Ada kejutan menarik pada minggu ini yaitu Operasi Tangkap Tangan KPK terhadap salah satu komisioner KPU Wahyu Setiawan. Â Namun berita ini menjadi bumbu yang lezat justru bukan pada berita penangkapannya namun pada cuitan Andi Arief, politisi Demokrat yang mengatakan ada inisial S dan D yang merupakan staf Sekjen Partai Besar.Â
Cuitan Andi Arief kemudian ditangkap oleh TEMPO dan media inilah yang pertama kali mengeluarkan siapa inisial S dan D dalam operasi penangkapan kemarin. Berita dari TEMPO mendahului keterangan resmi KPK dan mau tidak mau seperti ada upaya pembentukan opini publik. Dalam kasus OTT KPK terhadap KPU lalu muncullah 'punch line'Â dalam pemberitaan ini : "Hasto Kristiyanto" Sekjen PDI Perjuangan yang dikait kaitkan dengan nama S dan D dalam pemberitaan TEMPO.
Menariknya beberapa media besar berjarak dan menunggu penjelasan resmi dari KPK siapa sesungguhnya S dan D yang disebut sebut sebagai Staf Sekjen PDI Perjuangan. Dari dua nama itu hanya inisial "S" yang dijadikan tersangka sementara "D" tidak dijadikan tersangka diluar nama Wahyu Setiawan dan orang yang disebut sebut sebagai kepercayaan Wahyu Setiawan yang bernama Agustina Tio Fridelina.Â
Dalam kasus ini ada dua hal yang menarik "Ucapan kiriman pesan Wahyu Setiawan  kepada Agustina Tio Fridelina "Siap Mainkan..." dan tentunya cuitan Andi Arief yang menjadi konfirmasi pada pers dalam memunculkan nama sebelum ada keterangan resmi dari KPK dan terakhir yang tak kalah menarik adalah "Penangkapan KPK selalu di hari hari penting PDIP" tiga hal inilah yang jadi perhatian saya dan bagi saya peristiwa yang melibatkan banyak penggede politik dan permainan permainan proxy dibaliknya selalu ada rentetan pertarungan politik yang mendahului.
Dan uniknya peristiwa OTT KPK bagi saya lebih pada gambaran tarik menarik politik yang lebih besar ketimbang peristiwa penangkapan itu sendiri. Â
Bagi saya  sebagai seorang jurnalis politik apa yang terjadi pada peristiwa OTT KPK ada yang lebih besar "Pertarungan terus menerus antara Megawati dan SBY" sulit bagi kita menjaga jarak antara peristiwa ini dengan pertarungan abadi PDIP vs Demokrat karena justru berita paling penting dari kasus ini muncul dari Andi Arief seorang pentolan Demokrat yang dipercaya oleh SBY untuk menjalankan pernyataan pernyataan kerasnya di publik.Â
Andi Arief menempatkan posisi politiknya untuk menjadi mesin penyerang Hasto Kristiyanto, setelah Andi Arief barulah politisi demokrat yang lain Ferdinand Hutahean yang sejak awal ditugaskan SBY menyerang Jokowi kini menjadi mesin tandem serangan Andi Arief ke PDIP . Sejak kampanye politik 2019 upaya Andi Arief dalam melakukan serangan politik ke PDIP lebih difokuskan kepada Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP.Â
Cuitan di Twitter Andi Arief, kemudian media investigasi TEMPO yang meminta ijin memuat cuitannya serta framing "Staf Sekjen PDIP" dengan inisial "S" dan "D" yang terus menerus dimuat dalam redaksi pemberitaan tentunya secara komunikasi politik gampang dibaca pihak PDIP bahwa ini adalah serangan politik Partai Demokrat ke PDIP dengan menggunakan momentum OTT KPK.
 Bahkan di sore hari setelah Hasto Kristiyanto mendampingi Megawati, ia melakukan konferensi pers yang sebenarnya hal itu ditujukan pada pihak dibelakang serangan ini yang melakukan politik framing "Staf Sekjen PDIP" bahwa ada staf PDIP yang bernama Doni dan itu bukan Doni yang ditangkap. Jelas disini PDIP sudah membaca alur serangan
Bisa dibacanya PDIP bahwa apa yang terjadi di KPK dan upaya serangan "orang-orang Demokrat" yang mengutamakan Sekjen PDIP sebagai sasaran politik tentunya mudah dibaca Megawati. Untuk itulah kemudian justru secara implisit Megawati menjawab serangan politik Demokrat dengan membawa Hasto Kristiyanto selalu disampingnya terus dalam Rakernas PDIP 10 Januari 2020, sebagai pesan senyap kepada SBYÂ "Saya sudah mengerti permainanmu".Â
Dalam memahami politik di Indonesia ada semacam komunikasi politik yang unik. Para petinggi politik tidak banyak bicara dan yang melakukan pertarungan adalah "orang-orang dibawahnya" dan uniknya setiap orang memiliki tugas dan alurnya sendiri, bagi para jurnalis politik kawakan tentunya sudah bisa memahami bagaimana "bila A" bicara maka alur serangannya kemana, bagaimana latar belakang pertarungannya dan jenis apa yang dibicarakan.Â