Bola lagi, bola lagi. Rasanya tiada hari tanpa bola. Terutama jika terkait Tim Nasional Indonesia yang sekarang sedang berebut tiket untuk ke Piala Dunia 2026. Semua orang membicarakan tentang overachievement yang dilakukan oleh Shin Tae Yong yang membuat Indonesia bisa bertengger di peringkat 3 klasemen sementara, terpaut satu angka dengan Australia yang ada di peringkat 2. Ini berarti, untuk pertama kalinya dengan nama Indonesia, Timnas Garuda berpeluang besar lolos langsung ke Piala Dunia.
Harapan membumbung tinggi bahwa di bawah arahan Shin Tae Yong, Indonesia akan menjadi negara Asia Tenggara pertama yang tampil di pentas sepak bola dunia. Namun pada tanggal 06 Januari 2025 lalu, secara mengejutkan PSSI memutuskan untuk mengakhiri kontrak Shin Tae Yong. Hal ini tentu langsung menghebohkan publik terutama para pecinta sepak bola di Indonesia. Dan tepat dua hari setelahnya, PSSI mengumumkan sosok baru pengganti Shin Tae Yong yaitu Patrick Kluivert.
Sebagai pemain Football Manager, sebuah game yang berfokus pada manajemen tim sepak bola mulai dari negosiasi harga dan transfer pemain, membuat taktik untuk bermain, hingga bagian kecil namun berpengaruh besar seperti keuangan finansial sebuah tim. Pemecatan pelatih di tengah musim bukanlah hal yang asing bagi saya. Bahkan hingga hal aneh seperti pemecatan seorang Pep Guardiola oleh Manchester City pun sudah pernah saya lalui. Pergantian pelatih seperti ini dapat mempengaruhi tactical familiarity tim, faktor penting dalam permainan beregu.
Dampak Pergantian Taktik
Familiaritas taktik berperan besar dalam meraih kemenangan. Misalnya, Manchester United di bawah Erik ten Hag menggunakan formasi 4-2-3-1. Setelah Erik ten Hag digantikan Ruben Amorim, formasi berubah drastis menjadi 3-4-3. Adaptasi terhadap perubahan ini sulit karena rendahnya tactical familiarity.
Di dalam game Football Manager sendiri, tactical familiarity dibagi menjadi 8 bagian yaitu: Mentality, Passing Style, Creative Freedom, Trigger Press, Marking, Tempo, Width, dan Position/Role/Duty. Semua bagian ini juga memiliki 5 tingkatan yaitu: Ineffectual, Awkward, Unconvincing, Competent, dan Accomplished.
Saya akan bercerita tentang saya yang kala itu resign dari klub yang saya latih dan pergi ke klub lain. Klub baru yang saya tukangi itu biasa menggunakan formasi 5-3-2, sedangkan saya lebih menyukai formasi 4-3-3. Implementasi taktik baru saya menyebabkan tactical familiarity pemain anjlok, dengan sebagian besar berada di level awkward dan unconvincing.
Hal yang saya alami ini kemungkinan bisa terjadi pada Timnas Indonesia. Shin Tae Yong biasa memakai formasi 5-3-2 atau 3-5-2. Sedangkan Patrick Kluivert, dilansir dari situs Transfermarkt dan game Football Manager, biasa menggunakan formasi 4-2-3-1. Dua hal yang sangat berbeda di mana formasi 5-3-2 cenderung defensif, sedangkan formasi 4-2-3-1 cenderung berfokus pada serangan dan penciptaan peluang. Pergantian taktik ini berpotensi mengganggu keseimbangan tim.
Harapan dan Tantangan Baru
Ekspektasi terhadap Kluivert sangat tinggi. Apakah dia mampu mengimplementasikan filosofi permainannya dan membawa Indonesia ke Piala Dunia? Itu patut ditunggu. Melihat rekam jejak Shin Tae Yong yang sukses mengangkat peringkat FIFA Indonesia dari 173 ke 127, bahkan mengalahkan Arab Saudi yang notabene langganan Piala Dunia, wajar jika harapan publik tinggi terhadap pelatih baru ini.
Dengan jadwal kualifikasi yang semakin dekat dan waktu adaptasi yang singkat, tantangan besar menanti Kluivert. Kehadiran dua asisten pelatih baru, Alex Pastoor dan Danny Landzaat, diharapkan memberikan angin segar bagi Timnas. Yang jelas perjalanan menuju panggung Piala Dunia masih panjang. Tetapi satu hal pasti: harapan dan dukungan penuh dari publik akan terus mengiringi langkah Timnas Garuda. Kita semua menantikan apakah era baru ini akan membawa kejayaan baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H