Mohon tunggu...
Fajar Setiawan Roekminto
Fajar Setiawan Roekminto Mohon Tunggu... profesional -

Konsultan "Republik Tikus"

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kekerasan (Catatan Pendek dari Republik Tikus)

6 Februari 2014   22:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:05 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Iman itu baik, tetapi Cinta Kasih lebih baik, Servetus (1546)

Suatu petang saya pulang ke rumah dengan keadaan sangat lelah setelah melakukan perjalanan panjang dari negeri tikus. Banyak hal yang didapatkan dari negeri itu, khususnya mengenai kekerasan. Saya berencana untuk menyusun satu program anti kekerasan yang akan dipresentasikan di depan para penguasa pemerintahan Republik Tikus. Sebenarnya kelelahan yang saya alami tidak hanya karena baru saja sampai dari Republik Tikus, tetapi memang itulah kondisi yang terjadi hampir setiap hari. Sebuah kelelahan yang tidak berujung pangkal, entah karena saya sendiri tidak pandai dalam merawat tubuh, stres, marah, geram, sedih atau karena hal lain maka badan ini selalu tidak bisa fit setiap saat. Saya hanya sempat berpikir barangkali kondisi di luar tubuh yang memaksa vitalitas menjadi menurun, bahkan hampir sampai pada titik nadir, seperti misalnya lingkungan atau situasi. Saya pernah mencoba mencari tahu sebab – sebab terjadinya kelelahan, biasanya permintaan tolong yang paling mungkin dilakukan adalah dengan bertanya kepada “Om Google”. Luar biasa, saya menemukan lebih dari setengah juta kata yang mengandung kata kelelahan dengan ratusan situs yang ada. Dengan informasi yang diberikan itu saya mencoba untuk mengubah kebiasaan – kebiasaan sehari – hari, yang katanya buruk, dengan harapan kelelahan itu akan hilang dari tubuh. Mungkin karena informasi yang sudah diberikan tidak dilaksanakan dengan baik maka saya tetap mengalami kelelahan dan bahkan sakit yang luar biasa.

Sebelum mandi, setelah berganti baju, mencuci kaki, tangan, dan membuat teh, biasanya saya menyetel televisi “bermerek” monggo mas (silahkan mas), sebuah televisi yang hanya akan muncul gambarnya setelah beberapa menit dinyalakan. Seolah – olah, televisi itu berkata, “Silahkan mas, bikin teh atau kopi dulu, sampai saya muncul gambarnya.”Alasan itulah yang membuat saya menjuluki televisi itu, televisi monggo mas. Sembari menunggu gambar muncul di televisi, saya melamun, sebuah ritual yang tidak pernah lepas dalam kehidupan. Kata orang, lamunan dapat mendatangkan inspirasi, namun bagi saya berbeda. Paling tidak dengan melamun saya bisa keluar dari realitas yang telah membuat tubuh lelah baik lahir maupun batin. Sahabat – sahabat saya yang saleh tidak jarang menyarankan untuk menghilangkan kebiasaan itu, dan menggantinya dengan embahyang dan berdoa. Dengan sangat berapi – api mereka mengajari bagaimana cara berdoa. Mereka juga tidak pernah lupa menarasikan wacana moralitas dan teologis yang sangat dalam. Mungkin karena dilahirkan dengan kondisi intelektualitas yang pas – pasan, maka saya sulit memahami apa yang dikatakan oleh sahabat – sahabat saya tadi. Namun demikian saya merasa bersyukur karena mereka sudi memberikan perhatian dengan nasihat – nasihat yang baik. Saya tidak tahu alasannya mengapa mereka selalu tidak pernah henti menasehati, baik dalam percakapan sehari – hari, sms, email maupun facebook. Lama – lama saya berpikir barangkali saja teman – teman melihat ada sesuatu yang rusak dalam tubuh dan jiwa saya sehingga perlu mendapatkan perhatian ekstra. Meskipun sering mendapat nasihat, saya sendiri paling takut menasehati orang lain, karena memang tidak memiliki kapasitas untuk melakukan hal itu dan juga berusaha untuk lebih menelisik hidup saya ketimbang mengurusi urusan orang lain.

Dengan melamun saya biasanya dapat keluar, meskipun hanya sesaat, dari realitas yang penuh dengan hiruk pikuk yang menyedihkan sekaligus menggelikan. Realitas yang berisi sebuah kontestasi kekuasaan dalam kemasan komedi dan tragedi, meskipun saya sendiri mencoba, setidaknya memaksakan diri, untuk selalu mengartikan tragedi sebagai bagian dari komedi, juga karena tragedi adalah antitesis komedi. Tujuannya adalah agar saya masih terus dapat tertawa terbahak – bahak. Bayangkan, bagaimana hidup tidak lucu ketika melihat manusia menggiris apel dengan keris, membunuh nyamuk dengan basoka serta memaknai pedagogi sebagai “pedang – gogi”, yakni penistaan terhadap tumbuhnya harmonisasi antara mereka yang mengajar dan diajar. Merampas kata untuk kemudian diverbalkan secara pasif dalam bentuk diatur, dididik, diperintah, dilaksanakan, dipimpin, didisiplinkan, diperhatikan dan seterusnya. Itulah panggung dagelan Srimulat, karena realitas dan pengetahuan tidak pernah diproblematisasikan, dan ketika hal itu muncul, maka ia dianggap sebuah kesia – siaan. Lho, lantas dimana munculnya ruang trasformasi? Atau mungkin itu tadi, karena kemampuan intelektualitas yang pas – pasan sehingga otak ini selalu lelah dalam memaknai apa yang sedang terjadi, sehingga tubuh yang kurang vitamin inipun tidak lagi sanggup menahan tragedi dagelan yang sedang dipentaskan. Itulah pengalaman dan peristiwa yang saya lihat dan rasakan ketika berkunjung ke Republik Tikus.

Sambil memandang televisi yang pelan – pelan muncul gambarnya, saya menyeruput teh manis buatan sendiri. Merekoleksi semua yang pernah dilakukan dan baca, hingga ingatan saya berhenti pada sejarah inkuisisi gereja sebelum abad pertengahan. Sejarah yang mampu membuat bulu kuduk semua orang merinding dan yang pasti akan mengutuki perbuatan tersebut. Seperti yang kita semua tahu bahwa sejarah kekristenan bukan sejarah yang steril dari kekerasan dan darah, tidak hanya dilakukan oleh Gereja Katolik melainkan juga Protestan. Pada waktu itu, dengan sangat mudah gereja (dalam hal ini Gereja Katolik Roma) mengamuk di seluruh dunia layaknya binatang buas lapar, membunuh ribuan orang yang percaya kepada Kristus yang sejati, menyiksa, dan memotong tangan atau kaki ribuan orang lagi. Ini merupakan “Zaman Kegelapan” gereja dan salah satu korban, sekaligus korban pertama itu adalah kelompok Waldenses di Prancis, sebuah kelompok yang didirikan oleh Peter Waldo, atau Valdes, seorang pedagang dari Lyon yang kaya dan terkenal karena sikapnya yang keras dalam menentang paus. Gereja membenarkan tindakan horor yang mereka lakukan dengan landasannya adalah penafsiran (meskipun secara paksa) nats Perjanjian Baru, sedangkan acuannya ada pada Augustinus. Gereja telah menafsirkan Lukas 14:23 sebagai ayat pendukung penggunaan kekuatan dalam melakukan kekerasan, paling tidak terhadap bidat yang dianggap melanggar ajaran Kristen, “Lalu kata tuan itu kepada hambanya: Pergilah ke semua jalan dan lintasan dan paksalah orang – orang, yang ada di situ, masuk karena rumahku harus penuh.”Kekejaman gereja ini rasanya mirip, tapi tak sama dengan apa yang dilakukan oleh Hitler. Ingatan saya kemudian beralih ke sebuah film dokumenter bertajuk Auschwitz: The Naziz and “The Final Solution”. Sebuah film sejarah kekerasan yang dilakukan oleh Hitler kepada kaum Yahudi, sejarah bagi sebuah penentuan evolusi Auschwitz yang masuk dalam rencana Nazi menaklukan Timur dan bersifat untouchable.

Setelah mengetahui sejarah – sejarah itu, saya mengamini apa yang dikatakan oleh Karl Marx, kalau di dunia ini memang tidak ada yang benar – benar baru, demikian juga halnya dengan kekerasan. Meskipun motif yang melatarbelakangi, bentuk dan tujuan kekerasan itu berbeda – beda dan dalam kurun waktu yang berbeda pula, tetap saja hasil akhirnya adalah menciderai serta menistakan orang lain. Kekerasan tidak mesti terlihat secara kasat mata dalam bentuk penyiksaan fisik seperti yang terjadi di Auschwitz atau tindakan gereja abad pra pencerahan, melainkan juga dalam bentuk lain seperti misalnya kekerasan verbal. Saat inipun, berbagai jenis kekerasan mewarnai kehidupan, bahkan dalam ranah yang seharusnya mengharamkan tindakan tersebut yakni kelompok yang mengatakan memiliki agama, entah apapun agamanya.

Seringkali kita terjebak dalam tindakan peitis atau kesalehan yang sebenarnya adalah sebuah “kekerasan tersembunyi”, entah itu dengan cara yang terlihat seolah-olah rohaniah, elegan dan konstitusional maupun tindakan kekerasan yang kasat mata dalam bentuk kekerasan fisik maupun verbal. Kadang saya sendiri malu mengapa dalam beberapa hal saya kadang melakukan kekerasan baik fisik maupun verbal. Gunawan Muhammad dalam satu Catatatan Pinggir-nya, ketika menulis mengenai Servetus, seorang ahli agama asal Spanyol yang dihukum mati di bukit Champel, sebelah selatan Kota Jenewa, mengatakan, “Iman --atau bagaimana iman itu ditafsirkan - terkadang bukan lagi sebuah cahaya lampu yang menemani kita dalam perjalanan mencari; ia menjadi lidah api, yang menyala, membakar, kuat, kuasa, gagah, tapi juga pongah. Itulah contoh perilaku orang yang mengaku beragama tapi mengikat Servetus di sebuah tiang, dan membakarnya pelan-pelan hingga ia tewas kesakitan dengan jangat yang jadi hitam, hangus.

Memang sulit untuk menemukan rumusan yang memuaskan semua pihak mengenai mana sebenarnya yang disebut kekerasan dan bukan kekerasan karena definisi kekerasan itu bisa sangat variatif apabila ditarik pada wilayah filfafat, etika, hukum, antropologi, sosiologi atau disiplin ilmu yang lain, meskipun secara leksikal kata itu memiliki makna yang sama. Sejarah telah menjelaskan dengan sangat komprehensif bahwa tidak ada satupun organisasi atau lembaga yang bisa bertumbuh dengan sehat ketika kekerasan merajalela. Dulu ketika Suharto masih berkuasa, dia menjalankan rezim yang represif. Meskipun tidak kentara, dengan kekerasannya dia telah mampu menghegemoni, sehingga kita tidak pernah merasakan kekerasan fisik yang dilakukan oleh Suharto, kecuali mungkin mereka yang menjadi aktivis pro demokrasi atau mereka yang secara frontal menentang rezim itu. Dengan “kekerasan” yang telah dibungkus rapi dalam bentuk penataran P4 atau metode cuci otak lain, kebanyakan orang kemudian merasa bahwa seolah-olah apa yang diinginkan telah terwakili secara ideologis dalam pemerintahan rezim Suharto pada saat itu, sehingga dengan sukarela membiarkan kekuasaan melakukan kekerasan bahkan kepada diri kita sendiri. Kalau pembaca tidak percaya tanyakan saja kepada mereka yang masih merindukan rezim Suharto. Mereka tentu tidak pernah berpikir bahwa apa yang diberikan oleh Suharto itu adalah hasil utangan dari luar negeri yang suatu saat harus dibayar. Kenikmatan masa Suharto adalah opium yang pada akhirnya membuat sakau bahkan kematian pada titik tertentu.

Dunia memang tidak adil dan selamanya keadilan tidak akan pernah ada dalam dunia,karena alasan itu maka kekerasan sering kali muncul. Bayangkan seorang petani yang harus bekerja dengan keras dan membanting tulang namun tengkulaklah yang mendapatkan keuntungan yang berlipat-lipat dengan tanpa melakukan pekerjaan yang berat. Itulah sebabnya sering terjadi tindak kekerasan antara sekelompok petani yang pro tengkulak dan penentangnya, atau antara petani dengan tengkulak. Tidak mengherankan apabila kemudian muncul NGO atau organisasi yang membela kepentingan kaum tani, yang dalam kacamata status quo, kelompok-kelompok itu sering dicap sebagai provokator, meski memang harus diakui tidak semua NGO dan organisasi pembela kaum tani atau pembela orang lemah pada umumnya benar-benar berjuang dan ikhlas membantu mereka. Saya tidak hendak berbicara mengenai mereka, karena saya hanya ingin mengatakan mengapa kekerasan terjadi, yang pada gilirannya memunculkan antipati dan kebencian.

Kekerasan terjadi karena munculnya ketidakadilan pada satu sisi serta upaya untuk mempertahankan kepentingan di sisi yang lain. Bukankah realitas semacam itu ada dalam kehidupan kita? Bukankah kita sendiri adalah tengkulaknya, penulis skenarionya serta secara tidak sadar kita adalah pelakonnya? Dunia memang selalu menjadi panggung bagi pementasan komedi yang tidak pernah berakhir hingga sering saya sampai terkencing-kencing menyaksikan dagelan yang saya sendiri adalah lakonnya, termasuk menertawakan betapa hipokritnya saya, betapa naifnya saya, betapa menjijikannya saya dengan seluruh cara berpikir, bertindak dan berekspresi.

Waktu sudah menunjukan pukul 22.30, tidak terasa teh yang saya minum sudah hampir habis. Saya sering mendengar di rumah-rumah ibadah mengenai pentingnya toleransi, menghormati sesama manusia tapi ketika “teks” agama telah merasuki otak, dan pikiran kaum ortodok, puritan dan tradisional, maka semuanya akan bermuara pada sebuah kepentingan. Dengan uang yang pas-pasan saya sering membeli buku hanya untuk mencari arti sesungguhnya perjalanan manusia yang berbalut kekerasan. Lagi –lagi karena nalar yang cethek ini, atau karena harus membagi pikiran untuk hal lain yang sifatnya nonakademis, maka saya tidak pernah dapat membaca secara fokus buku-buku yang saya beli hingga tidak dengan mudah memahami isi buku tersebut. Saya menjadi seperti seorang aktor yang berada di panggung. Bukankah ketika di panggung kita diminta untuk memainkan peran yang baik dan menghibur, bukan sekedar lawakan slapstik atau tragedi murahan ala sinetron Indonesia, syukur-syukur peran kita akan mendapatkan award dari para kritikus.

Cara berpikir saya yang aneh bahkan seringkali menjadi bahan ejekan teman-teman tikus, tragisnya saya dituduh ekstrim padahal ya biasa-biasa saja. Namun demikian ekstremisme tidak selalu buruk, khususnya ketika telah menceburkan diri dalam lingkaran kepasrahan hidup. Rasanya lucu saja bagi saya ketika banyak orang berteriak toleransi dan kedamaian tapi dia membawa senjata tajam di kedua tangannya untuk menghabisi mereka yang tidak pantas kita perangi. Atau dengan senjata tajam itu (entah senjata fisik maupun verbal lewat mulut) kita telanjangi orang lain dengan menyobek pakaian yang dikenakan. Memaknai sebuah ajaran adalah dengan hati dan membiarkan seluruh organ tubuh ini bekerja untuk menghasilkan sesuatu yang baik dan berharga bagi kehidupan. Repotnya, saya adalah orang yang sangat tolol dan tidak pernah melakukan apa-apa selain berteriak kesana kemari di siang hari dan melamun serta menyeruput teh di malam hari sambil berpikir, kemana lagi harus pergi berteriak besok pagi ketika suara saya sudah mulai serak dan otak yang sudah tidak lagi dapat berpikir karena kebebalan saya. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun