Masih ingatkah kalian dengan peristiwa meninggalnya jurnalis Arab Saudi, Jamal Khashoggi?
Sedikit mengulik ke belakang, Jamal Khashoggi merupakan seorang wartawan Arab Saudi terkemuka. Pada tahun 2017, ia menulis kolom untuk The Washington Post di mana isinya adalah kritikan atas Tindakan keras Arab terhadap perbedaan pendapat, perang di Yaman, dan sanksi yang dijatuhkan kepada Qatar.
Bagi dunia jurnalis, tulisan yang mengkritik pemerintah bisa dikatakan merupakan aksi nekat. Pasalnya jurnalis memang merupakan pihak netral yang kemudian berperan menjadi pengkritik penyelenggaraan kegiatan suatu negara.
Aksi Jamal terbilang cukup berbahaya mengingat pemerintahan Arab Saudi menggunakan sistem monarki absolut. Jenis pemerintahan ini berpusat pada raja, ratu, kaisar, syah, atau sultan. Pemimpin Arab Saudi dipilih berdasarkan garis keturunan pemimpin sebelumnya.
Dalam arti lain, pemimpin Arab Saudi memiliki kekuasaan yang tidak terbatas yang meliputi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Sistem pemerintahan ini akan memungkinkan seorang pemimpin berbuat semena-mena dan masyarakat harus menuruti perintah yang diberikan.
Kasus Jamal Khashoggi sendiri memiliki kaitan dengan petinggi pemerintahan Arab Saudi. Ia dikabarkan menghilang pada 4 Oktober setelah 2 hari sebelumnya didapati memasuki konsulat untuk mengurus dokumen perceraian.
Setelah kabar hilangnya Jamal muncul ke permukaan, pihak Arab Saudi angkat bicara. Pangeran Mahkota Mohammed bin Salman pun mengatakan bahwa Jamal Khashoggi tidak ada di dalam konsulat.
Dari sini mulai muncul perdebatan akan hilangnya Jamal Khashoggi. Banyak yang menganggap bahwa Jamal telah dibunuh oleh petinggi Arab Saudi karena mencoba mengkritik pemerintahan.