Mohon tunggu...
Gabriella Igari
Gabriella Igari Mohon Tunggu... Perawat - Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan

Saya adalah Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan di Universitas Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perjuangan Relawan Perawat di Daerah Konflik

19 Mei 2020   00:01 Diperbarui: 19 Mei 2020   02:39 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Bekerja sebagai seorang perawat tidaklah pernah mudah, kita harus menghadapi pasien dan keluhan mereka setiap hari di tempat kita bekerja. Lalu bagaimana dengan mereka yang menjadi relawan di daerah konflik Apakah mereka juga lelah? Apakah beban mereka sama dengan perawat yang melayani masyarakat umum di tempat yang terhitung aman, damai dan sejahtera? Jawaban dari pertanyaan pertama, ya, tentu saja mereka lelah, sedangkan untuk beban mereka menurut saya pun memang lebih berat. Perawat relawan di daerah konflik tidak serta merta datang lalu menolong korban begitu saja. Mereka dilindungi oleh peraturan dan persetujuan aturan konflik bersenjata maupun tidak yang dibuat oleh persetujuan beberapa organisasi dunia atau internasional seperti UN (United Nation), WHO (World Health Organization), FIP (International Pharmaceutical Federations), WMA (World Medical Association), ICMM (International Committee of Military Medicine), ICRC (International Committee of the Red Cross), dan ICN (International Council of Nurses), dan sebagainya. 

Seperti perjanjian konvensi jenewa pada tahun 1949 pasal 5 bagian 20 mengenai perlindungan tenaga kesehatan, disana disebutkan bahwa Seseorang yang secara teratur dan hanya berkecimpung dalam operasi dan administrasi rumah sakit Umum Termasuk personil yang terlibat dalam pencarian pemindahan Dan transportasi serta perawatan bagi warga sipil yang terluka dan sakit Serta orang cacat dan ibu hamil harus dihormati dan dihargai serta dilindungi (United Nations, 1949). Di wilayah yang terjadi konflik atau diduduki dan di wilayah operasi militer, tenaga kesehatan an an an akan dikenali dengan menggunakan kartu identitas untuk memastikan status mereka membawa foto bertempelkan cap otoritas yang bertanggung jawab. Tenaga kesehatan akan menggunakan gelang lengan kedap air di lengan kiri selama menjalankan tugasnya. Gelang ini akan dikeluarkan oleh negara yang bersangkutan dan akan memiliki lambang tersendiri yang diatur dalam pasal 38 Konvensi Jenewa untuk perbaikan kondisi orang terluka dan sakit di Angkatan Bersenjata 12 Agustus 1949 (United Nations, 1949).

Tidak hanya Konvensi Jenewa yang mengatur tentang perlindungan tenaga kesehatan di daerah konflik, World Medical Association (WMA), International Committee of Military Medicine (ICMM), International Council of Nurses (ICN) dan the International Pharmaceutical Federation (FIP) dikonsultasikan oleh ICRC dengan tujuan bahwa seluruh organisasi pada perjanjian kali ini setuju dengan prinsip etik atau kode etik tenaga kesehatan yang sama dapat digunakan pada masa konflik bersenjata dan pada keadaan darurat lainnya (World Health Organization (WHO), 2016). Aturan ini dibuat berdasarkan standar hukum humaniter internasional, khususnya Konvensi Jenewa tahun 1949 dan Protokol Tambahan tahun 1977, hukum hak asasi manusia internasional, khususnya Deklarasi Hak Asasi Manusia Internasional (1948) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (1966) serta mempertimbangkan prinsip-prinsip etika profesi yang diadopsi oleh asosiasi profesi kesehatan, termasuk Peraturan WMA di masa Konflik Bersenjata dan Situasi Kekerasan Lainnya. Prinsip etik berisi diantaranya (World Health Organization (WHO), 2016):

Prinsip Umum

Nomor 3 berisikan “Tugas utama personil layanan kesehatan adalah menjaga kesehatan fisik dan mental manusia dan untuk meringankan penderitaan. Mereka harus memberikan perhatian yang diperlukan dengan kemanusiaan, sambil menghormati martabat dari orang yang bersangkutan, tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, baik dalam masa damai atau bersenjata konflik atau keadaan darurat lainnya.”

Perlindungan Personil Tenaga Kesehatan

Nomor 10 berbunyi “Tenaga perawatan kesehatan, serta fasilitas perawatan kesehatan dan transportasi medis, baik militer maupun warga sipil, harus dihormati oleh semua. Mereka terlindungi saat melakukan tugasnya dan yang paling aman kemungkinan lingkungan kerja harus disediakan bagi mereka.”

Nomor 13 berbunyi “Tenaga kesehatan tidak akan pernah dihukum karena melaksanakan tugasnya sesuai dengan hukum dan norma etika”

Peraturan-peraturan ini dibuat tentu saja untuk melindungi personil tenaga kesehatan dari serangan kelompok atau negara yang terlibat dalam konflik. Namun pada kenyataannya ada kelompok perlawanan non-negara yang tidak menyetujui perjanjian-perjanjian dan aturan yang telah ditetapkan sehingga menimbulkan tenaga kesehatan menjadi korban atas konflik yang terjadi. ICRC mencatat 2.398 insiden kekerasan terhadap pelayanan kesehatan di 11 negara yang dipilih dari awal Januari 2012 hingga akhir Desember 2014. Menurut hasil yang diperoleh secara total, setidaknya 4.275 orang menjadi korban kekerasan terhadap pelayanan kesehatan dalam 4.770 aksi atau ancaman kekerasan. Lalu, 728 transportasi medis terkena dampak dari 785 tindakan atau ancaman kekerasan. Selain itu, ditemukan bahwa 1.222 insiden terjadi terhadap, di dalam atau di sekitar perimeter fasilitas pelayanan kesehatan (Marica Tamanini (ICRC HCiD), 2015). 

Data terbaru yang disusun oleh Koalisi Perlindungan Kesehatan dalam Konflik pada tahun 2018 mendokumentasikan sebanyak total 973 serangan yang berhubungan dengan kesehatan di 23 negara dalam konflik. Setidaknya 167 pekerja tewas dalam serangan di 17 negara, dan setidaknya 710 terluka.pada keseluruhannya terjadi 973 total serangan terhadap pelayanan kesehatan, 167 tenaga kesehatan terbunuh, 710 tenaga kesehatan terluka, 173 fasilitas kesehatan rusak atau hancur, dan 111 transportasi kesehatan rusak atau hancur. Namun, ICRC ragu apakah apakah angka yang lebih tinggi ini dapat menunjukkan jumlah serangan yang lebih besar pada tahun 2018 dibandingkan tahun 2017 atau terdapatnya peningkatan mekanisme pelaporan, mengingat penerapan Sistem Surveilans Serangan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang Surveillance System of Attacks on Healthcare (SSA). 

ICRC memasukkan data enam dari delapan negara dan wilayah yang dilaporkan WHO saat ini. Kemungkinan jumlah serangan yang sebenarnya bahkan lebih tinggi daripada yang dilaporkan secara keseluruhan. Laporan ini mendokumentasikan serangan terhadap pekerja vaksinasi, paramedis, perawat, dokter, bidan, pasien, relawan masyarakat, dan pengemudi dan penjaga, yang merupakan korban pelanggaran hak asasi manusia yang sudah berjalan lama dan norma hukum humaniter untuk melindungi dan menghargai tenaga kesehatan pada daerah konflik (Safeguarding Health in Conflict Coalition, 2019).

Tidak sedikit perawat di luar sana yang memiliki jiwa kemanusiaan tinggi dan menerapkan konsep caring di dalam kehidupan pribadi maupun profesional. Lihat saja Louisa Akavi adalah seorang perawat yang lahir di Rarotonga di pulau Cook, Selandia Baru. Louisa menyelesaikan pelatihan keperawatannya pada tahun 1977 dan langsung bekerja di rumah sakit di Selandia Baru, Inggris dan Skotlandia. Pada tahun 1988 Louisa menjalankan misi palang merah pertamanya, merawat Vietnamese boat people atau warga pengungsi perang Vietnam di Malaysia (Callimachi & Goldman, 2019). Selanjutnya Akavi melanjutkan tugasnya menuju Bosnia. Dia memberitahu Kapiti Observer pada tahun 2010, saat itu ia berkendara menuju kota Tuzla yang sedang berada di bawah pengeboman, ia melihat juga pria, wanita, dan anak-anak berlari menuju ke arah dia datang. Di Chechnya, Desember 1996, Akavi selamat dari pertemuan dengan maut. Pria bersenjata dengan senjata terbungkam memasuki rumah sakit dimana ia dan tenaga kesehatan ICRC lainnya sedang tertidur. Akavi selamat, sedangkan 6 rekannya tidak. Tiga tahun setelahnya pada 1999 Akavi menerima penghargaan Florence Nightingale. 

Akavi melanjutkan misinya di Ethiopia, lalu pergi ke Iran pada tahun 2003 dengan perlindungan penjaga bersenjata, mengisi stok suplai medis dan berkeliling di bawah penjagaan ketat. Pada tahun 2013 Akavi terdaftar bekerja di Damaskus, Syiria. Pada 10 Oktober ia bersama tim pergi ke Barat Laut Siria untuk mengantarkan persediaan medis. Pada 13 oktober Akavi dan timnya kembali ke Damascus, namun tim nya diserang dan ditahan. Akavi dan 5 staf palang merah lainnya diculik oleh kelompok bersenjata tersebut. Semenjak itu Akavi tidak pernah terlihat lagi atau muncul kembali ke Damascus. Terdapat beberapa rumor bahwa Akavi masih hidup beserta tawanan yang lain dan memang terbukti, namun kabarnya belum terdengar lagi sampai sekarang sehingga Akavi belum ditemukan. Pada tahun 2010 Akavi memberitahu Kapiti Observer “Seiring berjalannya waktu memang sedikit menjadi lebih sulit (tugasnya sebagai relawan). 

Bekerja dengan staf nasional yang melakukan semua yang mereka bisa. Aku tidak tahu kenapa aku masih melakukannya. Itu (tugas sebagai relawan) merupakan hal yang dapat kulakukan dengan baik. Aku tau aku bisa membuat perubahan, perubahan kecil.” (Fisher, 2019). Dengan perbuatan dan perkataannya tidak diragukan lagi bahwa Akavi, merupakan perawat yang menerapkan sikap caring. Dengan melakukan tugas relawan di daerah perang dan masih bertahan hidup sampai sekarang, berarti Akavi telah menerapkan seluruh nilai profesionalisme keperawatan yaitu altruisme, Otonomi, Martabat Manusia, Integritas, Keadilan Sosial, Keindahan, dan Kebenaran (Berman et al, 2016) pada setiap tugas yang dijalaninya.

Dalam menangani kengerian yang terjadi sebaiknya seluruh pihak yang bersangkutan dengan konflik untuk mematuhi hukum humaniter dan hak asasi manusia mengenai penghormatan dan perlindungan pelayanan kesehatan yang berlaku. Pastikan juga bahwa resolusi Dewan Keamanan PBB (Persatuan Bangsa-bangsa) 2286 yaitu “melakukan investigasi yang cepat, efektif, penuh dan tidak memihak” kepada penyerangan dan segala bentuk gangguan yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan terimplementasi penuh. 

World Health Organization harus melanjutkan perkembangan SSA mengenai pelayanan kesehatan, lalu menjangkau mitra potensial seperti NGOs untuk memastikan sistem nya menangkap seluruh serangan yang terjadi, dan menyediakan informasi untuk menjelaskan dasar dari peristiwa penyerangan yang terjadi serta mengambil langkah saat pelaku dikenali. Untuk kelompok bersenjata tanpa negara atau non-state armed groups, harus menandatangani Geneva Call Deed tentang perlindungan tenaga kesehatan atau pelayanan kesehatan, pemantauan aktivitas, dan akuntabilitas, sebagaimana yang tertera pada pakta (Safeguarding Health in Conflict Coalition, 2019). 

Dalam menanggapi dan mengatasi hak perawat yang sudah tercemar, ICN telah berusaha semaksimal mungkin untuk melindungi para perawat di daerah konflik, misalnya pada Mei 2016 ICN menandatangani pernyataan gabungan oleh anggota Health Care in Danger, menyerukan kepada dewan keamanan PBB untuk mengadopsi resolusi yang melindungi tenaga kesehatan dan menegaskan hukum-hukum kemanusian yang berlaku. ICN juga bersama WMA mengutuk keberlanjutan tindakan kekerasan terhadap tenaga kesehatan (International Council of Nurses, 2016). 

Menurut saya yang dilakukan ICN untuk melindungi perawat sudah sangat baik dan terus berkelanjutan dalam menanggapi data yang dikeluarkan ICRC serta mendesak yang berwenang agar menegaskan kembali hukum yang berlaku. Saya berharap calon perawat maupun perawat Indonesia sadar akan keberadaan rekan sejawat yang berada di daerah konflik dan turut berpartisipasi dalam mendukung maupun ikut berjuang bersama ICN serta UN dalam menegakan hukum di daerah konflik.

Referensi:

 Callimachi, R., & Goldman, A. (2019). ISIS Kidnapped Her 5 Years Ago. The Red Cross Thinks She May Still Be Alive. - The New York Times. p. 1. Retrieved from https://www.nytimes.com/2019/04/14/world/middleeast/isis-aid-worker.html

Fisher, D. (2019, April 15). How New Zealand nurse Louisa Akavi was secretly held hostage by ISIS for almost six years - NZ Herald. Retrieved from https://www.nzherald.co.nz/nz/news/article.cfm?c_id=1&objectid=12222348

Marica Tamanini (ICRC HCiD). (2015). VIOLENT INCIDENTS AFFECTING THE DELIVERY OF HEALTH CARE Jan 2012-Dec2014. Third Interim Report for HCiD, (January 2012). Retrieved from www.icrc.org

Safeguarding Health in Conflict Coalition. (2019). 2018 IMPUNITY REMAINS : Attacks on Health Care in 23 Countries in Conflict. 1–66. Retrieved from https://www.safeguardinghealth.org/sites/shcc/files/SHCC2019final.pdf

United Nations. (1949). Geneva Convention Relative To the Protection of Civilian Persons. (August), 163–228.

World Health Organization (WHO). (2016). Ethical Principles of Health Care in Times of Armed Conflict. (Icmm), 5–6.

 Berman, A., Synder, S., & Geralyn, F. (2016). Kozier & Erb's Fundamentals Of Nursing Concepts, Process, and Practice .10th Edition. USA: Pearson Education.

International Council of Nurses and World Medical Association. (2016). Physician and Nursing Leaders condemn Syrian Attacks on Health Personnel. Geneva.

International Council of Nurses and Health Care in Danger Initiative. (2016). Everyone, wounded or sick during an armed conflict, has the right to health care.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun