Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pengalaman Ditanggap Pengantin Jerman

16 Agustus 2014   00:53 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:26 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nanggap, atau meminta, mengadakan tampilan pada suatu perhelatan khusus seperti pada acara perkawinan, sunatan atau peringatan lain adalah hal yang wajar dilakukan oleh masyarakat Jawa. Banyak orang tua yang menanggap wayang kulit saat anaknya khitanan, pemda nanggap jaran kepang, gambyong atau ledhek untuk pesta rakyat dan masih banyak lagi. Saya juga pernah ditanggap untuk menari di pesta perkawinan orang Jawa, pentas tujuhbelasan di Indonesia atau acara ulang tahun di Jerman misalnya. Ini biasa.

Yang tidak biasa adalah ketika saya ditanggap menari di pesta perkawinan orang Jerman baru-baru ini. Tentu saja bukan hil yang mustahal karena yang menikah adalah teman lama yang dari dulu tak ojok-ojoki untuk menikah tetapi bersikukuh tetap tidak mau dan sekarang ... sudah sadar, kebelet “Saya mau menikah ...“ Begitu cetusnya sembari mengepulkan asap di udara. Alhamdulillah, Dul!

Ditanggap pengantin Jerman? Bagaimana ceritanya?

Begini. Saat liburan sekolah, saya diajak suami untuk ikut meeting di luar kota. Karena anak-anak tidak ada yang menjaga, sekalian dibawa. Ketika suami rapat, saya dan anak-anak adakan acara keliling kota. Saya hubungi seorang teman yang tinggal di kota itu. Kami memang kenal sudah 13 tahun lamanya. Meskipun pertemuan kami tidak intensif, kami berhubungan baik, lewat dunia maya misalnya. Dia pernah mengunjungi kami di Jerman selatan dan kami pun akhirnya mengunjunginya di Jerman Utara. Ya, gara-garameeting suami itu.

Dia membawa kami keliling kota gratis dengan becak Vietnamnya yang lucu dan kencang larinya itu. Hiya-hiyaaaa ... begitu suara anak perempuan saya kegirangan ketika kaki teman saya yang santun itu hampir mbledhos menggenjot becak untuk kami berempat. Dia di depan di sepedanya, kami perempuan, bertiga, di keretanya pada bagian belakang. Untuk ukuran wanita Jerman, kami ini sama dengan berat badan satu orang. Haha. Makanya tidak heran, dia mau-mau saja krenggosan jadi tukang becak dadakan. Kalau tukang becaknya orang Indonesia itu biasa, ini buleeee ....

Malamnya, bukan kakinya saja yang mbledhos tapi ban bagian belakang yang benar-benar mbledhos. DORRR ... Kami jadi pusat perhatian di kota. Berpasang-pasang mata mulai menguliti kami berempat. Saya merasa bersalah sekali. Jadi, ketika usai rapat, suami usul makan malam dengannya (bersama pacarnya juga) di restoran Indonesia “Haus of Java“, saya mengangguk. “Buat ongkos narik becak sama ganti ban yang meletus.“ Batin saya.

Benarlah. Kami berenam makan di sana. Sebelum pulang, teman saya itu bilang bahwa kami diundang untuk datang di pesta perkawinannya. Saya sangat gembira, apalagi anak-anak. Mereka boleh jadi Blumen Mädchen, pengapit pengantin dengan gaun putih yang mekrok kayak kembang. Huyyyyy. Elok nian nanti, yaaa.

Hari berganti hari. Sebelum saya berangkat liburan ke Hungaria, ia mengirim pesan singkat bahwa akan sangat indah kalau saya benar datang ke pesta pernikahannya dan menari untuknya. Mengapa tidak??? Ketika dulu pertama kali ia menceritakan rencana pernikahan, saya sudah mau keceplosan usul kalau saya boleh menari tapi saya urungkan sebab saya pikir tidak pas lah, menyalahi adat orang barat. Bersyukur bahwa ternyata, ia menghilangkan kekhawatiran saya bahwa budaya barat dan timur tidak bisa bersatu. Kalau mau, bisa. Contohnya, nikahan modern orang Jerman dengan sajian tarian Indonesia.

[caption id="attachment_353057" align="aligncenter" width="512" caption="Akhirnya menikah"][/caption]

[caption id="attachment_353058" align="aligncenter" width="512" caption="Hujan bunga dan doa"]

14080877891525078538
14080877891525078538
[/caption]

[caption id="attachment_353059" align="aligncenter" width="318" caption="Mengikat janji setia "]

1408087865874358255
1408087865874358255
[/caption]

[caption id="attachment_353060" align="aligncenter" width="320" caption="Sudah resmi menikah, tak perlu hotel Mama"]

140808790620068386
140808790620068386
[/caption]

1408097526645315172
1408097526645315172

[caption id="attachment_353078" align="aligncenter" width="320" caption="Terima kasih, temans."]

14080968631262319851
14080968631262319851
[/caption]

[caption id="attachment_353080" align="aligncenter" width="320" caption="Toples cinta"]

14080969441089689177
14080969441089689177
[/caption]

[caption id="attachment_353081" align="aligncenter" width="486" caption="Raja dan ratu, cukup sehari saja."]

14080970561183253815
14080970561183253815
[/caption]

Rasanya menari Jawa di pesta pernikahan Jerman

Menari di atas panggung sudah bukan hal yang asing lagi bagi saya. Deg degan itu pasti. Kalau tidak berdetak, mati dong, ya? Argh, tetap ada perasaan beda; ketika menari saat umuran 5 tahun atau saat anak saya umurnya sudah 5 tahun. Hehe.

PD saja lagi. Kalau malu, hidup gak seru, ahhh.

[caption id="attachment_353082" align="aligncenter" width="512" caption="Para gadis siap tebar bunga"]

1408097155785983800
1408097155785983800
[/caption]

[caption id="attachment_353083" align="aligncenter" width="512" caption="Ada jus yang bisa memabukkan"]

14080972861334571826
14080972861334571826
[/caption]

[caption id="attachment_353085" align="aligncenter" width="295" caption="Warna-warni bajunya ... wow!"]

1408097418139196997
1408097418139196997
[/caption]

14080975992017819488
14080975992017819488

Saya sudah mulai dandan. Dibantu suami sama anak-anak yang perempuan. Saya sudah bilang ke pengantin lelaki, “Butuh setengah jam untuk rias dan pakai baju tari, tolong kasih tahu jam berapa saya ditanggap“ Suami mulai jepitin peniti di sana-sini. Anak-anak memegang perhiasan, senang sekali mereka dengan kerlap-kerlip warna emasnya. Saya pentas tepat sebelum pengantin menari Waltz. Eh, dansa ini kan tari barat banget yak? Sedangkan saya, kali itu lebih ke timur. Menari merak. Teman saya meminta saya membawakan tari Bali. Bisa sih, tapi pakaian saya tidak lengkap dan saya lebih nyaman menari Jawa. Saya ambil yang agak rancak mirip Bali. Lagian, merak adalah burung jenis jantan yang kalau memamerkan bulu-bulunya semakin menarik perhatian betinanya. Sama halnya dengan pengantin di hari pernikahan. Waaa, passs.

Sebelum menari, teman saya itu pidato. Halah, pakai pamer bagaimana ia bertemu saya dan apa yang dahulu saya kerjakan di Indonesia. Ini tidak ada dalam skenario, bung! Belum lagi, saya disuruh pidato menceritakan tentang tarian. Jiah, gak bilaaaang. Saya agak terbata-bata menjelaskannya dalam bahasa Jerman ngak-nguk. Ya, sudah. Ceritanya seadanya dan seperlunya saja.

Jreng-jreng-jrenggggg. Hoppala. Musik dipasang DJ. Kami sudah berkomunikasi tentang CD yang saya serahkan sebelumnya; tentang intro dan musik tari pas ON. DJ dari London itu hanya bisa bahasa Inggris, tidak bisa bahasa Jerman tidak pula bahasa Indonesia. Kalau bahasa Tarzan, mungkin sih. Ugh. Untung saja saya pernah belajar bahasa Inggris, Mister ....

Gerakan cring-cring awal saya mulai jadi magnet pada mata-mata bule yang hadir. Dari sekitar 100 orang, hanya 5 orang Asia; sepasang dari India, saya, seorang pria dari China dan wanita Jepang teman pengantin perempuan. Menjadi pusat perhatian di lantai yang temaram waktu itu, berusaha saya kuasai; tidak boleh pingsan. Haduhhh ... ibuk-ibuk nari, bukan gadis lagi! Tulang mau cepottt mretheli.

Kamera dan video mulai menangkap gerakan saya dalam menari. Saya sudah wanti-wanti ke suami untuk ambil gambar dan video. Biasanya lupa. “Jangan lupa, yo, Pak?!“ Ia memang tidak lupa tetapi dasar SD card sudah tua, gambar dikorupsi jadinya separoh-separoh. Nasib.

Oh, ya. Lambaian saya saat menari tak hanya mendekati pengantin yang duduk di lantai (dan sudah menukar baju pengantin dengan kaos panjang), melainkan ke segala penjuru. Seperti gasing tanpa rem yang pakem. Agar semua kebagian dan bisa mengamati lebih detil bagian baju atau gerakan tari merak. Jeng-jeng-jeeeeng. Lupa nggak lupa, nariiii.

Bagian akhir musik memberi tanda. Yahhhh ... dandannya lama, narinya cepat amaaaat.

Saya membungkukkan badan sembari tangan bersujud, sebagai ucapan terima kasih atas perhatian para tamu yang bajunya warna-warni itu. Sorak-sorai dan tepuk tangan bergemuruh di ruangan villa tempat kawinan teman saya itu. Memang tidak ada teriakan “Zugabe“ atau “Lagi“ tetapi saya gembira bukan kepalang sudah meluluskan permintaan teman saya yang jadi raja sehari itu. Iya, dia cuma sehari jadi raja. Kalau sepanjang masa, bisa pusing dia. Semakin ke atas, anginnya kenceng. Jadi rakyat lebih enak.

