Mohon tunggu...
Hukum

Apakah Indonesia Sudah Menjamin Para Korban Seksual Secara Hukum?

1 Desember 2018   00:46 Diperbarui: 1 Desember 2018   00:49 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada beberapa pekan lalu ada sebuah petisi yang beredar melalui situs change.org. Petisi tersebut berisi survey yang digalakkan oleh Hannah Al Rashid, aktris Indonesia, yang berbicara mengenai kekerasan seksual yang pernah ia alami ketika sedang berjalan pulang ke kosnya. Partisipasi masyarakat dalam survey tersebut nantinya akan diserahkan dan didiskusikan dengan pemerintah sehingga dengan adanya bukti konkrit maka pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual semakin cepat pula.

Mengutip dari http://business-law.binus.ac.id yang ditulis oleh Erna Ratnaningsih pada Maret 2018, hukum mengenai pelecehan seksual terdapat pula dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Bab XVI Buku II dengan titel Kejahatan terhadap kesusilaan, tetapi termasuk dalam hal pencabulan. Tindakan yang dianggap sebagai kekerasan dalam KUHP antara lain : merusak kesusilaan di depan umum (Pasal 281,283, 283 Bis); perzinahan (Pasal 284); perkosaan (Pasal 285); pembunuhan (Pasal 338); pencabulan (Pasal 289, 290,292, 293 (1), 294, 295 (1). Hanya saja apa yang ditulish dalam KUHP terkesan rancu dan memiliki tendensi untuk mengaburkan persoalan mendasar dari kejahatan seksual yang berarti kejahatan seksual hanya dianggap sebagai kejahatan atas kemanusiaan. Nilai yang digunakan cenderung mendiskriminasi perempuan sehingga sulit untuk membuktikan penegakan hukum kasus pelecehan seksual karena menggunakan aturan yang ada di KUHP. Hal tersebut akan merugikan korban yang mengalami kekerasan seksual, terutama perempuan karena kasus tidak ditangani secara khusus karena KUHP hanya mengatur tindak pidana yang bersifat umum.

Lalu, apakah Indonesia sudah menjamin penangana kasus para korban pelecehan seksual?

Berdasarkan berita yang ditulis di situs http://medan.tribunnews.com pada Kamis (29/11/2018), DPR lambat dalam membahas Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Pembahasan RUU PKS sejak Februari 2017 sebagai RUU inisiatif sampai sekarang belum juga disahkan. Banyak orang sudah mendesak agar DPR segera mengesahkan RUU PKS antara lain Lely Zailani dari Jaringan Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Mariana Amiruddin dari Komnas Perempuan, Siti Mazuma dari LBH APIK Jakarta, Hannah Al Rashid, dan juga masyarakat. Mariana Amiruddin juga menyoroti lambatnya pembahasan RUU PKS oleh DPR. Mariana membeberkan bahwa hingga akhir 2017 terdapat 65 kasus kekerasan perempuan di dunia maya yang dilaporkan ke Unit Pengaduan untuk Rujukan Komas Perempuan. Kasus tersebut juga termasuk dalam kejahatan cyber yang juga tak bisa dipandang sebelah. Semenatara direktur LBH APIK Jakarta, Siti Mazuma, membeberkan bahwa kasus kekerasan seksual ada 39 kasus, terutama kasus yang sedang marak dibincangkan yaitu kasus Baiq Nuril dan kasus pelecahan mahasiswa saat KKN sehingga dengan tingginya kasus yang terjadi mendorong DPR untuk mengesahkan RUU PKS sesegera mungkin.

Lely Zailani mengungkapkan bahwa sejak tahun 2014 Indonesia sudah darurat kekerasan seksual. Pada tahun 2014 terdapat 4.475 kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak perempuan, pada tahun 2015 bertambah menjadi 6.499 kasus, di tahun  2016 sempat menurun menjadi 5.787 kasus. Infografis milik Komnas Perempuan menunjukkan angka kekerasan seksual pertahun sejak tahun 2013 hingga 2017; pada tahun 2013 angka kekerasan sebanyak 279.688, bertambah di 2014 menjadi 293.220, bertambah lagi di 2015 menjadi 321.752, sempat menurun di tahun 2016 menjadi 259.150, dan kembali meningkat lagi pada tahun 2017 sebanyak 348.446. Dalam ranah KDRT atau relasi personal sebanyak 40% kekerasan secara fisik, 29% seksual, 22% psikis, 9% ekonomi. Sementara dalam ranah komunitas yang paling banyak adalah seksual sebanyak 64%, diikuti fisik sebanyak 20%, lalu trafficking 8%, kemudian psikis 4%, kemudian migran sebanyak 2%, dan yang terakhir ekonomi dan lain-lain sebanyak 1% masing-masingnya.

Melihat tingginya kasus kekerasan, terutama seksual, yang terjadi sejak tahun 2013 hingga 2017 dan lambatnya pembahasan dan pengesahan RUU PKS oleh Komisi VIII DPR dapat mengakibatkan dibatalkannya pengesahan RUU PKS yang diupayakan sejak 2015 dimulai lagi dari 0 dan menjadi sia-sia. Kelambanan proses pembahasan dan pengesahan RUU PKS juga menunjukkan bukti bahwa masih ada minimnya atensi, keseriusan, dan pemahaman mengenai RUU PKS oleh para pembuat kebijakan. Hal ini di lain hari akan menghambat adanya UU Penghapusan Kekerasan Seksual yang dibutuhkan dan ditunggu-tunggu oleh masyarakat, terutama bagi mereka yang sudah berusaha mengupayakan adanya UU PKS.

 Dengan tidak adanya undang-undang yang dapat melindungi korban, maka keadilan tidak dapat ditegakkan dan upaya dalam mencegah adanya pelanggaran HAM dapat berjalan lambat. Bukti konkrit dari lambatnya penanganan kasus kekerasan/pelecehan seksual adalah kasus pelecehan mahasiswa saat sedang KKN. Pada awalnya kasus tersebut tidak ditangani secara serius, namun ketika masalah menjadi besar hingga viral, pihak-pihak berwajib baru mau menangani secara serius. 

Kemudian bukti konkritnya keadilan yang tidak dapat ditegakkan adalah kasus dari Baiq Nuril yang melaporkan percakapan telfon mesum dari Muslim, kepala sekolah tempat ia menjadi guru honorer, dan malah dijatuhi hukuman dengan vonis 6 bulan karena dianggap menyebarkan percakapan mesum Muslim, sementara itu Muslim mendapatkan promosi jabatan di Dispora Mataram. Setelah mendapat vonis bebas dari Pengadilan Negeri Mataram, Nuril kembali divonis bersalah dan dihukum 6 bulan penjara serta denda Rp 500 juta.

Pentingnya Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual adalah memberi lebih banyak manfaat bagi para korban kekerasan seksual. Dalam Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual, korban menjadi subjek hukum dan harus mendapatkan manfaat dari apa yang ia laporkan. RUU PKS mencakup pencegahan, pemenuhan hak korban, pemulihan korban, hingga mengatur mengenai penanganan selama proses hukum. RUU PKS ini nanti akan dijadikan UU khusus atau lex specialis. Sistem peradilan nantinya akan mirip seperti peradilan anak yaitu korban boleh memilih untuk menemui pelaku atau tidak. Selain itu, aka nada ruangan khusus bagi korban selama persidangan dan para penegak hukum yang menangani kasus hanya orang yang terlatih menghadapi korban kekerasan seksual. 

RUU PKS ini juga mengatur mengenai peran masyarakat dalam pengaduan dan layanan terpadu oleh masyarakat atau komunitas setempat. Nantinya RT atau RW dapat berbuat apa saja saat mendapat laporan, mereka bisa memilih untuk mengamankan korban terlebih dahulu, sehingga salam RUU ini komunitas juga ikut bergerak. Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual ini juga mengatur mengenai sanksi bagi pelaku kekerasan seksual, misalnya pelaku dibebankan membayar restitusi untuk korban. Restitusi ini dimaksudkan sebagai tanggung jawab pelaku dalam membiayai pemulihan korban sehingga bukan sebagai ganti rugi apa yang telah dialami oleh korban. Menurut Veny Octarini Siregar, Direktur LBH APIK, RUU PKS mengarah pada hukum restoratif sehingga korban punya hak dalam proses hukum yang ia lakukan, pemulihan merupakan bagian pelayanan untuk korban.

Pada masa ini sudah seharusnya kita membuka mata kita dan melihat sekeliling kita. Kekerasan pada perempuan dan laki-laki, terutama secara seksual dan fisik serta psikis, ada di mana-mana di sekitar kita. Partisipasi masyarakat dalam mendukung adanya Rancangan Undang-undang  Penghapusan Kekerasan Seksual dapat memberikan pengaruh yang berarti bagi kemajuan peradilan di Indonesia. Partisipasi kita dapat berupa mengedukasi diri kita sendiri dengan pemahaman mengenai pentingnya RUU PKS bagi negeri kita yang sudah darurat kekerasan seksual.

Referensi :

http://medan.tribunnews.com/2018/11/29/dpr-lambat-bahas-ruu-penghapusan-kekerasan-seksual

https://news.detik.com/berita/4319832/dpr-diminta-segera-sahkan-ruu-penghapusan-kekerasan-seksual

https://nasional.kompas.com/read/2018/11/19/12242611/respons-kasus-baiq-nuril-dpr-akan-kebut-ruu-penghapusan-kekerasan-seksual

https://nasional.kompas.com/read/2017/11/24/17393651/apa-saja-yang-diatur-dalam-ruu-penghapusan-kekerasan-seksual

http://business-law.binus.ac.id/2018/03/14/pengaturan-pelecehan-seksual-di-indonesia-dalam-perspektif-ius-constitutum-dan-ius-contituendum/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun