Hari Sabtu, pagi, usai mengantar ke klub renang DLRG, anak perempuan masih ingin main air tapi yang hangat karena tadi dingin.
“Ya sudah, setelah makan siang, ya, Ndhuk.“ Saya menenangkan anak-anak. Mereka saya minta membereskan ruang mainan di lantai atas agar saya bisa leluasa membersihkan ruang bawahnya. Biasa, kalau dibersihin ruang satu, ruang satunya dibikin berantakan sama anak-anak. Dirapikan yang barusan berantakan, pindah lagi. Makanya, saya tetap punya satu tips; kalau sudah dibersihkan, ruangan dikunci. Akan dibuka kalau perlu atau akan digunakan. Haha.
Sore pukul 15.00. Kami berangkat. Sudah janjian juga dengan kompasianer Cici dan anaknya. Di Tuwass, kolam renang air anget. Yuhuuu ...
Mbak Cici agak telat karena harus ada kerjaan yang diselesaikan. Kami pun sudah memasuki kolam yang ada pijatannya. Hmmm ... asyik. Sayang bapaknya anak-anak nggak ikut. Lagi dinas luar negeri.
Kami pun pindah ke whirlpool. Waaah .. asyik. Airnya meletup-letup. Blukuthuk-blukuthuk ... begitulah bunyinya.
Setengah jam kemudian, datang mbak Cici. Kami pun ngobrol. Tak berapa lama, mbak Cici mengajak anak-anak keluar. Saya sudah khawatir, tapi anak-anak mau. Ihh ... di luar kan dingin, meskipun airnya hangat. Saya tidak begitu suka, makanya saya tetap di dalam. Haduuuh sendirian. Eh, tidak, tidak sendirian, masih ada beberapa ibu Jerman, anak-anaknya dan beberapa laki-laki Jerman.
Ya, sudah, menikmati air pijatan di kolam sajalah. Tak berapa lama, lelaki yang dari tadi mengamati saya menyapa:
“Dari mana? Thailand atau Philippina?“
“Bukan ...“ Saya menoleh sebentar lalu kemudian tetap memandang lurus ke depan.
“Dari mana?“ Si pria yang sepertinya bukan dari Jerman alias pendatang itu penasaran bertanya. Saya duga dari aksen Jermannya bukan lokal.
“Indonesia.“
“Sudah menikah?“ Matanya larak-lirik ke orang lain yang juga ada di kolam. Apa ia takut?
“Sudah.“ Saya ketus jawabnya, tanpa memandang wajahnya.
“Sama orang Jerman?“ Lelaki usil yang kira-kira sepantaran suami saya itu masih tanya lagi.
“Iya ...“
“Punya anak?“
“Banyak ...“
“Di sini juga?“
“Iya ...“
“Nanti malam ke disko, yuk?“ Heeeee ... Benar dugaan saya, waktu pertama kali mengira saya orang Thailand. Nih, orang pasti gak bener. Apalagi tadi sudah saya jawab kalau saya menikah tapi tetap tanya-tanya.
“Saya tidak mau ke disko sama kamu.“ Saya menjawab sambil melotot.
“Wah masih muda kok tidak suka diskooo. Kalau begitu makan malam saja, deh ... saya traktir kamu.“ Si lelaki tambah ndableg ping sangalikur. Saya tidak enak hati dan kesaaaal. Saya pun meninggalkannya sembari berkata:
“Saya tidak mau sama kamu!“ Saya benar-benar makin tak betah di dekatnya dan meninggalkan pijatan air yang saya sukai itu. Kok, usahanya direct begitu yak? Nggak malu. Minta disikat.
[caption id="attachment_376877" align="aligncenter" width="384" caption="Salah satu bar ngeri di Hungaria"][/caption]
Saya langsung meninggalkannya, menuju mbak Cici dan anak-anak dan mengajak mereka pulang. Anak-anak masih mau main di taman air anak-anak. “Ya sudah, setengah jam tambahnya.“
Lelaki tadi membuntuti sambil mengamati kami (saya, mbak Cici dan anak-anak). Segera saya tunjukkan ke mbak Cici.
“Kuwi lho, wong edan, ora nggenah ....“ Kami pun tertawa. Ingat soal disko dan makan malam. Saya yakin orangnya tidak paham karena saya pakai bahasa Jawa.
Selesai mandi, ganti baju dan keluar menuju mobil, saya menghubungi suami dan menceritakannya lewat Whatsapp, mumpung ada 3G ....
“Orangnya mau tahu rasa Asia, bilang saja ... seperti vanila“ Suami saya menggoda. Gemes, ah. Bodyguard nya sihhh, pergi.Buruan pulang, pak! Kangen, mau sayang-sayangan sama yang resmi.
Percakapan kelar. Gas saya tancap. Kami mampir ngeteh di rumah mbak Cici. Sejam, lalu pulang.
Pintu garasi saya memang dihubungkan dengan wireless yang disetting (Chamberline) di HP suami dan saya. Kalau saya buka pintu, ia akan tahu bahwa garasi saya buka. Ada laporannya di layar. Begitu pula saat menutupnya.
Begitu masuk rumah. Whatsapp berbunyi:
“Barusan dari disko, Bu?“
“Saya tidak mau ... hahaha ... kamu nakal, pak. Jahat.“ Pria saya ini memang suka menggoda saya. Mosok saya yang sudah punya suami mau jeng-jeng sama orang tidak dikenal? Yo, Emooooh. (G76)
Ps: Waktu sekolah dulu, selalu diajarkan agar wanita tidak pergi sendirian. Begitu pula aturan orang tua saya. Lah, ini saja pergi sama anak-anak terjadi hal-hal yang tidak mengenakkan. Tadinya mau menyenangkan anak-anak biar ada hiburan rekreasi malah dadi gawe. Halah-halaaah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H