Istilah fasis adalah umum digunakan untuk menunjukan kecenderungan pemerintahan yang otoriter. Secara psikologis, fasisme bersifat fanatic , dogmatic dan tidak terbuka. Sehingga rezim fasis memiliki masalah-masalah tabu, seperti ketabuan dalam membicarakan kelemahan seorang pemimpin. Seorang pemimpin harus diterima dalam keyakinan pengikutnya dan tidak boleh diusik atau didisikusikan tindakan dan kebijakannya secara kritis. Ini tentu saja akan menghasilkan individu-individu pendukung yang terlepas dari realita bahkan bisa jadi bagi yang lainnya menganggap mereka memiliki dunia tersendiri. Dalam konsep pemerintahanya, mereka memandang hanya pada satu kelompok minoritas kecil yang dianggap dan boleh berpengaruh dalam system pemerintahan , dan kelompok kecil inilah yang berhak menentukan apa yang terbaik bagi seluruh masyarakat. Dari konsep inilah lahir para pemimpin otoriter yang bebas menetapkan kebijakan umum menurut selera mereka. Meski tidak menduplikat seratus persen, banyak negara mencerimkan bila system fasis berkembang dalam pemerintahan mereka dalam wujud yang “disesuaikan”.
Dalam kekuasaan yang fasis, suatu rezim akan menggunakan dua jalan yaitu , pertama,penguasaan kesadaran melalui pemaksaan dan kekerasan. Kedua, adalah penguasaan lewat jalur hegemoni, yaitu kepatuhan dan kesadaran elemen masyarakat. Menurut Gramsci, dalam mudji : 2005, keberhasilan kaum fasis menyebarkan kekuasaan melalui pengaruh yang hegemonic karena didukung oleh organisasi infrastruktur terkait , yang di dalamnya diandaikan terjadi kepatuhan para intelektual. Para intelektual menyerahkan diri , membiarkan, dan patuh terhadap terhadap rezim yang merajalela sehingga melegitimasi politis secara menyeluruh.
Gramsci menawarkan munculnya penggalangan kekuatan intelektual untuk melawan rezim fasis. Ia membedakan dua corak intelektual , yaitu intelektual tradisional dan intelektual organic, intelektual tradisional yaitu intelektual yang tunduk dan patuh terhadap kepentingan rezim kekuasaan fasis. Secara factual adalah musuh masyarakat karena dengan posisinya tersebut mereka bekerjasama dengan rezim yang berkuasa serta memanipulasi system sosial dan politik yang menindas. Disampingnya berdiri kaum intelektual organic yang bergabung dengan masyarakat untuk menjalankan tugas profesinya serta membangkitkan kesadaran masyarakat yang dimanipulasi. Mereka memperkuat kesadaran masyarakat akan kondisi sosial – politis dan mendelegitimimasikan kekuasaan fasis.
Para pemimpin fasis , mereka menjadi pemimpin yang diidolakan dan diikuti secara membabi buta. Nilai luhur dan keyakinan bukanlah nilai yang bersifat universal melainkan nilai-nilai yang dianggap sesuai oleh pemimpinnya , itulah nilai kebenaran. Bila terjadi penentangan , maka pemimpin yang fasis tidak segan untuk melakukan penekanan dengan berbagai cara kekerasan baik secara verbal maupun kekerasan fisik , hingga penghukuman tanpa peradilan
Para pendukung pemimpin yang fasis, mereka seolah berdiri seperti binatang penjaga yang siap menerkam. Barang siapa yang berani mengusik pemimpin mereka, maka bersiaplah menjadi korban dan santapan mereka. Pendukung tidak akan memperdulikan apa yang mereka lakukan apakah telah melampui batas-batas kemanusiaan atau tidak, yang mereka pikirkan adalah usaha bagaimana menyelamatkan pemimpin mereka. Penculikan dan pembunuhan adalah hal yang bisa jadi legal dilakukan untuk membungkam penentang kekuasaan pemimpin mereka.
Hal tersebut tentunya berbeda dengan pemimpin dinegara yang demokratis. Umumnya pemimpin demokratis yang memiliki integrasi, memiliki cirri yang tersendiri. Pemimpin yang memiliki integritas dalam konsep demokrasi khususnya di Indonesia, tampak dalam sikap yang konsistens, religious ,teguh , tidak mudah goyah, berkepribadian kuat , menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan keyakinan. Hal ini akan tampak dengan adanya kesesuaian antara ucapan dan perbuatan, mampu menunaikan apa yang dijanjikan , sesuai dengan apa yang dikerjakan. Mendahulukan apa yang paling baik bagi orang lain sebelum apa yang terbaik bagi diri dan kelompoknya. Pemimpin seperti ini , tidak data dikendalikan oleh segelintir orang dibalik layar, ia akan mengutamakan apa yang menjadi keinginan rakyat. Hal ini akan tercermin dari kebijakan-kebijakan umum yang dihasilkannya adalah pro-rakyat .
Mungkin ini suatu yang unik bagi kita, pada pendukung pemimpin yang fasis, saat mana pemimpin mereka melakukan kebijakan buruk yang mempersulit kemudahan mereka dalam mendapatkan kebutuhan-kebutuhan fisik dan pemenuhan kebutuhan kesejahteraan secara ekonomi, para pendukung fanatic masih akan tetap berusaha bertahan dengan dukungannya meski dalam keadaan miskin dan lapar. Posisi para kaum intelektual tipe tradisional yang ditipekan Gramsci, akan tanpa lelah mencarikan pembenaran-pembenaran bagi pemimpinnya tersebut. Pendukung fanatic dan kaum intelektual tradisional dapat mengabaikan rasa lapar, meski saat mana banyak terdapat makanan yang mereka lihat namun tidak dapat mereka beli karena mahalnya harga. Itu bukanlah masalah penting bagi mereka.
Namun, bisa jadi kefanatikan para pengikut di suatu negara yang masih setengah fasis, suatu saat berubah menjadi lebih rasional . Hal yang memungkinkan itu terjadi adalah saat mana keberadaan mereka dinistakan dan ditiadakan, dianggap sebagai sesuatu yang dianggap tidak memiliki harga, tak ubahnya seonggok sampah yang sangat tak penting. Saat itulah satu persatu dari mereka akan lari menjauh, melepaskan dukungan dan kepercayaan yang pernah diberikan . disinilah peran intellectual organic, muncul melakukan usaha-usaha penyadaran untuk bersama-sama membangun suatu masyarakat yang anti fasis. Kalau ini terjadi, maka benar yang dikatakan Bunda Theresa , bahwa banyak orang lebih membutuhkan penghargaan, pengakuan , dan dianggap penting daripada kecukupan akan kebutuhan makan / fisik. Akan tetapi bila hal ini tidak terjadi maka ,benar jugalah bahwa pemujaan terhadap seorang pemimpin secara berlebihan menghilangkan akal sehat.
Lalu, Dimanakah kita..?
Referensi
Teori-teori kebudayaan.Mudji : 2005