014   23:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:10 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya masih ingat sekali saat antri di LKMD, balai desa depan rumah. Bertetangga dengan daerah Kauman. Di dekatnya ada lapangan, tempat kami biasa bermain engklek, seledor, betengan, benthik cs dan menaiki pohon-pohon di sekitarnya. Sekarang, sudah disulap menjadi halaman semen, plaster! Alasannya biar tidak kotor, modern dan nyaman untuk tempat parkir. Maklum, kampung orang tua kami ini sekarang sudah ditanami gedung-gedung tinggi untuk sarana pendidikan. Taman kanak-kanak sampai sekolah dasar. Saya bilang, sekolah mahal ini memang ada plus minusnya berada di sekitar kampung. Jadi tak heran kalau sampah berserakan, kenyamanan warga mulai terusik dengan keramaian anak-anak dan lalu lalang penjemput/pengantar, polusi udara dan tentunya ... banjirrr. Meski sudah jadi tradisi bahwa daerah-daerah Semarang banyak yang rawan terkena banjir, sejak dulu. Duh.

Nah, di balai desa itulah nanti, seperti biasa, warga sekitar akan berduyun-duyun mengikuti pemilu tahun 2014. Menggunakan hak pilihnya. Sedangkan saya, akan menggunakan hak pilih dari Jerman. Hmm ... meski masih memiliki KTP dan KK di Semarang, saya bermukim lama di Jerman dan jarang ke Indonesia. Mosok harus terbang demi mencoblos wakil rakyat itu? Waduh, sudah mahal, repot pula.

[caption id="attachment_329713" align="aligncenter" width="640" caption="Menggunakan hak memilih di Jerman"][/caption]

Surat dari PPLN

Beruntung bahwa memang pemerintah RI telah memikirkan hal ini. Mereka sudah memberikan jalan bagi warga Indonesia yang tinggal di luar negeri khususnya Jerman untuk tetap bisa menggunakan hak pilihnya (lewat perwakilan di masing-masing negara rantau). Khususnya bagi warga Indonesia di luar negeri yang telah melaporkan diri ke KJRI terdekat.

Kemarin itu, kami sudah menerima sosialisasi dari PPLN Frankfurt d/a KJRI Frankfurt tentang pemilu ini. Saya tulis dalam posting “Ikut menyukseskan Pemilu RI di Luar Negeri“

O, ternyata tak berhenti sampai di situ saja. Beberapa hari yang lalu saya menerima surat dari PPLN Frankfurt. Surat tercatat itu berisi :

1.Surat pemberitahuan pemungutan suara luar negeri dan surat tanda terima (dipotong lalu dikirim ke PPLN, yang bagian tanda terima).

2.Bagan cara memilih melalui pos (formulir model C6 LN Pos).

3.Sampul 2 (surat suara/Stimmzettel)

4.Sampul 3 (untuk membungkus sampul 2, amplop kembali yang sudah tertulis alamat pengirim yakni saya dan alamat PPLN Frankfurt di Frankfurt. Perangko entgelt zahlt Empfänger atau tak usah diberi perangko karena sudah dibiayai PPLN).

5.Sebuah kertas yang dilipat, berisi surat pemilihan umum anggota DPR tahun 2014 daerah pemilihan DKI Jakarta II (surat suara). Seorang kenalan dari Jakarta mengundang teman dalam FB untuk mencoblos salah seorang kenalan lainnya. Saya menjawab, kertas suaranya beda. Tidak ada nama yang disebut dalam kartu suara di tempat saya. Wih, sosialisasi pemilu, calon dan partai tak hanya ramai di Kompasiana ... FB juga, gayeng.

Harus mencoblos satu kali (nomor,partai dan atau calon), bingung juga

Kali ini tidak ada wajah dari masing-masing calon. Jadi untuk’menerawang’ sebelum memilih, saya ambil simpanan sosialisasi surat suara pemilu 2014 yang dikirim beberapa bulan yang lalu. Untuk menggugah ingatan saya. Meski memilih wakil bukan dari ganteng atau cantiknya, ramah atau tidaknya, tua atau mudanya. Setidaknya ini jadi pertimbangan. Dari mata turun ke hati.

