Mohon tunggu...
Gabriella Mercy
Gabriella Mercy Mohon Tunggu... Freelancer - Kumpulan Opini

Be yourself through your opinion

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ojo Ilang Yo, Cah!

10 November 2020   09:11 Diperbarui: 10 November 2020   09:30 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak-anak adalah generasi penerus bangsa. Mendidik dan menjaga mereka dengan benar adalah tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat. Peran terbesar terutama dipegang oleh orang tua dan guru. 

Mengapa? orang tua dan guru merupakan pihak yang paling sering bersentuhan langsung dengan kehidupan anak-anak. 

Seperti yang kita tahu, anak-anak meniru apa yang dilakukan oleh orang-orang dewasa di sekitar mereka.  Ketika orang dewasa disekitarnya berlaku sopan, anak juga akan menjadi pribadi yang sopan. 

Sebaliknya, jika orang dewasa di sekitar mereka suka membentak, kemungkinan besar anak akan terbentuk menjadi pribadi yang suka membentak. 

Fenomena itu juga yang terjadi dalam pola konsumsi media yang dilakukan oleh anak-anak. Kebanyakan anak memang belum memiliki gadget pribadi dan mereka biasanya ikut melihat konten media yang dikonsumsi oleh orang dewasa di sekitar mereka. 

Perilaku ini disebabkan oleh besarnya keingintahuan yang dimiliki oleh anak-anak tentang apa yang dilihat orang dewasa di sekitar mereka melalui gadget. 

Otomatis nilai budaya yang dikonsumsi oleh orang dewasa juga ikut dikonsumsi oleh anak-anak. Padahal, tidak semua konten di media layak untuk dikonsumsi anak-anak. 

Berbicara tentang budaya, tentu akan erat kaitannya dengan bahasa dan gaya hidup.  Nilai-nilai budaya diwariskan oleh orang tua kepada anak-anak salah satunya melalui bahasa yang mereka gunakan dalam kegiatan sehari-hari di rumah. 

Seringkali Saya menemukan banyak orang tua cenderung senang jika anak-anak fasih berbahasa asing (umumnya bahasa inggris) sebagai bahasa sehari-hari. 

Sayangnya, di saat yang sama orang tua tidak sadar bahwa anak-anak mulai tidak fasih berbahasa Indonesia (bahasa ibu). Beberapa anak bahkan tidak mampu berbicara dengan bahasa daerah yang digunakan di daerah tempat tinggalnya.

Imperialisme budaya merupakan fenomena yang tidak dapat dihindari. Hal ini berbicara tentang bagaimana media asing (terutama negara barat) berusaha menguasai media secara global. Penguasaan ini tidak hanya berbicara tentang konten, tetapi juga sampai sarana prasarana bahkan tenaga ahli yang digunakan untuk mengelola media. 

Dalam buku Communication and Cultural Domination (1976), Herbert Schiller menyatakan bahwa fenomena-fenomena yang terjadi dan memungkinkan bagi perusahaan ataupun media untuk menjadikan cara bagi Negara-negara maju untuk mendominasi Negara-negara berkembang. 

Pernyataan ini senada dengan apa yang disampaikan oleh  White (2000 dalam Rumyeni 2012), yang menyatakan bahwa asumsi lain dari imperialisme budaya adalah bahwa media memainkan peranan utama dalam menciptakan budaya.

Penguasaan negara maju terhadap negara berkembang terbukti melalui beberapa fenomena seperti westernisasi dan korean wave. Kedua fenomena ini ada sebagai hasil perkembangan dari budaya lokal yang telah bertransformasi menjadi budaya global. 

Budaya barat dan budaya korea pada awalnya merupakan budaya lokal, yang kemudian disebarluaskan sehingga dapat diadaptasi oleh berbagai kalangan masyarakat di seluruh dunia. 

Penyebaran budaya itu saat ini dilakukan melalui  media sosial seperti Instagram dan TikTok. Dalam perspektif teori ini, ketika terjadi proses peniruan media negara berkembang dari negara maju, saat itulah terjadi penghancuran budaya asli di negara ketiga (Ardian, 2017).

Jika kita lihat anak-anak kita hari ini, inilah yang mereka alami. Bagaimana anak-anak sangat hafal dan bahkan bangga dengan budaya luar tetapi dengan budaya di daerahnya sendiri saja mereka tidak tahu bahkan malas untuk mencari tahu karena takut dianggap kuno. Inilah yang harus menjadi pekerjaan rumah dan bahan refleksi kita bersama. 

Globalisasi dan imperialisme budaya memang tidak dapat terhindarkan, terlebih dalam masa pandemi COVID-19 yang membuat kita harus melakukan segala sesuatu secara daring. 

Satu hal yang perlu kita lakukan, memastikan benar bahwa konten ataupun public figure yang diikuti oleh anak-anak sesuai dengan kebudayaan Indonesia dan paling utama disesuaikan dengan usia mereka. 

Jangan sampai kemajuan teknologi ini membuat kita kehilangan anak-anak Indonesia, sebuah generasi yang diharapkan dapat meneruskan kebudayaan yang ada atau dalam istilah bahasa Jawa "nguri-uri kabudayan" di Indonesia. Sebagai penutup, ada sebuah pepatah jawa yang dapat mengingatkan kita semua, khususnya bagi generasi muda dan anak-anak Indonesia:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun