Mohon tunggu...
Gabriel Lionel Wito
Gabriel Lionel Wito Mohon Tunggu... Lainnya - pelajar

seorang pelajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Neo-Feodalisme dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia

8 November 2024   17:15 Diperbarui: 10 November 2024   12:41 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika Anda tengah mengendarai kendaraan motor bebek yang nasibnya tak jelas. Tak lama kemudian bertemu dengan polisi, ia berkata, "Bapak mohon maaf ada razia, boleh menunjukan surat-surat berkendaranya?". Mengingat kembali grasak-grusuk yang engkau laksanakan di rumah sebelum pergi dengan motor bututmu itu, kau teringat akan surat berkendara yang tertinggal di teras rumah. Mau tak mau, kau berkata, "Pak mohon maaf saya lupa membawa surat kendaraan." 

"Mau diselesaikan di pengadilan atau di sini Pak?", tanya Polisi. 

"Disini saja Pak.", jawabmu sambil mengeluarkan uang seratus ribu rupiah. 

Transaksi illegal kini menjadi formalitas belaka. Normalisasi sebuah perlakuan haram menjadi perbuatan sehari-hari masyarakat Jakarta. Sujiwo Tejo pernah berkata, "Dosa terbesar orang-orang yang kena operasi tangkap tangan KPK adalah mereka membuat kita semua merasa suci."  Kehadiran media massa yang mempublikasikan korupsi adalah memberikan justifikasi bagi para penonton bahwa mereka lebih baik dibandingkan dengan yang ada di televisi. Sesungguhnya, kita tak jauh berbeda, membiarkan hal-hal kecil "menyelipkan uang di STNK" layaknya itu bukanlah tindakan korupsi. 

Kehadiran kendala receh merupakan pengaruh kehadiran kental akan struktur Neo-Feodalisme di negara Indonesia. Secara singkatnya feodalisme berarti terjadi penguasaan suatu wilayah berdasarkan dengan struktur sosial politiknya, seperti raja. Dalam prosesnya, Feodalisme tidak bisa terhindar dari fenomena Patron-Klien. Seorang Patron atau "penguasa atau pemilik kekuasaan" dan Klien "bawahan atau orang yang disuruh". Seorang Patron akan memberikan Kliennya sebuah wilayah sebagai wujud "menjaga relasi".  Kini, Feodalisme berubah menjadi Neo-Feodalisme, ia hadir dalam wujud seorang polantas yang berperan sebagai pemegang kekuasaan (wilayah lalu lintas) dan warga (pengendara kendaraan bermotor). Layaknya seorang tuan tanah yang meminta bayaran bulanan pada rakyatnya. 

Kekentalan Neo-Feodalisme merupakan sebuah ciri khas tersendiri dari negara Indonesia. Sudah sepantasnya, kita mendapatkan hadiah berupa kehadiran stagnan dalam kemajuan negara. Di mantan-Ibukotanya saja seperti ini, bagaimana di daerah penjuru lain? Terutama mereka yang terpencil? Maraknya Neo-Feodalisme merupakan akibat dari tata pendidikan yang tak terlaksana secara seksama. 

Prinsip demokrasi yang dianut oleh negara Indonesia meyakinkan para pejuangnya, bahwa seluruh masyarakat berada dalam kedudukan yang sama di mata hukum. Pernyataan ini perlu ditekankan kembali. Fenomena "selip-menyelip" merupakan wujud akan kegagalan pemahaman hukum di Indonesia. Mereka yang memegang uang akan menjadi modal yang besar dalam dunia Neo-Feodalisme. Tak mementingkan hukum maupun kesetaraan, uang menjadi modal utama dalam perjuangan seorang Neo-Feodalis. 

Entah Patron, maupun Klien keduanya adalah pejuang Neo-Feodal. Posisi keduanya dapat tertukar secara seksama, tergantung dengan kebutuhan, serta situasi dan kondisi. Dalam konteks "selip menyelip", bisa saja Polantas menjadi seorang Klien karena ia membutuhkan uang. Kehadiran Patron diwujudkan oleh seorang warga yang tengah ditilang karena ia memiliki modal utama (uang) ataupun sebaliknya. Fenomena dan peran Patron-Klien merupakan sebuah posisi yang bersifat adaptif. Status Patron dan Klien bergantung dengan situasi, serta kondisi yang menyertai. Seperti halnya ketika Anda mengidam-idamkan kursi mewah nan megah di Senayan. 