Memilih calon yang tidak saya kenal secara detil repot juga wong tidak tahu visi misi (calon dan atau partai) dan harus hunting dulu di internet. Waduh, pekerjaan lagi. Tapi saya harus mau karena tidak ingin kehilangan hak pilih saya dengan menjadi golput. Eman-eman. Mengingat sudah berapa uang dan tenaga dikeluarkan negara (PPLN, pak/bu pos dan seterusnya). Kalau saja Indonesia sudah tahu berapa jumlah golputnya, bisakah print kertas suara dengan Pod (Print on Demand)? Haha seperti menerbitkan buku sendiri saja di Indie publisher. Soalnya daripada membuang kertas yang dirusak, tidak dicoblos, tidak dikembalikan dan muspra sia-sia itu lho ...

Ok.Ok. Saya mendukung sajalah. Lalu bagaimana memilih mereka, ya? Kenal saja tidak, ketemu saja belum. Ditambah, saya buta politik. Hanya beberapa partai yang saya dengar kabar beritanya. Lainnya belum.

Saya baca lagi satu persatu nama-nama itu, sembari memandangi gambar wajah terdahulu. Katanya, semakin tinggi pendidikan seseorang semakin berisi. Ini jadi pertimbangan saya dalam memilih. Meski banyak juga yang tetap memiliki kapasitas dan kecerdasan emosional tanpa memiliki titel yang panjangnya segerbong. Yang penting asam garamnya. Begitu pula dengan titel yang dari dalam atau dari luar negeri. Meski tidak memberi jaminan bahwa lulusan luar negeri lebih unggul, sebagai warga Indonesia di luar negeri, saya rasa ada nilai-nilai yang dipelajari dari negeri asing. Sehingga wawasan dan cara pandang tidak hanya searea Indonesia raya melainkan dunia. Entahlah kalau pemikiran saya dengan kesan open minded ini salah.

Tak lupa saya melihat partai tempat mereka bernaung. Saya pikir kalau partainya tidak burem dan berkualitas, begitu pula dengan calon atau anggotanya. Meski banyak juga sih, saya lihat calon atau wakil terdahulu yang lompat pindahan dari satu partai ke partai yang lain. Tidak semua, tapi tetap ada.

Keharuman nama calon sempat saya perhatikan. Kalau sudah tidak punya kredibilitas, ya maaf saja. Tapi ternyata pencarian di internet melelahkan, ya? Kalau bingung nama calon mana yang pantas dicoblos ... ya pilih mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politiknya saja (seperti anjuran yang tertera pada surat pemberitahuan PPLN).

Setelah menemukan, coblos satu kali, saya kirim sebelum batas maksimal yaitu sebelum tanggal 10 April 2014. Dalam pengumuman PPLN ditekankan bahwa surat suara yang diterima PPLN setelah kegiatan rekapitulasi penghitungan suara tidak disertakan dalam penghitungan suara. Sayang, kan? Kan banyak tuh manusia pelupa (seperti saya). Tarsok, entar-besok lalu tomorrow never dies. Lebih baik saya lebih awal daripada terlambat, buntutnya mubadzir.

Saya kirim  surat suara di dalam sampul 2 yang berukuran kecil dan sudah ditutup, lalu masuk lagi ke amplop yang lebih besar (amplop 3) berikut surat tanda terima lengkap dengan tanda tangan dan tempat/tanggalnya. Dilem, aman. Saatnya ke kantor pos. Yak ... puas sudah menggunakan hak pilih untuk pesta demokrasi Indonesia meskipun jauh-jauh dari Jerman, bukan di lapangan jejer Kauman. Selamat menggunakan suara dan hak Kompasianer dalam pemilu 2014. (G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun