“Don't ask what your country can do for you, but what you can do for your country“ atau
“Jangan tanyakan apa yang negara berikan untukmu, tanyakan apa yang kamu lakukan demi negaramu“
Kalimat itu sering saya dengar. Pasti orang besar yang mengatakan hal itu. Siapa lagi kalau bukan John F Kennedy.
Saya bukan Mr. Kennedy, bukan pula pejabat penting Indonesia apalagi menteri, yang bisa melakukan hal-hal hebat. Profesi saya ibu rumah tangga Indonesia di Jerman. Hal yang saya lakukan tentu mudah, sepele, sederhana, dimulai dari diri sendiri, tapi tetap bernuansa Indonesia.
Memang jiwa keindonesiaan saya rasakan jadi tinggi ketika berada di luar negeri. Rasa pamer saya akan tradisi dan budaya Indonesia, semakin besar.
Berikut pengalaman saya dengan melakukan hal sederhana (modal omong doang, tarian dan masakan):
Umur saya waktu itu masih 18 tahun, kelas 3 SMA tahun 1994. Saya terpilih seleksi dari 10 orang mahasiswa Jateng untuk menjadi duta dalam Asian Youth Summit di Cebu, Philippina. Pesertanya ratusan dari seluruh negara Asia Pasifik, anggota IFRCRCS (palang merah dan bulan sabit merah internasional). Apa yang saya lakukan di sana memang tidak seberapa. Saya sempat menangis, bingung didapuk jadi co-facilitator memimpin salah satu diskusi grup. Aduuuuh, bahasa Inggris saya waktu itu masih little-little I can. Mana masih umbelen, ingusan sekali. Belakangan, saya tampil menari tarian kreasi baru dan nimbrung di grup tari bambu Philippina dalam malam budayanya. Pamer yang sederhana bukan? Awal yang not too bad.
[caption id="attachment_369726" align="aligncenter" width="462" caption="Diskusi dan aksi budaya di Cebu, Philippina (dok.Khong2)"][/caption]
Tahun 1998, saya mulai bergabung dengan sebuah LSM. Tak menyangka bahwa suatu hari, saya didapuk sebagai koordinator salah satu proyeknya dan menjadi duta Indonesia dalam beragam pertemuan di dalam dan luar negeri. Dalam perkemahan internasional yang diselenggarakan di tanah air, kami mengenalkan banyak hal tentang keindonesiaan pada remaja luar negeri. Mulai dari makanan, cara hidup, sopan-santun, bahasa, tradisi dan tarian. Sebagai gantinya, ada acara exchange, pertukaran bahasa dan budaya para relawan.
[caption id="attachment_369727" align="aligncenter" width="435" caption="Diskusi global dan menari di Manila (dok.Ketut)"]
Hingga pada tahun 2001, saya bersama seorang teman, menjadi duta IIWC dalam Youth Summit di Manila. Di sana, kami berdiskusi soal isu di dunia seperti minoritas dan HAM, kemiskinan dan sebagainya. Kami utarakan bagaimana kondisi di Indonesia dan upaya yang bisa dilakukan. Merumuskan bersama teman-teman sedunia tentang beragam impian proyek. Untuk urusan pamer menari tak boleh lupa, satunya tari Roro Ngigel dan satunya lagi, tari Gambang Semarang yakni pada malam api unggun. Mereka jadi tahu, budaya Indonesia itu indah. Tak hanya dilihat dari baju tari yang warna-warni.
[caption id="attachment_369736" align="aligncenter" width="410" caption="Training dan networking di Tokyo (dok.Sue chan)"]
Di tahun yang sama, saya berangkat ke Jepang. Di sana, saya mengikuti pertemuan training and networking NVDA. Itu adalah jaringan LSM se Asia-Pasifik. Mengambil setting Tokyo dan sekitarnya, kami bahu membahu membahas masalah di Asia Pasifik seperti penanganan sampah, penghijauan dan sebagainya. Proyeknya, menjadi tanggung jawab di masing-masing negara secara serentak. Tak heran kalau dalam perkemahan yang kami adakan di Indonesia, program NVDA dimasukkan.
[caption id="attachment_369730" align="aligncenter" width="405" caption="Di depan mabes UNESCO di Perancis"]
Tahun 2002 adalah tahun yang tak terlupakan. Saya pernah belajar bahasa Perancis waktu di SMA. Pernah mimpi melihat Eiffel dan kota Paris! Mimpi bagian dari masa depan. Ini terwujud lantaran diterima sebagai salah satu anggota penasehat dalam Asia Europe Exchange CCIVS UNESCO. Tugas kami adalah membantu proses pertukaran relawan, mengevaluasi dan melaporkannya. Wadow. Bahasa Perancis saya sudah ngabar, tak bisa blah-blah. Untung kami pakai bahasa Inggris. Oh, ya. Saya pamer menari dalam malam budayanya. Tak banyak yang hadir. Hanya 30 orang saja dari Asia dan Eropa, plus staf CCIVS UNESCO, di sebuah rumah susun dari batu. Ada tiga relawan Indonesia yang terlibat, lho. Bangganyaaa. Eh iya, saya ingat betul, saya masak perkedel kepedesan karena mericanya tumpah semua. Haha.
[caption id="attachment_369741" align="aligncenter" width="410" caption="Training dan Networking di Nepal (dok. NVDA)"]
Selanjutnya, tugas terlama LSM adalah tiga bulan. Itu dalam rangka The 4th Youth Camp ASEF di Denmark tahun 2003. Kami tinggal di asrama FHS Odensee, agak jauh dari Kopenhagen. Seperti kota mati, sepiiii. Di sana, kami dikumpulkan untuk berdiskusi, kunjungan ke sekolah-sekolah, kelas ketrampilan dan lainnya. Kami ini banyak bertukar pikiran dan pendapat tentang banyak isu dunia, misalnya tentang KB, agama dan pendidikan. Termasuk soal segala sesuatu yang menyangkut negeri Denmark yang kaya menampungenergi solar padahal matahari tidak selama dan seterik di tanah air. Pada hari budaya, kami masak masakan dari negara masing-masing untuk dicicipi para tamu; perkedel, nasi goreng, mie goreng .... Saya juga menari dan mengajarkan tari Yapong pada teman-teman putri, sekaligus menjadi make up artist dan sutradara tunggal untuk drama satu babak “Bawang Merah-Bawang putih.“
Setahun kemudian, saya ke Nepal. Wah, indah sekali negeri ini. Kesederhanaannya membuat saya begitu terpesona. Acaranya bertajuk NVDA GA and TNW. Pertemuan awal tahun 2004 itu lagi-lagi membahas program yang sudah dijalankan di negara masing-masing. Evaluasi dan perencanaan untuk masa mendatang. Selain itu, kami membangun sebuah tangki penampungan air yang disalurkan dengan pipa plastik menuju desa di atas bukit. Tak hanya itu, kami tanam pohon dan mengecat base camp, saya gambari juga lho. Pasti sekarang sudah luntur, 10 tahun yang lalu, sweet memory. Oh, senangnya hidup bersama masyarakat Nepal di dusun yang masih beratap rumbia. Jadinya, meski menari di antara temaramnya malam dan hembusan angin dingin, saya semangat betul. Nah, gara-gara camp ini, mereka jadi tahu tarian Indonesia. Di sisi lain, sampai hari ini virus lagu tradisional Nepal “Resampiriri“ masih di hati. Jadul, sambil kepala geleng-geleng model India.
[caption id="attachment_369755" align="aligncenter" width="384" caption="Pidato malam budaya (dok. NICE Japan)"]
Di tahun yang sama, saya berangkat lagi ke Jepang. NVDA workcamp and Annual Meeting pada akhir tahun 2004. Kegiatannya tetap mirip seperti yang sudah-sudah. Menanam pohon, menyabit rumput, berdiskusi, tugas sosial di tempat anak cacat dan masih banyak lainnya. Menari tarian Indonesia? Pasti, tak boleh lupa pamer dong sama orang asing, meski sama-sama Asia!
[caption id="attachment_369742" align="aligncenter" width="410" caption="Telat datang ke meeting karena liput Jakjazz dulu (dok.Gana)"]
Satu tahun kemudian, Turki adalah tujuan selanjutnya. Gawe ALLIANCE technical meeting di Antalya pada bulan Maret 2005. Kami berdiskusi tentang pertukaran relawan ke seluruh dunia, evaluasi dari pertukaran yang sudah terjadi dan rencana untuk pertukaran tahun-tahun berikutnya.Seperti biasa, saya menari tarian Indonesia dalam malam budaya. Tarian kita boleh sejajar dengan tari perut dari Turki yang erotis itu, lhooo.
Dan akhirnya, NVDA TNW and GA di Indonesia tahun 2006. Di sana, kami berdiskusi banyak soal kerjasama LSM jaringan. Kami mengunjungi pula sebuah lokalisasi di Semarang dan berbagai sekolah Indonesia. Itu menjadi tugas pamungkas saya. Saya mengundurkan diri dari LSM dan beberapa bulan kemudian, pindah ke Jerman. Meski ini di luar rencana, rupanya saya jadi sadar sendiri; sudah waktunya.
Itu tadi kisah perjalanan saya dari Indonesia tugas ke luar negeri. Menari hanya sebagai bumbu saja, intinya mengutarkan informasi yang ada di Indonesia dan pandangan tentangnya, bertukar pikiran dan mempelajari hal/wawasan baru dari negara tujuan. Pamer tentang Indonesia selalu wajib dalam pertemuan internasional. Saya jadi berfantasi; bukan lagi sebagai seorang pribadi tapi sudah menjadi sebuah image negara. Halahhhh.
***
Sejak kepindahan dari Indonesia ke Jerman, Indonesia jadi jauh. Saya merasa berada di titik nol. Oh no, I don’t wanna be a desperate house wife! Saya harus berbuat sesuatu. Antara lain mengenalkan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan Indonesia. Dimulai dari hal yang sangat sederhana bahkan terkesan sepele.
Tahun 2006, saya undang teman-teman Asia untuk datang ke pondok mertua indah dan memasak masakan Indonesia. Yang kami sajikan nasi kuning, opor ayam dan sejenisnya. Karena di negara mereka juga ada yang begitu, pas di lidah. Semua disantap habis, tidak sisa karena saya ajarkan tradisi ... bungkus!
[caption id="attachment_369756" align="aligncenter" width="406" caption="Tumpengan, acara rutin tahunan di rumah "]
Setahun sesudahnya, 2007, kami pindah dan beli rumah sendiri. Kami undang para tetangga untuk syukuran. Tumpengan! Mereka menikmatinya, jarang-jarang ada makanan seperti masakan Indonesia. Saya pikir, itu awal saya memperkenalkan diri. Saya dari Indonesia, ini makanannya .... pamerrr. Dan tiap tahun, pamer tumpeng ini selalu ada dalam jadwal acara ulang tahun keluarga kami, menyandingi kue ulang tahun gaya orang Jerman. Western vs Eastern ....
Hidup itu memang penuh penyesuaian. Sekian lama hidup dalam masyarakat Jerman, saya memang banyak belajar dan adaptasi. Kami dekat dengan sebuah keluarga kawin silang Jerman-Swiss, yang kebetulan memiliki anak tiga juga. Ketika sang ayah ulang tahun dan dirayakan besar-besaran, kami menghadiahinya dengan tarian massal, tari kelinci. Pamer setelah sebelumnya, saya mengajari anak-anak kampung itu di studio yang kami buat di ruang bawah tanah pada musim panas 2008.
[caption id="attachment_369760" align="aligncenter" width="410" caption="Ajari anak-anak Jerman tari Indonesia di rumah kami"]
Studio saya itu, selain untuk kelas tari tarian tradisional Indonesia juga untuk mengajar karate, salah satu olah raga bela diri yang juga subur di Indonesia selain Pencak silat sendiri, pada tahun berikutnya. Senang rasanya. Sayang sekali tahun 2010, ini saya hentikan karena sepi peminat. Sekarang, ruangan disulap menjadi kantor suami saya. Taraaa.
[caption id="attachment_369761" align="aligncenter" width="415" caption="Sumbang korban Merapi dan menari tari Indonesia"]
Tahun 2010, Merapi Meletus. Saya prihatin, ingin sedikit membantu dari jauh. Bersama suami, saya kumpulkan dana dari beragam perusahaan kolega suami dan barang-barang untuk anak-anak korban Merapi dari masyarakat setempat. Itu bukti kepedulian bangsa Jerman pada bangsa kita. Didukung sebuah sekolah dasar di Balgheim, saya kirimkan semuanya pakai lama dan ada yang hilang pula. Pihak-pihak yang menerima, memberikan laporannya lewat email dan saya teruskan kepada para penyumbang.
Sebagai rasa terima kasih saya pada sekolah yang peduli Indonesia itu, pada tahun 2011, saya mau saja memberikan kelas tari gratis selama 3 bulan demi persiapan perpisahan kelas IV SD Balgheim. Senangnya bahwa anak-anak mempelajari tari bambu dari Indonesia dan beberapa tarian lainnya. Seru, meski penarinya, semua anak laki-laki. Terharu, mereka ikut memamerkan budaya kita di depan orang tua murid, murid-murid adik kelas dan pihak sekolah. Lanjutkan!
Ugh. Keinginan saya untuk mengajari tari Indonesia pada anak-anak Jerman tak berhenti sampai di situ saja. Tahun 2012, anak sulung masuk gymnasium OHG Tuttlingen. Kebetulan, ada edaran bagi orang tua yang mau memberikan program kelas ekstra. Saya usul diadakan tarian Indonesia, diterima. Lumayan peminatnya. Gadis semua, sih. Cantik-cantik. Sayang tak jadi pentas pada malam budaya mereka. Tepok jidat sendiri.
[caption id="attachment_369762" align="aligncenter" width="418" caption="Bikin pameran kartu pos Indonesia dan sedunia di Semarang "]
[caption id="attachment_369763" align="aligncenter" width="410" caption="Pameran foto Indonesia di Jerman bersama Kampret"]
Tak terasa, tahun berganti tahun. Tahun 2013, saya mudik. Sembari menengok orang tua, saya mengadakan pameran kartu pos sedunia koleksi saya. Orang Jawa bilang ngiras-ngirus, sekalian, kan rumahnya jauh pakai sekali.Saya borong barang-barang yang berbau tradisional. Yaiy. Enam koper kami penuh! Barang-barang itu demi melengkapi pameran foto Indonesia bekerja sama dengan Kampret, Kompasianer hobi jepret. Kali itu saya memamerkan foto-foto keindahan alam dan budaya Indonesia karya kampretos yang terpilih dan beberapa dari foto saya. Pelengkapnya, saya pamer makanan besar sampai kecil dari Indonesia, dari yang bikin sendiri sampai yang beli dari on line shopping. Lebih dari itu, ada tarian Indonesia yang disajikan teman-teman dan tentunya, saya. Gembira rasanya memperkenalkan Indonesia karena di Jerman, negara Asia yang paling terkenal adalah Thailand. Sebulan itu, nama Indonesia saya yakin memenuhi pikiran masyarakat setempat. Sorak-sorakbergembira.
[caption id="attachment_369764" align="aligncenter" width="371" caption="Pamer wanita-wanita Indonesia dalam buku 38 WIB"]
Tahun 2013 berlalu. Tahun 2014 tiba.Lewat Pak Thamrin Sonata dengan Peniti Media Jakartanya, saya menerbitkan buku “38 WIB Wanita Indonesia Bisa“, buku yang menceritakan 38 wanita Indonesia pilihan saya dengan latar belakang yang berbeda satu sama lain. Karena bukunya di Indonesia, saya impor beberapa lewat teman baik di Jakarta. Selain di radio Smart FM Jakarta (relay di 5 kota besar) dan radio Edutop FM Semarang, acara bedah bukunya banyak saya gelar di Jerman; di rumah kami, di gerbong kereta regional, di sebuah universitas di Konstanz dan arisan ibu-ibu IGFU. Semoga tahun depan kalau jadi pulang, bisa launching dan bedah buku lagi. Saya memang gandrung pamer wanita Indonesia yang ada dalam buku itu. “Luar biasa, wanita Indonesia memang bisa!“ begitu kata ibu-ibu Jerman yang ikut hadir. Sama halnya dengan pendapat ibu-ibu Indonesia di Jerman. Tambah bangga.
[caption id="attachment_369765" align="aligncenter" width="380" caption="Mengajari anak Jerman bikin lumpia"]
[caption id="attachment_369766" align="aligncenter" width="410" caption="Ajari anak Jerman pakai baju adat"]
Selain sama ibu-ibu itu, saya senang berkumpul dengan anak-anak Jerman. Itu sebabnya, saya mengiyakan ketika guru TK setempat meminta saya untuk mengajari anak-anak membuat lumpia, lain hari, sayamenceritakan tentang Indonesia di TK St. Michael dan tentunya, menari untuk mereka yang duduk di kursi-kursi unyil.
Demikianlah hidup saya, sembari menekuni pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, saya tetap mengajar bahasa Inggris seminggu sekali. Kebetulan ada tawaran mengajar bahasa Inggris di kota besar, saya terima, dengan syarat, saya boleh usul mengajarkan tentang bahasa dan budaya tari Indonesia. Mereka setuju meski tahu mendapatkan murid yang ingin belajar keindonesiaan di Jerman tidak mudah. Bahkan direktur juga sepakat bahwa mengenalkan identitas sebuah bangsa itu sebuah keharusan di negeri orang. Amboi, senangnya.
Kesenangan saya tetap mengalir. Tak disangka-sangka, naskah buku yang sudah sejak 2010 diterima Gramedia, baru rilis September 2014 kemarin. Senangnya, buku biografi balerina Jetty Maika itu terbit. Ini bukti pamer bahwa balerina Indonesia bisa sejajar dengan balerina internasional. Meski berbahasa Indonesia, buku ini saya yakin mampu menunjukkannya karena dilengkapi dengan gambar-gambar yang menarik tentang balet dari mbak Jetty dan anaknya yang berbakat, Vaya. Mbak Jetty adalah penari balet premier dalam pementasan di Namarina, pemilik studio balet di Jatiwaringin dan sesekali mengajar balet. Vaya, anak gadisnya, adalah murid sekolah balet di AS. Saya ikut merasa bangga dengan prestasi mereka membawa nama negara. Orang Indonesia bisa balet lho.
[caption id="attachment_369767" align="aligncenter" width="341" caption="Bukti nama Indonesia di jagad balet dunia (dok.Nana)"]
Tentu saja budaya sendiri masih dipegang. Seperti saat saya diminta untuk menari di acara Malam Indonesia di Freiburg pada 16 Oktober 2014. Senang sekali pamer sesuatu yang berbau Indonesia. Dari pilihan tari bondan, tari Abyor dan tari Roro Ngigel, panitia memilih yang terakhir. Siap! Usai pentas, saya dipesan panitia untuk menari bersama anak-anak kami dua tahun lagi, 2016. Siap pamer lagi? Tarian yang termudah untuk dikopi paste anak-anak. Semoga bisa!
Ide yang menjadi PR saya berikutnya setelah lomba kartu pos bergambar Indonesia ke Jerman bekerja sama dengan Fiksiana masih menjadi PR bagi saya. Dua pertiga jalan itu adalah pameran kartu pos sedunia 2014 dan Festival Indonesia 2016. Saya kok pengen membuat pameran kerajinan Indonesia 2015. Sepertinya bagus pamer batik, meubel, ukiran dan sejenisnya. Ahhh, mimpi dulu .....
[caption id="attachment_369768" align="aligncenter" width="351" caption="Ajari dakon gadis Rumania, sederhana tapi Indonesia banget"]
[caption id="attachment_369769" align="aligncenter" width="263" caption="Ajari bekel juga Indonesia abis"]
[caption id="attachment_369772" align="aligncenter" width="336" caption="Pamer baju Jawa ibu di lomba foto Jerman, sepele"]
[caption id="attachment_369773" align="aligncenter" width="333" caption="Pamer sinden dalam lomba foto Jerman, sederhana"]
Tuuuh kan. Aksi untuk Indonesia, bisa dari diri sendiri dengan langkah yang sederhana, dimulai dari hal sepele di manapun kita berada. Menggali potensi diri yang ada. Mau di Indonesia, mau di Jerman, mau di Amerika atau Ameriki. Kalau mau pasti bisa. Saya memulainya dengan modal omong (promosi), tarian dan makanan. Bisanya baru itu. Inshaallah tetap jalan ... Indonesia memang jauh dari mata saya tapi ingin saya hadirkan selalu di Jerman lewat hati dan pikiran saya dengan tindakan sepele dan sederhana. Mau rajin pulang, mikirrr.
Aksi untuk Indonesia?Aayooo ... kompasianer bisa.
***
Kata orang, saya memang hiperaktif. Bahkan, lebih ekstrim lagi, orang yang tidak suka sama saya bilang; saya kurang kerjaan. Hehehehe. Biarlah, biar aksi pamer saya jalan terus. Bagi saya, wajib pamer Indonesia di negeri asing itu asyik dan seru. Bagaimanapun, pada hakekatnya, saya harus ingat, pekerjaan utama saya adalah sebagai ibu rumah tangga, lain-lain hanyalah ekstra (termasuk rencana pamer Indonesia ini). Tidak boleh lupa, tak juga alpa. Selamat pagi, nyetrika dulu, gunung (cucian) saya mau mbledhos.(G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H