Kursi itu hanya bisa diraih jika Anda menjadi seorang Klien bagi warga. Dalam posisi ini, Anda membutuhkan suara daripada mereka yang tertipu oleh dunia fana. Maka, bagaimana cara memperoleh suara para tertipu adalah dengan cara memberikan sebuah modal utama (uang) kepada sang-Patron, yaitu warga. Tak lama kemudian pelat berwarna hitam berlogo burung Garuda disertai angka romawi menjadi milikmu. 

Apakah bisa Mengubah Neo-Feodalisme? 

Sebuah kacamata perspektif warga kembali kita kenakan. Sebuah cerita terekam kembali, cerita sang--Polisi yang mencoba mencari keuntungan sementara. Bukan hanya cerita jenaka, kehadiran fenomena "selip-menyelip" terekam secara data. Menurut Transparency International (2020), Indonesia meraih peringkat ketiga tertinggi di Asia dibalik India dan Kamboja, dalam suap pelayanan publik Indonesia. Dengan dominasi yang lebih besar 23% oleh pihak polisi dibandingkan pihak lainnya. Sebesar tiga dari sepuluh orang melaksanakan korupsi jika melaksanakan sebuah pelanggaran. Melihat sebuah kenyataan pahit dan meninjau apa yang telah menjadi fakta. Negara Indonesia masih jauh dari kekangan Neo-Feodalisme. 

Mengapa? Mengapa Neo-Feodalisme Sulit untuk Dihilangkan? 

Layaknya Pohon Kayu Raja, fenomena Feodalisme sudah berakar secara terstruktur dan sistematis di negara Indonesia. Tanpa kita sadari, kita hidup dalam pernyataan "organized chaos" atau dalam bahasa Indonesia "kekacauan yang teratur". Secara Sosiologi Indonesia membutuhkan perubahan sosial. 

"Perubahan sosial secara makro adalah perubahan yang bersifat menyeluruh dan menuntut secara general perubahan besar dalam masyarakat." 

Perubahan sosial yang terjadi secara makro, bukan hanya mikro ataupun meso. Perubahan sistem massal yang akan mengantarkan pada non-eksistensi neo-feodalisme di negara Indonesia. Akan tetapi, perlu dipertimbangkan secara mendalam teori fungsionalisme yang dikemukakan oleh Emile Durkheim. Teori yang menyatakan bahwa pada awal dari perubahan makro atau massal, masyarakat akan menghadapi sebuah fenomena instabilitas, tetapi pada akhirnya suatu masyarakat akan mengambil nilai positif dan menemukan stabilitas. 

Rintangan yang Perlu Dihadapi!

Apabila terjadi sebuah perubahan makro, masyarakat Indonesia tidak akan menemukan konformitas dalam stabilitas, melainkan stabilitas dalam deviasi. Sebuah hal yang berbahaya akan menjadi garis percakapan utama dalam dunia ini. Momok-momok segar dan mutakhir menjadi raja-raja, serta mereka yang menciptakan dunia baru akan menjadi semata pion. 

Untuk meninjau kita dapat menganalisis hari esok, jika terjadi sebuah perubahan struktur dalam proses pembuatan SIM di Jakarta. Melaksanakan cleansing pada "oknum-oknum" yang menjadi pengantar utama dalam proses korupsi sederhana akan menghasilkan ketidakhadiran korupsi untuk sementara. Akan tetapi, kita perlu meninjau perspektif mereka yang bergantung pada SIM untuk menghadirkan nasi di piring mereka. Supir truk yang awalnya dengan kehadiran calo hanya perlu menunggu enam sampai tujuh jam, kini mereka harus menunggu hampir delapan belas jam untuk mendapatkan tiket tersebut. Lantas kita patut bertanya, apakah kita perlu melaksanakan perubahan unsur Neo-Feodalisme ini?.

Pada akhirnya, menciptakan sebuah perubahan di dunia yang terbiasa dengan "organized chaos" dan berharap kehadiran teori fungsionalisme mampu mengubah apa yang sudah lumrah merupakan sebuah pernyataan belaka. Proses pengubahan ini hanya akan menghadirkan Post Neo-Feodalisme di negara Indonesia. 

"Mungkin jika kita mengkaji dengan teori Fungsionalisme, Indonesia tengah berada di masa instabilitas untuk menghadirkan stabilitas."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun