Setelah puas, beliau mengajak kami ke gedung sebelah kiri gedung utama. Anak tangganya berkarpet. Salah satunya lepas. Mungkin disodok anak ragil. Pak Smend dengan telaten, menatanya kembali. Perekatnya mungkin sudah aus. Di atas pintu kedua, gambar Loro Blonyo. Saya komentar soal itu, pak Smend dan Thom mengangguk-angguk. Loro Blonyo, pasangan yang dipercaya pembawa kelanggengan pengantin/keluarga. Biasa dipasang di rumah (ruang tamu, kamar) atau saat pernikahan.
[caption id="attachment_332785" align="aligncenter" width="320" caption="Kain batik di ruang galeri Smend"]
[caption id="attachment_332786" align="aligncenter" width="320" caption="Beragam canting dari tahun 1900 an dari beragam negara"]
[caption id="attachment_332787" align="aligncenter" width="320" caption="Beragam buku tua tentang batik, tulisan orang asing"]
[caption id="attachment_332789" align="aligncenter" width="640" caption="Diperlihatkan cara mengepress batik"]
[caption id="attachment_332790" align="aligncenter" width="320" caption="Hasil proses pembuatan batik"]
Dinding sempit di kanan-kiri dipasangi foto jaman raja-raja dahulu. Ada yang Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali ... lengkap! Ruangan di sebelah kanan memuat beragam canting. Ruangan berikutnya adalah tempat kotak kaca, di mana buku tua (mulai tahun 1912) dipajang. Semuanya tentang batik. Yang menulis orang asing bukan orang Indonesia, dengan bahasa Jerman! Duh.
Di ruang canting tadi juga tempat batik tulis dan print yang sudah jadi. Harganya? Harga Eropa, kalau di Indonesia barangkali lebih murah. Sepertinya, pak Smend banyak impor dari Indonesia sejak kedatangannya tahun 1973.
„Oh, maaf, mengapa bapak orang Jerman senang batik?“ tanya saya.
„Pertanyaan yang bagus ...“ Kata pak Smend. Beliau memandang tajam mata saya. Sayang, beliau tak menjelaskan dan sibuk menerangkan tentang museum. Segera Thom mendekat dan menceritakan bahwa kepergian pak Smend sejak muda ke Indonesia, karena bosan hidup di Jerman. Tadinya pengen ke Australia, mendaratnya di Yogyakarta dan jatuh cinta. Iya, sama batik. Hingga akhirnya jual beli, hingga mempelajari cara membuatnya, memboyong ke Jerman sampai hari ini. Entah sampai kapan. Sepertinya, anak-anak bapak yang baik ini tidak ada yang tertarik. Sayang sekali. Kalau dekat, pasti saya mau ikut melestarikan. Dari rumah saya, galeri ini, 4-5 jam perjalanan menggunakan mobil di jalan tol dengan kecepatan tinggi dan tanpa macet.
Selanjutnya, kami diajak ke ruang proses batik. Beliau menceritakan bagaimana caranya mengepress batik dengan cetakan besi. Atas bawah harus pas. Cetakan dari bahan Küpfer (seng?) yang jumlahnya buanyakkk itu, satunya dihargai beliau rata-rata 100€. Kata suami saya, memang harga kiloan di Jerman, sudah mahal. Apalagi bentuk yang sudah menjadi seni seperti cetakan batik ini. Cantik dan pasti repot bikinnya.
[caption id="attachment_332791" align="aligncenter" width="320" caption="Miniatur cara membatik dengan canting"]