[caption id="attachment_353089" align="aligncenter" width="362" caption="Sebelum pentas, poto dulu, Pak (dok: Bernd)"]

14080977661930879926
14080977661930879926
[/caption]

[caption id="attachment_353090" align="aligncenter" width="360" caption="Tari perut (pakai pedang) dari Turki (dok.Bernd)"]

1408097808518745596
1408097808518745596
[/caption]

[caption id="attachment_353091" align="aligncenter" width="320" caption="Duet Musik"]

14080978671772207960
14080978671772207960
[/caption]

[caption id="attachment_353109" align="aligncenter" width="318" caption="Penyanyi Afrika yang besar di Jerman"]

14080998121420197585
14080998121420197585
[/caption]

[caption id="attachment_353110" align="aligncenter" width="307" caption="Badut yang disuka anak-anak, kecebur kolam."]

14080998461776006031
14080998461776006031
[/caption]

Tak berapa lama, pasangan pengantin mengucapkan terima kasih dan memeluk saya.Beberapa tamu mendekati saya yang gayanya malu-malu kucingan. Mereka menyanjung tari ini. Si Mister UK berlutut di depan saya yang duduk di kursi pojok, kelelahan lompat-lompat jadi merak. Dia begitu berapi-api mengungkapkan kesan mendalam terhadap musik dan tari Merak. “Unbelievable, I’m a DJ. I’ve never heard such a music ... what do you call that again, please?“ Wah, bangganya, musik kita dikatakan luar biasaaaa. Helm, mana helm?

Pause. Kehebohan tari merak telah larut menit demi menit ... seiring gelapnya malam. Tak ada burung hantu, tidak juga hantu, meski villa ini sudah tua, mulai keriput dindingnya dan lubang di sana-sini.

Sebelum pulang, saya mantrai dia dapat anak kembar, begitu pesan saya dalam buku tamu bergambar dan buku resep (yang dipersembahkan para tamu untuk kedua mempelai). Acara pernikahan teman saya itu memang heboh. Tak hanya saya yang menari rupanya, ada hadiah kejutan tarian perut dari teman-teman Turki, kado lagu dari teman Afrika, ada lepas balon udara (di sana tertulis kartu pos yang bisa dialamatkan oleh penemu ke pengantin), badut, selfie photobox, ular-ular alias nasehat dari orang tua pengantin perempuan, band, permainan gitar dan jalan-jalan ke taman kota di mana tumbuh pohon palem dengan suburnya di antara warna-warni bunga. Oh ya, tiap tamu yang akan pulang dapat sekantong biji bunga yang sama yang ditanam pengantin di teras mereka. Ia berkelakar; salah satunya, bunga ganja! Haha! Teman saya itu memang pantas jadi warga yang multikulti. See you again, dear friend.

***

[caption id="attachment_353099" align="aligncenter" width="512" caption="Daripada panas ati, enak adem kaki."]

14080982801378630967
14080982801378630967
[/caption]

[caption id="attachment_353100" align="aligncenter" width="512" caption="Menulis resep masakan India untuk pengantin."]

1408098369108800163
1408098369108800163
[/caption]

[caption id="attachment_353097" align="aligncenter" width="507" caption="Melepas balon di usara ...."]

14080982191828739370
14080982191828739370
[/caption]

[caption id="attachment_353102" align="aligncenter" width="320" caption="Selamat berbahagia"]

14080984361993498380
14080984361993498380
[/caption]

Menari tarian tradisional Jawa di kawinan teman Jerman. Barangkali inilah warisan bangsa Indonesia yang menjadi harta yang tak pernah lekang oleh perbedaan jarak dan waktu yang saya kantongi. Jadi bangga bahwa bangsa kita ternyata tak hanya terkenal soal korupsi dan sampah saja di negeri orang. Terima kasih sekali pada Tuhan yang memberikan ketertarikan pada dunia seni, orang tua yang berdarah seni serta sekolah negeri yang merawat muridnya (saya) untuk belajar tentang ini.

Anak Kompasianer memiliki ketertarikan pada dunia tari khususnya tradisional? Semoga dipupuk dan berlanjut, didukung baik dan lurus oleh lingkungan. Tidak akan ada yang tahu bahwa pada suatu hari ... nasib seorang anak Indonesia harus meninggalkan tanah air tercinta dan memiliki kesempatan lebih luas mengenalkan Indonesia pada dunia internasional lewat tarian yang dipelajari sedari kecil. Ayo, ndhuk ... mari menari bersama ibuk. Dapat uang tak dapat uang, terus maju!(G76)

Ps:Dirgahayu Republik Indonesia. Garuda di dada ...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun