Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Pindang

28 Januari 2015   23:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:12 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ikan pindang adalah makanan kesukaan saya waktu di tanah air. Ikan ini memang hasil rebusan atau pengasapan dan penggaraman. Jadi agak-agak asin namun dengan kadar garam yang rendah. Lebih rendah dari ikan asin.

Ikan asin? Oh, dulu sering saya konsumsi dengan beras warna coklat dan agak bau dari jatah PNS orang tua kami. Jadi ingat bahwa Cuplis temannya Unyil, selalu menggerutu makan ikan asin terus. Sekarang saya malah kangen di Jerman, tuuuh. Mana ada ikan asin? Bisa muntah orang Jerman melihat atau mencium bau ikan asin. Salah-salah malah kena denda karena dilaporkan tetangga ke polisi. Dianggap melanggar ketentraman dan kenyamanan orang lain. Atau kejadian di rumah yang kadang bikin geregetan:

“Ikan saya mana, Pak?“ Kaki saya riwa-riwi di dapur. Ada barang yang hilang, sibuk mencari.

“Tuh, di kebun ...“ Telunjuknya mengarah ke pintu.

“Walaaaaahh ...“ Kepala saya melongok dari Jendela. Ikan saya ada di meja teras dekat dapur dan kebun.

“Bau, buuukkk ... busuk.“ Yaaaa ... bapak. Sayanya nyerah. Masak kalau rumah lagi sepi. Sama seperti saat makan durian. Haha nasib. Orang Jerman juga tidak suka bau durian.

OK. Kembali soal pindang ini menjadi cerita unik minggu lalu. Saya nemu di toko Asia kota sebelah! Senangnya minta ampun! Harganya memang termasuk mahal. Sepuluh ekor pindang ukuran sedang yang sudah dibekukan, harganya 12€! Kira-kira Rp 150.000. Berarti satunya Rp 15.000 atau satu euro. Seingat saya sepuluh tahun lalu Rp 2.000,00 sudah dapat 3 di Semarang. Wadahnya, kotak dari bambu. Biasanya wadah saat pemrosesan dan penjualan sama. Sekarang berapa ya? Pasti sudah naik tapi tidak Rp 15.000/ekor deh.

Sengaja waktu itu saya sajikan di meja saat makan siang.

“Waduh buk, kamu bau, bau ikan.“ Suami saya nyengir. Ciumannya lepas, menjauh.

“Tuh, di tengah-tengah ada tiga ekor.“ Saya ambil satu.

“Hiyyyyyyy ....“ Anak-anak ikut bergidik menirukan bapaknya.

“Jangan salah, waktu mama hamil, selalu konsumsi ikan pindang, sayur bayam, air kelapa dan mangga setiap hari. Semua ada di perut bayi ...“ Anak yang merasa waktu jadi janin menyerap makanan yang saya sebutkan kaget. Hahahaha....

***

Pindang. Ikan ini mungkin bau, tapi saya suka sekali. Ngangeni. Saya pikir protein hewaninya menyehatkan dan rasanya gurih. Mak nyosss. Apalagi dengan nasi hangat, sayur, krupuk dan sambal. Sayang sekali, makanan ini tak bisa didapatkan semudah di tanah air. Bagi Kompasianer yang masih begitu mudah mendapatkannya dan menyukai ini, berbahagialah. Selamat menikmati. Indonesia memang surganya ikan, apalagi nenek moyang kita orang pelaut. Selamat pagi. (G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun