[caption id="attachment_332792" align="aligncenter" width="160" caption="Miniatur cara mencetak batik dengan cetakan besi"]
[caption id="attachment_332793" align="aligncenter" width="160" caption="Puluhan cetakan batik milik pak Smend"]
Dari sana, kami diajak ke sebuah ruangan gelap. Ada patung ganesha berlilin di sana. Di atasnya, burung Garuda Pancasila. Seingat saya, burung ini biasa dipasang di kantor, sekolah dan rumah. Menjadi penengah antara gambar presiden dan wapres RI. Sekarang masihkah? Barangkali sudah luntur. Tapi pak Smend, tidak. Cuma presiden dan wapresnya saja yang lupa. Barangkali karena pemimpin di Jerman ada sendiri. Dan bangsa Jerman tidak memasang gambar kanselir, PM atau lambang negaranya di rumah-rumah. Barangkali di kantor resmi kenegaraan. Belum pernah masuk. Barangkali suatu kali diundang dan bisa masuk. Mimpi dulu ....
Belum puas juga, pak Smend mengajak kami ke ruang bawah tanah. Ada kafe Penguin. Tempat nongkrong di bawah pohon besar dengan kursi-kursi taman dari besi. Disebut pinguin karena ada hiasan dari mesin cetak yang agak mirip pinguin. Daun-daun berserakan, maklum musim semi sudah didahului musim gugur. Daun pada rontokkk.
Sebelum pulang, saya amati lagi penghargaan dari UNESCO yang diberikan pada Pak Smend. Wah, beliau termasuk sosok yang melestarikan budaya sebuah bangsa. Lalu penghargaan dari dubes Indonesia di Jerman. Gambar beliau mengikuti beragam seminar batik di tanah air dan undangan dari dubes, terpasang di antara lorong dinding yang sempit. Bisa senggolan, asyik.
***
Kami pamit pulang. Pak Smend menghadiahi kami satu paket. Isinya, sapu tangan dari batik, canting, kartu nama, selembar info bagaimana mengepress batik terbitan kerajinan Batik Winotosastro Tirtodipuran, Yogyakarta dan satu kepompong. Girangnya! Sudah masuk gratis, diperlihatkan keindahan batik Indonesia dan tetek bengeknya eee ... masih diberi tanda mata. Thom memandang wajah saya dan bilang, „Saya tahu kamu akan senang berada di sini. Pilihan saya tepat, bukan?“ Kawan saya ini pernah ke Indonesia tahun 2001 selama 2 bulan, saya pernah ikut menjaga dan membantunya lewat organisasi. Inilah barangkali balasannya.
Ia pun mengambil becak Vietnamnya dan pergi. Sebelumnya kami sudah janjian akan makan malam bersama di restoran Indonesia, Haus of Java.
Ah, hari yang indah. Ingin rasanya memiliki museum seperti pak Smend. Entah bagaimana caranya. Ini tak hanya soal niat, harus ada dana dan maintenance yang baik dan benar.
Pak Smeeeeend, Pak Smend. Orang Jerman yang bosan tinggal di negerinya sendiri lalu mendarat di negeri kita dan cinta batik, hingga kini memborongnya ke Jerman. Kalau sudah begini, generasi Indonesia masih ada yang tidak cinta batik? Semoga kita tidak bikin malu. Tidak mau.
Untungnya, pada hari Kartini, masih ada sisa-sisa niatan bangsa di beberapa tempat untuk melestarikan budaya bangsa dengan memakai jarik, kain batik ini ataupun baju adat lainnya (dengan kain-kain khas daerah lainnya). Selamat memperingati hari Kartini di manapun Kompasianer berada. Selamat siang.(G76)