[caption id="attachment_398112" align="aligncenter" width="320" caption="Ih, medeni, sereeeemmm"]
[caption id="attachment_398113" align="aligncenter" width="320" caption="Bikin baju dari Lotto, kertas judi"]
[caption id="attachment_398114" align="aligncenter" width="320" caption="Bikin baju karnaval dari CD bekas"]
[caption id="attachment_398116" align="aligncenter" width="320" caption="Mak Lampir"]
[caption id="attachment_398118" align="aligncenter" width="320" caption="Bikin baju dari spanduk diskon"]
[caption id="attachment_398119" align="aligncenter" width="320" caption="Hey, you ... yes you!"]
[caption id="attachment_398121" align="aligncenter" width="320" caption="Hiy ... lariiii!"]
[caption id="attachment_398120" align="aligncenter" width="320" caption="Busari Jiwakuti!"]
Asche=abu, Mittwoch=hari Rabu. Hari abu ini sebagai pertanda usainya karnaval Jerman, Fastnacht/Fasching/Fasnet. Semua merapikan kembali kostum dan pernak-perniknya. Dicuci lalu masuk lemari!
Ada yang istimewa di hari ini, kebanyakan orang memiliki tradisi hanya makan Fisch (ikan) dan Schnecke (bekicot). Selain itu beberapa restoran tidak menyajikan daging! Jangan marah yaaaa ....
Buntutnya? Dua ekor ikan saya lahap, kenyangnya sampai seharian!
Itu tadi tradisi Jerman, masyarakat modern dan maju yang masih lestari sampai hari ini. Sekarang situasi kembali normal. Anak-anak ke sekolah setelah libur sejak minggu lalu pas Schmotzige Donnerstag, kamis “kotor.“ Hari ini, juga Kamis, 19 Februari 2015, semua tenang, sepi, rumah-rumah dengan hiasan karnaval diganti dengan hiasan paskah dan jalanan mulai dibersihkan dari sampah karnaval, umbul-umbul dan sejenisnya. Yup. Giliran berpuasa selama 40 hari hingga paskah nanti. Dikuat-kuatin. Catatan: mayoritas masyarakat Jerman beragama Katholik Roma. Selamat berpuasa bagi yang menjalankan, yang tidak ... jangan ngganggu.
***
Satu yang saya petik dari hari-hari penting Jerman tersebut di atas. Acara ini diadakan pas musim dingin, musim yang sangat tidak nyaman untuk berada di luar, temperatur udara amat rendah bahkan masih banyak salju berserakan di tempat kami sampai hari ini. Namun melihat semangat anak kecil sampai lansia Jerman merayakannya ... luar biasa! Saya jadi semakin yakin, bahwa sebuah budaya itu tak hanya jadi beban bagi suatu negara aka pemerintah saja tetapi juga bangsa atau orang-orang yang tinggal di dalamnya.Tanpa ini tak mungkin sebuah tradisi akan lestari.
Tak heran kalau ratusan tahun lamanya, empat budaya Jerman ini masih hidup dan memberi kehidupan di alam Jerman karena semua bahu-membahu. Bayangkan persiapan yang harus mereka siapkan untuk berpartisipasi bahkan dari kantong sendiri? Rasakan kakunya tangan dan kaki selama mengikuti acara karnaval ini. Saya saja kalau pulang, jadi seperti robot; tangan dan kaki dingin seperti es! Padahal semua dibalut tebal dan rapi. Masih juga freezing! Mereka (yang karnaval dan yang nonton), kok tidak kapok ya? Saya yakin, ini abot-abotnya, demi lestarinya tradisi budaya Jerman. Ingat, busari Jiwakuti; budaya satu bangsa akan lestari jika warga ikut nguri-uri. Salam budaya.(G76)
Ps: Untuk karya kawan-kawan Kampret (Kompasianer hobi jepret) lainnya, silakan menyimak di akun Kampret, di sini. Bagi yang belum, hayooo ramaikan ... ojo lali! Nyok-nyok-nyooook....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H