Mohon tunggu...
Vhuren D
Vhuren D Mohon Tunggu... Human Resources - Mahasiswa yang belajar menulis

Manusia biasa yang sering bercerita

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Indonesia yang Saya Kenal

25 April 2019   04:52 Diperbarui: 25 April 2019   06:34 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita akan masuk ke tahun-tahun politik yang dimana telinga kita selalu di sejukkan dengan orasi yang menggema di panggung kampanye dengan membawah-bawah ekonomi kerakyatan, kepemimpinan yang peduli kepada rakyat maupun kesejahtraan masyarakat. 

Kata-kata seperti ini nantinya kita akan jumpai di musim-musim kampanye. Sehingga rakyat dihipnotis dengan masa depan yang penuh imajinasi kesejahtraan yang entah kapan akan terwujud.

Cita-cita kesejahtraan ternyata berbanding terbalik dengan realitas saat ini. Entah ini ketidaktahuan atau memang tak ingin mengetahui, seperti apa sih, system ekonomi kita saat ini ?.apakah kita mengetahui soal system ekonomi seperti apa yang saat ini berjalan di dinegara kita ini. 

Kurangnya pengetahuan masyarakat awam terhadap system ekonomi yang berkembang saat ini juga merupakan suatu factor yang memicu tidak antisipasinya masyarakat dengan janji-janji para elit politik yang menjadi surga ditelinga dan diperparah lagi dengan bertebarannya informasi yang dibuat-buat atau pencitraan suatu kepemimpinan.

Jika kita betul-betul memperhatikan system ekonomi yang berjalan saat ini kadang timbul rasa pesimis akan tercapainya kesejahtraan rakyat. 

Hal ini atas dasar realitas yang kita temui, segala hal harus dengan uang bahkan sesekali tak bisa kita jangkau padahal itu merupakan hal pokok yang harus dipenuhi oleh setiap manusia belum lagi dengan kesulitan mendapatkan uang saat ini dengan mengandalkan tenaga yang dimiliki setiap masyarakat. 

Belum lagi kekayaan alam yang kita punya berupa minyak, gas dan batu bara dll hanya menjadi komoditas ekspor padahal didalam negara sangat membutukannya. 

Jika didalam Negara mengalami kelangkaan maka tak ada cara lain selain mengadakan impor, ini adalah logika yang sangat keliru. Kita adalah Negara produsen tapi hanya sampai pada Negara produsen selebihnya kita hanya jadi Negara komsumen terbesar didunia.

Kita sering dilanda ketakutan akan naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) karna dapat memicu inflasi. 

Padahal Negara kita adalah Negara yang banyak terdapat sumur-sumur minyak, bahkan sehari kita bisa menghasilkan satu juta barel minyak mentah yang diangkat dari perut bumi. Tapi sangat disayangkan harga dalam negeri ternyata masih mahal di Negara yang punya sumur minyak entah itu didarat maupun dilaut.

Masyarakat kita memang cenderung menghindari pembahasan-pembahasan yang berkaitan dengan system atau ideology yang besar, entah tak menyukai atau tak mau ambil pusing. Jika pembahasan ini dicoba dihadirkan dalam dunia televise maka masyarakat dengan segera mungkin mengambil remote control dan mengganti channel televisi. 

Hal inilah yang membuat masyarakat tak memahami apa itu ekonomi liberal maupun neo-liberal walaupun masih banyak factor lainnya.

Perdebatan-perdebadaban yang ditayang ditelevisi hanya mengisi jam tayang televisi swasta yang jauh dari perdebatan yang subtansi dan kongkrit. Sedangkan kita yang yang menonton menjadikan bahan pijakan dalam berargumen. Padahal apa yang diperdebatkan mewakili kepentingan politik maupun kelompoknya, siapa yang tahu?.

Padahal seharusnya frekuensi televisi dan radio dalam penggunaannya tidak boleh dimonopoli. Frekuensi televisi dan radio itu adalah gelombang elektromagnetik ciptaan Tuhan. Manusia cuma bikin antenna pemancar, gedung redaksi televisi, dan alat-alat kerjanya. Itulah yang dibeli dengan modal. 

Tanpa gelombang frekuensi, stasiun-stasiun televisi itu hanya akan menjadi production house terbesar di Indonesia. Dus, kalau ada pemilik televisi mengangkangi layar sendiri untuk kepentingan politik partisan atau bisnisnya semata, maka (semoga) dia kualat.(Dandhy Laksono. Indonesia for sale).

Harapan akan perbaikan ekonomi dan penataan sumber daya alam di tahun mendatang sangat di harapkan mengingat tahun depan kita akan menghadapi pemilihan presiden dan wakil rakyat (DPR), hal ini semata-mata untuk kesejahtraan orang banyak. 

Jangan hanya menkonsepkan pemenang disetiap pemilu dengan cemerlang tapi juga bagaimana merevisi kembali perjanjian-perjanjian atau kontrak kerja dengan perusahan bukan milik Negara yang mengelolah sumber daya alam kita. Jangan dibiarkan terus perjanjian yang berbenturan dengan konstitusi Negara.

Jika ada yang perna membaca buku Indonesia For Sale karya Dandhy Laksono maka tak asing dengan nama Friedich Hayek, peraih Nobel ekonomi pada tahun 1974. 

Mirip Joseph E Stiglitz yang juga mendapat Nobel tahun 2001 dan pernah menyebut Undang-Undang Penanaman Modal di Indonesia sebagai aturan hukum paling liberal yang pernah ditemuinya. Dua Nobel untuk dua pemikir ekonomi yang pandangannya bertolak belakang 181 derajat.

Kita kadang mengabaikan pesan pendiri bangsa yang seharusnya menjadi acuan dalam menjalankan ataupun mengelolah Negara. 

Undang undang dasar 1945 harusnya menjadi payung hukum besar dalam mengelolah Negara apalagi menyentuh hal yang sensitive seperti ekonomi. 

Walupun dalam perjalanan negera ini ada amandemen undang undang maupun pembuatan undang undang penanaman modal asing yang memberikan keleluasaan kepada investasi atau pemodal untuk mengelolah sumber daya alam miliki Negara maupun sector perbankkan.

Apakah ini kemudian membuat kita menjadi pesimis, saya rasa kita terlalu cepat untuk mengambil kesimpulan. 

Di Negara yang memakai system Demokrasi seharusnya menjadikan kita sebagai generasi muda untuk menyusun agenda-agenda kedepan dengan terlebih dahulu mempelajari sejarah. Bukan berarti sejarah hanya seputar masa lalu, dari masa lalu inilah membentuk hari ini, dan hari ini membentuk masa depan.

Referensi; buku Indonesia For Sale (Dandhy Laksono)

catatan tahun 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun