Masyarakat kita memang cenderung menghindari pembahasan-pembahasan yang berkaitan dengan system atau ideology yang besar, entah tak menyukai atau tak mau ambil pusing. Jika pembahasan ini dicoba dihadirkan dalam dunia televise maka masyarakat dengan segera mungkin mengambil remote control dan mengganti channel televisi.Â
Hal inilah yang membuat masyarakat tak memahami apa itu ekonomi liberal maupun neo-liberal walaupun masih banyak factor lainnya.
Perdebatan-perdebadaban yang ditayang ditelevisi hanya mengisi jam tayang televisi swasta yang jauh dari perdebatan yang subtansi dan kongkrit. Sedangkan kita yang yang menonton menjadikan bahan pijakan dalam berargumen. Padahal apa yang diperdebatkan mewakili kepentingan politik maupun kelompoknya, siapa yang tahu?.
Padahal seharusnya frekuensi televisi dan radio dalam penggunaannya tidak boleh dimonopoli. Frekuensi televisi dan radio itu adalah gelombang elektromagnetik ciptaan Tuhan. Manusia cuma bikin antenna pemancar, gedung redaksi televisi, dan alat-alat kerjanya. Itulah yang dibeli dengan modal.Â
Tanpa gelombang frekuensi, stasiun-stasiun televisi itu hanya akan menjadi production house terbesar di Indonesia. Dus, kalau ada pemilik televisi mengangkangi layar sendiri untuk kepentingan politik partisan atau bisnisnya semata, maka (semoga) dia kualat.(Dandhy Laksono. Indonesia for sale).
Harapan akan perbaikan ekonomi dan penataan sumber daya alam di tahun mendatang sangat di harapkan mengingat tahun depan kita akan menghadapi pemilihan presiden dan wakil rakyat (DPR), hal ini semata-mata untuk kesejahtraan orang banyak.Â
Jangan hanya menkonsepkan pemenang disetiap pemilu dengan cemerlang tapi juga bagaimana merevisi kembali perjanjian-perjanjian atau kontrak kerja dengan perusahan bukan milik Negara yang mengelolah sumber daya alam kita. Jangan dibiarkan terus perjanjian yang berbenturan dengan konstitusi Negara.
Jika ada yang perna membaca buku Indonesia For Sale karya Dandhy Laksono maka tak asing dengan nama Friedich Hayek, peraih Nobel ekonomi pada tahun 1974.Â
Mirip Joseph E Stiglitz yang juga mendapat Nobel tahun 2001 dan pernah menyebut Undang-Undang Penanaman Modal di Indonesia sebagai aturan hukum paling liberal yang pernah ditemuinya. Dua Nobel untuk dua pemikir ekonomi yang pandangannya bertolak belakang 181 derajat.
Kita kadang mengabaikan pesan pendiri bangsa yang seharusnya menjadi acuan dalam menjalankan ataupun mengelolah Negara.Â
Undang undang dasar 1945 harusnya menjadi payung hukum besar dalam mengelolah Negara apalagi menyentuh hal yang sensitive seperti ekonomi.Â