Mohon tunggu...
Gabriel Lionel Wito
Gabriel Lionel Wito Mohon Tunggu... Lainnya - pelajar

seorang pelajar Kolese Kanisius

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terdiam Tak Bersuara

20 Mei 2024   23:19 Diperbarui: 21 Mei 2024   00:05 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kini aku terdiam, tak bersuara. Menunggu kedatangan kereta selanjutnya. Merenung sejenak, menghela nafas, dan meresapi atmosfir sekitar. "Peron ini sepi...." kataku, tetapi mereka yang berada disebrang sana, bersaing untuk menerobos lautan. Layaknya sebuah paus diantara samudra  manusia, ia menggangkat tangannya yang cungkring itu, berlambai-lambai sambil berjerit, "Tunggu aku!!".

Pada akhirnya, ia tertinggal. Duduk diantara aspal hitam, bersandar pada pilar lebar berwarna abu. Raut wajahnya seolah jiwa bergantung pada kereta. Karung hitam disamping, 10 kilogram estimasi. Berisi sepatu, sendal, dan segala kebutuhan alas kaki umat manusia. Bermodalkan tulang punggung kekar, ia menggotong karung itu ke tepi rel kereta. Entah apa yang ada di pikirannya, berdiri menunggu kereta selanjutnya.

la terdiam meratapi nasib, tatapan kosong, melihat sepasang tangan yang dekil miliknya itu. Pakaiannya yang sudah lusuh belum diganti selama tiga hari. Keringat, air hujan, dan tangis mengendap menjadi satu. "Apa yang aku inginkan?" tanya hatinya. Ia berpikir dan berpikir. Jawaban ditemukan, baginya hidup ini tak ada artinya. 

"Apa gunanya berdagang sepatu, berjalan kesana kemari, hanya untuk menjadi pandangan belaka." jawab akal.
"Gunanya? Agar kita hidup." balas hati.
"Apa gunanya hidup jika kita menderita, hati?"
"Agar kita hidup." jawab hati dengan tenang.
"Hidup ini tak ada artinya, aku lelah."

Ia memandang jam digital, dua menit lagi kereta sampai, ombak manusia telah bersiap. Yang duduk, berdiri, tetapi ia terdiam. Duduk diantara pandangan belaka. Merenung, berpikir sejenak "Apa arti hidup ini?" tanya akal. Bagi akal, hidup ini sudah tak layak dijalani. Bangun pukul tiga pagi, pulang pukul enam sore, hujan, panas, ia dobrak.

Tubuh cungkring ini sudah tak kuat, menggotong karung sepuluh kilogram berisi alas kaki. Seolah-olah ada orang yang peduli. Mereka hanya memberinya pandangan belaka, tidak sepatah kata diberikan. 

Ia berdiri. Kereta menyuarakan loncengnya. Bertaruh nyawa, melemparkan dirinya pada rel kereta api. Tergilis layaknya mentega. 

Kini ia terdiam, tak bersuara.

Oleh: G.L. Wito

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun