[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="-Ilustrasi, Muslim Jerman (upww.us)"][/caption]
Puasa datang lagi. Saya ingat betul bagaimana nuansa puasa teramat kental dalam kehidupan saya bersama keluarga. Bapak dan ibu adalah orang Jawa. Mereka membebaskan anak-anaknya untuk memilih. Misalnya, mereka tidak memaksa anak puasa atau sholat. Jadi, saya memang memulai sholat, mengaji dan puasa sejak kecil karena keinginan sendiri. Bukan karena disuruh-suruh. Tentu saja dorongan ini timbul dari pendidikan di sekolah negeri yang meskipun bukan sekolah berbasis agama Islam, alias campuran, tapi tetap mendidik muridnya untuk belajar agama. Muatan agama Islamnya memang sedikit tapi fine.
Puasa di tanah air? Amazing!
Ah, ingat sekali kalau pukul 02.00, ibu membangunkan saya. Ibu biasa berteriak dari seberang kamar saya, yang kebetulan adalah dapur. “Gaaan, banguuun... mau sahur apa tidaaak?“
Makanan yang disediakan memang tidak pernah istimewa. Hanya mie instan dicampur sayuran, krupuk, sambal dan nasi. Sudah. Waktu itu saya rasakan sebagai makanan terlezat sedunia. Sedangkan saat berbuka (biasanya pukul 17.30-18.00 WIB), ibu biasa menyediakan setup buatan sendiri. Sirup dari kayu manis dicampur pisang. Kadang juga kolak pisang, kolak ketela atau kolang-kaling mak nyus. Ini disantap saat “dul“ bunyi bedug besar dari masjid dekat rumah, tanda puasa berakhir. Baru nanti setelah sholat Maghrib berjamaah, makan besar. Agar tidak sakit perut karena kekenyangan duluan atau parahnya, malas berangkat sholat Maghrib yang jaraknya dengan sholat Isyak sangat pendek. Bablas.
Atau ketika pada suatu masa di mana tidur pukul 21.00 dan bangun pukul 00.00, lalu, pukul 01.00 sudah dijemput sopir radio karena harus siaran pukul 02.00-05.00. Siaran sahur bangunin orang, membuat mereka giat menunggu waktu Shubuh dari Imsyak biar tidak ketiduran, dengan kuis atau request lagu dan masih banyak lagi. Seru! I really miss it now.
Mengaji bersama setelah tarawih, mendengarkan suara muadzin bahkan kadang mengikuti nyanyian panggilan sholat, mengikuti lomba ramadhan, main sepedaan pagi-pagi bersama teman-teman di kampung. Argghhh ... Ternyata itu tinggal kenangan saja.
Puasa di Jerman, nano-nano.
Kini saya bermukim di Jerman daerah pegunungan. Negara yang mayoritas penduduknya Katolik Roma itu memang termasuk kategori banyak dihuni orang Turki, yang notabene juga beragama Islam. Hanya saja, suasana yang pernah saya rasakan di Indonesia bersama orang Turki, kurang kentara. Barangkali kalau saya tinggal di kota besar seperti Köln, jadi beda. Dari perbincangan dengan teman-teman Indonesia, mereka menceritakan bahwa banyak perkumpulan untuk berbuka bersama, sholat tarawih berjamaah dan kegiatan lainnya. Wah, asyik. Ini memungkinkan karena komunitas masyarakat Indonesianya lebih besar, lebih banyak orang. Sedangkan saya hanya minoritas mini di sini.
Saya memang tergolong dekat dengan masyarakat Turki di sekitar tempat tinggal sejak tahun 2009 (butuh sekian tahun untuk mendekati mereka). Mereka memanggil saya Schwester, saudara perempuan. Selain karena seagama, dikatakan mereka bahwa mentalitas bangsa Indonesia hampir mirip di Turki. Oh, ya? Salaman. Kalau Idhul Adha saya selalu dapat jatah daging, ada undangan nikahan orang Turki, ulang tahun, perayaan akhir tahun, dapat penganan manis saat Idhul Fitri dan pertemuan keluarga lainnya. Memang agak aneh karena orang Turki biasa berkumpul hanya dengan orang Turki saja itu, kini ada saya (orang Asia) dan suami (orang Jerman). Menghadirinya, atau berkumpul bersama mereka, membuat saya merasa “Oh, kekeluargaan itu masih dirawat warga Turki. Budaya silaturahim yang bagus. Ini tamba ati yang menyenangkan, lantaran sempat terasa kebiasaan itu sudah mulai punah ketika berada di kalangan orang Jerman sendiri.“
Oh, ya. Kebanyakan dari orang Turki yang saya kenal ini sudah banyak yang tidak kuat puasa lagi ketika hijrah lama ke Jerman. Jadi bengong sendiri ketika saya ingin mengadakan acara buka bersama secara bergiliran, kebanyakan dari mereka mengggelengkan kepala dan mengatakan, “Maaf, saya tidak berpuasa jadi tak perlu acara berbuka puasa.“ Lho? Kalau di Indonesia pasti sudah pada ribut kumpul makan-makan. Atau saat mengajak mereka sholat berjamaah (khusus perempuan) secara bergiliran tempat jawabannya adalah, “Wah, saya tidak sholat. Sudah lupa.“
Dan memang, masjid di dua kota sebelah, 15 menit ditempuh dengan mobil dari rumah saya, hanya khusus bagi laki-laki. Perempuan disarankan menjalankannya di rumah saja. Ini tentu sebuah kebiasaan yang lain. Di Semarang, Indonesia, meskipun masjid memiliki tirai untuk membelah shaf perempuan dan laki-laki, tetap saja melakukan sholat bersama-sama, berjamaah. Dalam waktu bersamaan. Laki-laki dan perempuan.
Kualitas sholat, puasa dan mengaji saya memang masih rendah. Rendaaah sekali. Sering bolong malah. Tapi setidaknya saya tidak lupa bagaimana cara melakukannya. Tidak ada paksaan untuk itu. Saya bersyukur masih ingat. Tahu sendiri kan; gempuran adat, agama dan budaya Jerman sangat kuat di sini, dibanding dukungan yang saya dapatkan selama berada di Indonesia. Jauuuh. Bagaimanapun, berpuasa di negeri orang, tetap ada asyik tidak asyiknya. Menikmati sambil kadang mbrebes mili matanya, basah-basah-basah.
***
Hmm... Soal orang Turki, generasi pertama, biasanya masih memegang teguh kebiasaan yang diajarkan agama mereka. Mereka seumuran ayah ibu saya ke atas. Generasi kedua (seumuran saya, ke bawah) sudah mulai luntur meski ketika mereka tidak mendapatkan pelajaran agama Islam alias tidak masuk jam pelajaran agama Katolik dari sekolah, lalu dikursuskan mengaji di masjid terdekat. Generasi ketiga (seumuran anak-anak saya) sudah hampir meninggalkannya.Misalnya, yang dipantang hanya salah satu; tidak makan babi tapi minum alkohol, tidak minum alkohol tapi main judi di kasino, tidak madon atau tak bermain dengan wanita lain tapi makan babi dan masih banyak lagi. Ah, yaaa ... Hubungan antara manusia dan Tuhan, hanya boleh Allah saja yang mengurusi. Saya masih tetap baik dan dekat dengan mereka. Maksud saya menceritakan ini, hanya ingin menggambarkan bahwa ternyata apa yang mereka lakukan, pasti juga terjadi di tanah air. Atau bahkan itu juga pernah saya sengaja atau tidak sengaja lakukan selama di negeri rantau. Manusia memang tempatnya salah.
Weeeh. Di Jerman, sedang ramai dibicarakan tentang hadirnya Aleviten, orang-orang Turki yang mendobrak aturan lama yang ada di negaranya. Beberapa perempuannya masih mengenakan kerudung atau jilbab. Mereka beranggapan bahwa paham ini menjadikan agama Islam lebih demokratis saat berada di negeri Katolik semodern Jerman. Bahkan mengorganisir pengikutnya terasa lebih nyaman dibanding di negeri tempat asal mereka, Turki. Jerman lebih toleran.
Ya ampun, waktu berbuka lebih lama
Banyak teman-teman yang saya kenal di luar negeri yang memilih mudik untuk berpuasa di Indonesia, yang memiliki nuansa ramadhan tiada duanya, kental sekali. Bersama keluarga, sanak-saudara yang sudah lama ditinggalkan. Asyik puasa barengan. Apalagi pas lebaran. Gongnya itu lho.
Sebelum memulai puasa hari pertama pada tanggal 27 Juni 2014 malam, saya sudah niat sebelum tidur, “Nawaitu shaumaghodin ’an aadai fardhi syahri ramadhaana haadzihissanata fllillaahi ta’alaaa ...“ (Saya berniat berpuasa besok dari kewajiban fardhu ramadhan tahun ini karena Allah Yang Maha Tinggi). Barangkali kualitas puasa saya tidak sebaik dan setinggi orang lain, namun setidaknya saya sudah ingin tetap menjalankannya. Beraaat memang. Kondisi tak biasa dalam berpuasa. Anak-anak masih terbengong-bengong kalau saya banyak mengajarkan soal Ramadhan. “Wah, mana kuat, Maaa?“ Yang paling besar, sudah banyak juga mendapat informasi dari sekolah (red: waktu acara natal di sekolah, yang beragama Islam diajak untuk datang. Mereka menceritakan tentang hari raya umat Islam).
Ah, iya, betul, Nak. Waktu berbuka memang tergolong lama dibandingkan di Indonesia. Pukul 21.29! Matahari memang baru menghilang pada menit-menit itu. Ini selalu terjadi jika puasa jatuh pada musim panas (Juni-Agustus). Akan jadi lain kalau ada pada musim semi (Maret-Mei) dan musim gugur (September-November). Waktu berpuasa akan lebih pendek seperti di Indonesia, yakni hanya pada musim dingin (Desember-Februari). Hari akan cepat gelap pada musim salju. Saya biasa menggunakan bulan-bulan itu untuk membayar puasa yang bolong-bolong atau batal karena menstruasi.
Dan kemarin, pada hari pertama itu, senangnya hati waktu melirik jam. Horeee ... waktunya berbuka! “Bu ... Bu ... buka puasa, sudah boleh makan Buuu ...“ Suami saya berteriak dari ruang bawah tanah. Saya kegirangan. Kalau dia, puasanya masih sapi. Setengah hari saja. Diet kecil. Halah, mas Baguuus, mas Bagus!
Ah, anak-anak sudah tidur. Rumah sepi. Allahumma lakashumtu wabikaa amantuwa’alaa rizqika afthortubirrohmatika yaa arhamar raahimiin (Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman dan dengan rzki dari-Mu aku berbuka. Dengan rahmat-Mu Tuhan Yang Maha Penyayang). Saya berdoa. Waktu berbuka, yang pertama saya lakukan adalah minum teh hangat dan manis madu. Setelah itu makan secepuk mie dan sepiring kecil buah. Baru nanti makan lagi setelah sholat tarawih. Saya makan seadanya. Haha. Semoga perut tak gendut.
Suasana satu kota Jerman pada hari pertama puasa
Hari pertama itu tidak begitu berat. Matahari tidak seterik di Indonesia. Dingin agak lembab, sedikit hujan dan matahari tidak tampak bersinar. Rasa haus yang biasanya menyerang saat puasa tidak begitu terasa. Rasa lapar juga tidak. Biasanya, rasa lapar menyerang justru banyak pada musim dingin. Kami mengisi hari bersama keluarga, mengunjungi pasar rakyat di Stockach. Mereka memang tidak berpuasa, terlihat dari minuman dan makanan yang disantap di kedai-kedai yang tersedia. Namun setidaknya, saya terhibur oleh musik, permainan dan atraksi lainnya. Tidak makan dan tidak minum sejak pukul 03.00 jadi tidak terasa. Orang Jawa bilang “dislimur.“
[caption id="attachment_345486" align="aligncenter" width="360" caption="Anak-anak diajari pegang selang pemadam kebakaran"]
Lihat saja pas menonton anak-anak bermain panjat dinding, mereka diajari oleh tim pemadam kebakaran cara menggunakan semprotan selang pemadam kebakaran dan masih banyak lagi. Heboh.
Sedangkan hal yang menarik lainnya selain pasar rakyat dan kegiatan untuk anak-anak, ada Flöhmarkt. Pasar barang bekas ini digelar di sekitar alun-alun kota. Horeee ... dapat pin-pin dari kota München, masih baru, murah dan banyaaak sekali. Lumayan untuk koleksi souvenir, biasa saya bagikan saat pulang kampung. Tunggu ya?
“Bu, kok beli banyak?“ Kedua tangan suami saya dimasukkan ke kantong jeans. Harusnya di belakang, kan dompet ada di belakang? Hehe ...
“Gak pa pa, Pak. Kan hari ini puasa, tidak makan dan tidak minum. Uang untuk itu diganti untuk beli ini, ya?!“ Saya pura-puraeasy going.Mata saya masih jelalatan melihat sana-sini.
“Waduh, sama sajaaaa. Musim puasa harus hemat, Buuuu.“ Suami saya geleng kepala, tapi tetap mengikuti saya lihat ini-itu. I love you, Schatz.
Di sebuah pojok saya terpana. Seorang penduduk Turki, menjual Kebab. Pria berambut putih itu kira-kira seumuran 60 tahunan. Kebab itu adalah makanan khas mereka, berupa roti dan dimasuki sayuran, irisan daging kalkun atau sapi, mayonais atau saos lain bahkan paprika pedas. Yang membeli tak hanya orang Turki sendiri tapi juga orang Jerman. Semoga bapak itu kuat puasanya. Godaan di depan mata. Xixi.
***
Yang namanya puasa pasti orang mengenal babagan membayar Fidyah, zakat dan sebagainya, pihak masjid setempat sudah mengumumkan. Zakat ditarik 10€, setara dengan Rp 160.000,00. Di Indonesia berapa ya? Biasanya, saya titip ibu saya untuk diteruskan ke masjid dekat rumah atau kepada teman di Jerman yang pulang ke Indonesia, untuk diserahkan pada masjid di area kota mereka berada.
Wah, baru dapat satu hari berpuasa ... masih ada hari-hari berikutnya. Saya harap tak ada halangan berarti, kecuali yang “itu.“ Kalau batal atau bolong, saya akan ulang pada musim salju nanti. Haha. Lebih cepet bukanya. Bagi yang puasanya ramai-ramai, pasti lebih semangat dari saya, ya. Semoga benar-benar meraih kemenangan sampai hari terakhir Ramadhan dan tidak terganggu rutinitas yang dijalani.Saling mendoakan lah.OK. Selamatberpuasa bagi yang menjalankan. Selamat malam. (G76)
Seitingen, Sabtu 27 Juni 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H