Huff. Lima derajat! Jerman memang sedang dingin. Ini bulan November, beberapa wilayah sudah ada yang dijatuhi es atau salju. Contohnya di hutan depan rumah, bagian pucuk.
Tahu kulkas kan? Nah, begitu rasanya di luar. Meskipun pakai jaket, badan masih menggigil, mulut kita bisa mengeluarkan asap putih meski tanpa merokok. Tangan kita seperti es batu, mak cesss.Kalau sampai minus, bisa seperti diiris. Ini sama halnya kalau saya mengeluh, kok Indonesia panas seperti di dalam oven, mak wukkk. Mblonyok.
Namanya musim dingin, pemandangan yang ada; badan dibungkus rapat, wajah ditekuk, senyum tak selamanya menghiasi wajah, jarang ketemu enakan di rumah dengan penghangat ruangan. Entah itu dari kayu bakar, minyak, listrik, gas bumi atau lainnya.
Tak heran kalau Jerman banyak memiliki tradisi justru di musim dingin. Saya tangkap ini sebagai sebuah variasi. Hidup dengan dingin sepertinya membosankan, harus dibuat semangat. Pertemuan warga pun terjadi. Yang baru saja terjadi adalah perayaan St. Martin. Ini gawe pasti bukan ajaran agama saya namun saya memaknainya sebagai sebuah tradisi bangsa Jerman yang mayoritas Katholik dan memiliki hikmah dan manfaat besar.
Coba saja, dari persiapan membuat lampion. Anak-anak sudah diajari bapak-ibu guru di TK/sekolah untuk membuatnya sendiri. Selain cerdas otak dan berkarakter, terampil tangan, penting kan? Tidak hanya dibiasakan beli dari toko.
[caption id="attachment_376563" align="aligncenter" width="360" caption="Lampion buatan sendiri, pegangannya dari bekas bungkus tisu dapur"][/caption]
[caption id="attachment_376566" align="aligncenter" width="360" caption="Lampion buatan sendiri bersama ibu guru"]
Lalu permohonan dari sekolah agar orang tua membuat makanan (Finger food seperti kek) untuk dijual di kedai usai perayaan berakhir. Siapapun orang tua akan suka rela menuliskan namanya dan jenis makanan apa yang akan disumbangkan. Ikhlas. Padahal nanti kalau mau makan hasil masakan sendiri, harus bayar lho ....
Kemudian dari bagian long march. Pesertanya paling tidak 300 an (dari murid TK 100 dan beberapa anak SD yang adiknya ikut). Panjang seperti ular naga. Perayaan St. Martin setahun sekali ini kan harus jalan dari sekolah mengelilingi kampung, sampai menuju halaman gereja. Perjalanan yang menyenangkan anak-anak sampai lansia. Mereka ini membawa lampion, entah buatan sendiri atau beli. Biasanya, anak kecil diberi lilin buatan dari batterei, yang agak besar menggunakan lilin beneran di dalam lampion.
Nah, selama jalan-jalan tadi, sesekali barisan berhenti.Apa si Komo lewat? Tidak. Ini kesempatan bagi grup musik untuk mengiringi orang-orang menyanyikan lagu-lagu seperti “Ich gehe mit meiner Laterne“ alias “Saya jalan-jalan membawa lampion“
[caption id="attachment_376567" align="aligncenter" width="368" caption="Berkumpul di depan sekolah, pukul 17.30 tepat!"]
[caption id="attachment_376568" align="aligncenter" width="360" caption="Menuju halaman gereja"]
[caption id="attachment_376569" align="aligncenter" width="360" caption="Gereja Katholik setempat"]
[caption id="attachment_376570" align="aligncenter" width="346" caption="Bayangan di dinding, hebohhh"]
Ich geh mit meiner Laterne
und meine Laterne mit mir.
Dort oben leuchten die Sterne und unten,
leuchten wir.
Ein Lichtermeer zu Martins Ehr!
rabimmel- rabammel-rabum.
Ich geh mit meiner Laterne
und meine Laterne mit mir.
Dort oben leuchten die Sterne und unten,
leuchten wir.
Laternenlicht, verlösch mir nicht!
rabimmel- rabammel-rabum.
Ich geh mit meiner Laterne
und meine Laterne mit mir.
Dort oben leuchten die Sterne und unten,
leuchten wir.
Mein Licht ist aus, ich geh nach Haus.
rabimmel- rabammel-rabum.
Atau
Laterne ... Laterne ... Sonne, Mond und Sterne
Brenne auf mein licht, brenne auf mein licht
Aber nur mein liebe Laterne nicht
[caption id="attachment_376572" align="aligncenter" width="384" caption="St. Martin datang, anak-anak senang"]
[caption id="attachment_376573" align="aligncenter" width="384" caption="Percakapan St. Martin dengan pengemis"]
[caption id="attachment_376574" align="aligncenter" width="384" caption="Anak-anak anteng"]
[caption id="attachment_376575" align="aligncenter" width="384" caption="Barisan bapak-ibu guru dan grup musik"]
Usai sampai di halaman gereja. Ada sebuah atraksi yang sangat ditunggu anak-anak. Adegan St. Martin dengan naik kuda besar dan gagah, dengan seorang pengemis tanpa jaket atau selimut. Brrr... dingin.
Penonton akan begitu seksama dan khidmat mengamati. Anak-anak diajari untuk tidak ribut. Tertib. Oh ... Lihat lah ketika St. Martin mendekatipengemis dengan kudanya dan menanyakan apa yang bisa ia lakukan untuknya. St. Martin membagikan separoh jaket merah yang menggantung di pundaknya itu. Orang yang kedinginan itu selamat dari hawa yang menggigit. Pelajaran berharga bagi anak-anak hingga dewasa bahwa hidup tak sekedar "lu-lu, gue-gue", mari berbagi.
Grup musik pun menutup acara.
Setelahnya, ada yang pulang ke rumah, ada yang menuju kedai untuk duduk sembari menikmati camilan dan minuman yang dibeli. Dana ini akan disumbangkan bagi kesejahteraan sekolah (TK/SD). Meskipun untuk masuk TK, bayarnya saja mahal. Di daerah kami, minimal 60-250€/bulan tergantung kelas yang mana. Kegiatan ini memberi manfaat juga untuk operasional sekolah, bukan? Dana mandiri tak hanya mengandalkan dari pemerintah.
***
Begitulah, banyak hikmah dan manfaat yang saya temukan dari tradisi bangsa Katholik Jerman di daerah tempat tinggal, lho. Di mana saja, manusia membutuhkan orang lain untuk hidup, bersilaturahim. Inilah salah satu ajangnya, perayaan St. Martin yang biasa diadakan pada tanggal 11 bulan 11, di mana detik karnaval telah dimulai.(G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H