Mohon tunggu...
Gabryella Sianturi
Gabryella Sianturi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Sedang mondar-mandir di Yogyakarta

Penulis lepas.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

All You Can Eat: Sebuah Konsep Restoran yang Melahirkan Manusia Buas

15 Juli 2020   16:06 Diperbarui: 5 Agustus 2020   02:28 900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : republika.co.id

Keempat, charge untuk makanan sisa. Karena mengetahui dampak dari konsep makan sepuasnya jika dihadapkan dengan manusia-manusia "buas", pemilik restoran mengambil langkah agar tidak dirugikan dengan aturan membayar makanan yang tersisa. Hal tersebut membuat konsumen menjadi lebih berhati-hati mengambil makanan yang pada akhirnya lagi-lagi menambah nilai keuntungan bagi restoran.

Terakhir, harga makanan anak kecil dan lansia berbeda. Mengetahui kapasitas makan anak-anak dan lansia secara kuantitas lebih sedikit dari orang dewasa, perbedaan harga yang lebih murah menjadi daya tarik mengingat manusia tidak ingin merasa rugi.

Di balik itu, pelaku bisnis juga menekan sekecil mungkin pengeluaran untuk biaya distribusi dengan alih-alih mempermudah operasional. Konsep self service dalam restoran all you can eat  membuat pemilik restoran tidak perlu repot-repot menggunakan waiter/waitress, sehingga ia tidak mengeluarkan biaya untuk menggaji tenaga kerja lebih banyak.

Selanjutnya, selain dari permainan bisnis, all you can eat ini juga menjadi ajang manusia mencari kepuasan atau melepas kontrol diri. Makan bagi manusia adalah suatu keharusan, tetapi juga suatu risiko: vivere pericoloso. Sebab dalam soal makan, manusia bisa berlebihan baik kuantitas maupun kualitasnya. Dalam konsep all you can eat jelas terlihat para konsumen mengambil makanan dengan tidak memerhatikan kuanitatsnya. Mereka mengambil makanan dengan sangat "buas" karena tidak ingin merasa merugi. Oleh sebab itu, bagi manusia, makan lebih dari soal membentuk kedagingan. Makan adalah soal membentuk kedirian yang utuh sebagai manusia yang otonom: mencari, memutuskan, dan akhirnya merealisasikan apa yang ia harapkan.

Dengan demikian, konsep “kenyang” yang dapat diartikan sebagai rasa yang ditimbulkan karena kepenuhan diri (sense of fulness) berlaku di sini. Dalam hal ini, kepenuhan itu tidak hanya melibatkan perkara fisik, tetapi juga rohani, seperti kepuasan, kecocokan, dan keinginan untuk makan lagi atau justru berhenti. Dalam mencapai kepenuhan diri tersebut, tak jarang konsumen all you can eat kerap mengosongkan lebih dulu isi perutnya agar dapat mencapai kepenuhan diri atau kekenyangan tersebut saat makan di restoran. Sehingga kepenuhan diri tidak hanya secara aspek biologis, tetapi terdapat juga kepuasan karena berhasil mamaksimalkan waktu dan uang yang telah dikeluarkannya.

Mendukung karakteristik manusia dalam aktivitas makan tersebut, dilansir dari kumparan.com dalam artikel berjudul "Psikolog: All You Can Eat Pelampiasan Manusia Saat Happy dan Stres", dari sisi psikologis, fenomena ini seperti orang dalam kehidupan sehari-harinya, dia dituntut untuk bisa mengendalikan diri. Contohnya di kantor, karyawan berbicara dengan atasan harus mengendalikan diri. Mengerjakan tugas yang tidak diinginkan juga bentuk mengendalikan diri. Sehingga, ketika seseorang punya kesempatan untuk bisa melepaskan kendali dirinya, dan karena sudah membayar nominal, otomatis orang akan memanfaatkan itu. Intinya, ketika seseorang memiliki momen untuk bisa melepaskan kontrol, automatically emosi yang dirasakan adalah sesuatu yang nyaman. Karena pada akhirnya kita bisa melepaskan itu semua.

Terakhir yaitu menyinggung sedikit budaya konsumerisme dengan menggunakan perspektif epistemology Jean Baudrillard, yang mengatakan konsumsi makanan juga mejadi sebuah institusi kelas. Hierarki dan diskriminasi yang tinggi atas kekuasaan dan tanggung jawab golongan kelas ekonomi tertentu telah merubah makna konsumsi menjadi fungsi pemisah dan pembeda antara kelas ekonomi yang satu dengan kelas ekonomi lainnya.

Adapun penyebabnya yaitu perbedaan peluang setiap subjek dalam kepemilikan terhadap objek tersebut. Perbedaan pendidikan, gender, keturunan, pekerjaan, kedudukan, kemampuan berbelanja, berpengaruh terhadap kesempatan dan kepemilikan terhadap objek yang berbeda. Dalam konteks ini yaitu makanan, yang dapat kita lihat contohnya ketika terdapat kehebohan yang sempat terjadi di sebuah restoran all you can eat di Jakarta tahun 2016 silam.

Restoran bernama Shabu Hachi tersebut menyiadakan paket "maid medu (only for babysitter)" dengan harga yang lebih murah dan varian makanan yang berbeda. Menuai kontroversi karena dianggap melecehkan sebuah profesi, maka pihak restoran menjelaskan bahwa hal tersebut dilakukan karena melihat para pengasuh bayi tidak dibelikan makanan oleh majikannya saat berada di restoran. Dari sini terlihat adanya dirskriminasi kepada pembantu, yang secara hirarki lebih rendah daripada majikan atas ketidak mampuannya mengonsumsi makanan all you can eat tersebut. Selain ingin memenuhi kepuasannya atau kekenyangannya tadi, di sini ditunjukkan bahwa manusia bisa rakus dan pelit dalam waktu bersamaan sebab ulah para pelaku bisnis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun