Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Kalah Sama Pecinta Batik dari Jerman

22 April 2014   22:53 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:20 1448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masih dalam suasana Kartini. Saya paling ingat kalau hari itu selalu dijariki, dibalut kain batik dan memakai kebaya. Pakai sepatu jinjit, hak tinggi, dirias dan digelung. Suasananya begitu terasa.
Jarik, batik. Ternyata ada yang jatuh cinta setengah mati sama benda warisan budaya bangsa Indonesia. Setelah mengunjungi tiga gedung milik Rudolf G Smend ini, saya jadi merasa kalah sama orang Jerman. Orang asing yang begitu mencintai sesuatu dari tanah kelahiran saya. Ahhh, saya harus ikut melestarikan warisan leluhur.

[caption id="attachment_332781" align="aligncenter" width="333" caption="Rudolf G Smend, orang Jerman yang cinta batik"]

13981553241969591459
13981553241969591459
[/caption]

***
Köln, Cologne. Kota besar Jerman yang tua dan cantik ini tak hanya mengingatkan siapa teman lama kami yang tinggal di sana, Thom. Tetapi juga sebuah galeri berbau Indonesia (kalau saya dan Thom lebih suka menyebutnya museum). Nama kerennya, Galeri Smend.

Untuk keliling kota ini, kami naik Rikscha, seperti janji Thom pada kami. Pengalaman yang tak terlupakan. Tertawa sepanjang perjalanan saat teman kami ini menggenjot kendaraan tiga roda berbensin roti, sampai bannya mbledhos. Dorrrr! Ha ha ha ... Kami (saya dan dua gadis kecil) kaget kemudian ngakak. Kalau biasanya di Semarang, tukang becaknya orang Indonesia dan genjot di belakang, Thom orang Jerman, menarik pedal becak Vietnam ini dari depan. Yaaaa ... kuat banget. Tadi sudah makan roti, keju dan salamiiiii. Danke, Thom.

[caption id="attachment_332782" align="aligncenter" width="320" caption="Naik becak Vietnam, Rikscha"]

1398155434780936000
1398155434780936000
[/caption]

[caption id="attachment_332783" align="aligncenter" width="640" caption="Ruang tamu galeri Smend"]

13981554781597860650
13981554781597860650
[/caption]

[caption id="attachment_332784" align="aligncenter" width="320" caption="Buku-buku yang ditulis Pak Smend"]

1398155643998175328
1398155643998175328
[/caption]

Salah satu tempat wisata yang ditunjukkan adalah Galeri Smend yang ada di Mainzer Straße 31. Woooow. Senang, bangga campur ... malu.

Pak Smend sudah menyambut kami. Seorang tamu, yang rupanya dari Indonesia, Semarang pula (dunia kecil) sudah ada di sana. Kami memotong pembicaraan mereka. Ya, sudah, digabung saja pemanduan soal batik. Di ruang tamu ini, di belakang sofa, tumpukan buku yang rupanya tulisan beliau mengajak tangan ingin membuka dan membacanya. Berbahasa Jerman. Semua tentang batik dan Indonesia! Walahhh ... saya pernah menulis buku tapi yang benar-benar isinya tentang kekayaan alam dan budaya Indonesia, beluuuuuum. Harus membuat! Vielen Dank, Herr Smend!

Langkah kami pun mengikuti pak Smend keliling ruangan. Kami ditunjukkan bahan kain dan pewarna, benang dan sebagainya. Dinding-dinding dipasangi beragam kain dari Indonesia mulai songket sampai batik.

Kami keluar dari tempat itu, menuju sebuah gedung di sebelah kanan kami. Galeri! Tempat pak Smend memasang beragam batik. Ruangan yang lengang ini kadang dijadikan tempat pesta untuk ultah atau sejenisnya oleh keluarga Smend, karena di luar masih dingin.

Setelah puas, beliau mengajak kami ke gedung sebelah kiri gedung utama. Anak tangganya berkarpet. Salah satunya lepas. Mungkin disodok anak ragil. Pak Smend dengan telaten, menatanya kembali. Perekatnya mungkin sudah aus. Di atas pintu kedua, gambar Loro Blonyo. Saya komentar soal itu, pak Smend dan Thom mengangguk-angguk. Loro Blonyo, pasangan yang dipercaya pembawa kelanggengan pengantin/keluarga. Biasa dipasang di rumah (ruang tamu, kamar) atau saat pernikahan.

[caption id="attachment_332785" align="aligncenter" width="320" caption="Kain batik di ruang galeri Smend"]

139815589111556533
139815589111556533
[/caption]

[caption id="attachment_332786" align="aligncenter" width="320" caption="Beragam canting dari tahun 1900 an dari beragam negara"]

13981559261468382307
13981559261468382307
[/caption]

[caption id="attachment_332787" align="aligncenter" width="320" caption="Beragam buku tua tentang batik, tulisan orang asing"]

1398156005363111179
1398156005363111179
[/caption]

[caption id="attachment_332789" align="aligncenter" width="640" caption="Diperlihatkan cara mengepress batik"]

13981560821347995368
13981560821347995368
[/caption]

[caption id="attachment_332790" align="aligncenter" width="320" caption="Hasil proses pembuatan batik"]

13981561141808309626
13981561141808309626
[/caption]

Dinding sempit di kanan-kiri dipasangi foto jaman raja-raja dahulu. Ada yang Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali ... lengkap! Ruangan di sebelah kanan memuat beragam canting. Ruangan berikutnya adalah tempat kotak kaca, di mana buku tua (mulai tahun 1912) dipajang. Semuanya tentang batik. Yang menulis orang asing bukan orang Indonesia, dengan bahasa Jerman! Duh.

Di ruang canting tadi juga tempat batik tulis dan print yang sudah jadi. Harganya? Harga Eropa, kalau di Indonesia barangkali lebih murah. Sepertinya, pak Smend banyak impor dari Indonesia sejak kedatangannya tahun 1973.

„Oh, maaf, mengapa bapak orang Jerman senang batik?“ tanya saya.
„Pertanyaan yang bagus ...“ Kata pak Smend. Beliau memandang tajam mata saya. Sayang, beliau tak menjelaskan dan sibuk menerangkan tentang museum. Segera Thom mendekat dan menceritakan bahwa kepergian pak Smend sejak muda ke Indonesia, karena bosan hidup di Jerman. Tadinya pengen ke Australia, mendaratnya di Yogyakarta dan jatuh cinta. Iya, sama batik. Hingga akhirnya jual beli, hingga mempelajari cara membuatnya, memboyong ke Jerman sampai hari ini. Entah sampai kapan. Sepertinya, anak-anak bapak yang baik ini tidak ada yang tertarik. Sayang sekali. Kalau dekat, pasti saya mau ikut melestarikan. Dari rumah saya, galeri ini, 4-5 jam perjalanan menggunakan mobil di jalan tol dengan kecepatan tinggi dan tanpa macet.

Selanjutnya, kami diajak ke ruang proses batik. Beliau menceritakan bagaimana caranya mengepress batik dengan cetakan besi. Atas bawah harus pas. Cetakan dari bahan Küpfer (seng?) yang jumlahnya buanyakkk itu, satunya dihargai beliau rata-rata 100€. Kata suami saya, memang harga kiloan di Jerman, sudah mahal. Apalagi bentuk yang sudah menjadi seni seperti cetakan batik ini. Cantik dan pasti repot bikinnya.

[caption id="attachment_332791" align="aligncenter" width="320" caption="Miniatur cara membatik dengan canting"]

13981562941234269739
13981562941234269739
[/caption]

[caption id="attachment_332792" align="aligncenter" width="160" caption="Miniatur cara mencetak batik dengan cetakan besi"]

13981563281453753529
13981563281453753529
[/caption]

[caption id="attachment_332793" align="aligncenter" width="160" caption="Puluhan cetakan batik milik pak Smend"]

1398156365229081414
1398156365229081414
[/caption]

Dari sana, kami diajak ke sebuah ruangan gelap. Ada patung ganesha berlilin di sana. Di atasnya, burung Garuda Pancasila. Seingat saya, burung ini biasa dipasang di kantor, sekolah dan rumah. Menjadi penengah antara gambar presiden dan wapres RI. Sekarang masihkah? Barangkali sudah luntur. Tapi pak Smend, tidak. Cuma presiden dan wapresnya saja yang lupa. Barangkali karena pemimpin di Jerman ada sendiri. Dan bangsa Jerman tidak memasang gambar kanselir, PM atau lambang negaranya di rumah-rumah. Barangkali di kantor resmi kenegaraan. Belum pernah masuk. Barangkali suatu kali diundang dan bisa masuk. Mimpi dulu ....

Belum puas juga, pak Smend mengajak kami ke ruang bawah tanah. Ada kafe Penguin. Tempat nongkrong di bawah pohon besar dengan kursi-kursi taman dari besi. Disebut pinguin karena ada hiasan dari mesin cetak yang agak mirip pinguin. Daun-daun berserakan, maklum musim semi sudah didahului musim gugur. Daun pada rontokkk.

Sebelum pulang, saya amati lagi penghargaan dari UNESCO yang diberikan pada Pak Smend. Wah, beliau termasuk sosok yang melestarikan budaya sebuah bangsa. Lalu penghargaan dari dubes Indonesia di Jerman. Gambar beliau mengikuti beragam seminar batik di tanah air dan undangan dari dubes, terpasang di antara lorong dinding yang sempit. Bisa senggolan, asyik.

***

Kami pamit pulang. Pak Smend menghadiahi kami satu paket. Isinya, sapu tangan dari batik, canting, kartu nama, selembar info bagaimana mengepress batik terbitan kerajinan Batik Winotosastro Tirtodipuran, Yogyakarta dan satu kepompong. Girangnya! Sudah masuk gratis, diperlihatkan keindahan batik Indonesia dan tetek bengeknya eee ... masih diberi tanda mata. Thom memandang wajah saya dan bilang, „Saya tahu kamu akan senang berada di sini. Pilihan saya tepat, bukan?“ Kawan saya ini pernah ke Indonesia tahun 2001 selama 2 bulan, saya pernah ikut menjaga dan membantunya lewat organisasi. Inilah barangkali balasannya.

Ia pun mengambil becak Vietnamnya dan pergi. Sebelumnya kami sudah janjian akan makan malam bersama di restoran Indonesia, Haus of Java.

Ah, hari yang indah. Ingin rasanya memiliki museum seperti pak Smend. Entah bagaimana caranya. Ini tak hanya soal niat, harus ada dana dan maintenance yang baik dan benar.

Pak Smeeeeend, Pak Smend. Orang Jerman yang bosan tinggal di negerinya sendiri lalu mendarat di negeri kita dan cinta batik, hingga kini memborongnya ke Jerman. Kalau sudah begini, generasi Indonesia masih ada yang tidak cinta batik? Semoga kita tidak bikin malu. Tidak mau.

Untungnya, pada hari Kartini, masih ada sisa-sisa niatan bangsa di beberapa tempat untuk melestarikan budaya bangsa dengan memakai jarik, kain batik ini ataupun baju adat lainnya (dengan kain-kain khas daerah lainnya). Selamat memperingati hari Kartini di manapun Kompasianer berada. Selamat siang.(G76)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun