Mohon tunggu...
Gabriella Devi Benedicta
Gabriella Devi Benedicta Mohon Tunggu... -

Peneliti di Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI. Tertarik dan aktif menyuarakan isu seksualitas dan kesehatan reproduksi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dilema Visibilitas Trans Laki-laki Muda di Dunia Kerja

11 Juli 2017   16:22 Diperbarui: 12 Juli 2017   14:19 1100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diskursus mengenai isu seks, tubuh dan gender di dunia kerja semakin berkembang dan kompleks dari waktu ke waktu. Persoalan berkembang dari ketidaksetaraan antara perempuan (cisfemale) dan laki-laki (cismale)[1] yang bersifat biner, melainkan juga melibatkan juga representasi identitas lainnya, yaitu kelompok homoseksual dan transgender[2]. Di Indonesia kita mengenal dua kategorisasi transgender, yaitu waria dan trans laki-laki[3]. Dibandingkan dengan trans laki-laki, di Indonesia waria dianggap lebih dominan dalam menunjukan visibilitasnya. Tidak jarang, waria mengalami berbagai persoalan dalam dunia kerja terkait identitas dan ekspresi gender mereka. Waria, dalam hal ini mendapat diskriminasi dalam mencari pekerjaan, terutama dalam sektor formal seperti dalam pekerjaan seperti mengajar, perbankan bahkan salon menengah atas yang dianggap 'aman' untuk mereka.[4]

Tidak berbeda dengan waria, trans laki-laki mengalami berbagai dilema dan persoalan terkait identitas gender baru yang dibentuknya dalam dunia kerja. Memilih untuk menjadi 'berbeda' sebagai konsekuensi atas transisi fisik/medis maupun sosial[5] yang dilakukan berdampak terhadap pilihan kerja trans laki-laki. Melalui wawancara mendalam yang dilakukan terhadap enam informan kunci trans laki-laki muda usia 18-24 tahun di wilayah Jakarta dan Bekasi, penulis mencoba mengidentifikasi dan menemukenali berbagai persoalan terkait visibilitas trans laki-laki muda di dunia kerja. Usia 18-24 tahun dipilih oleh penulis karena di usia tersebut trans laki-laki pada umumnya memulai untuk melakukan transisi baik sosial maupun fisik. Usia tersebut juga menjadi usia transisi masa sekolah dan kuliah menuju masa kerja. Berbagai persoalan dapat muncul terkait dengan identitas baru yang dipilih sebagai seorang trans laki-laki ketika mereka memasuki dunia kerja yang memiliki mekanisme dan aturan tersendiri.

Dunia Kerja dan Standar Ganda terhadap LGBT

Dalam pasal 5 UU Republik Indonesia nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, diatur hak bagi bagi setiap tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan dengan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi. Pasal 32 dalam UU tersebut juga mengatur dengan jelas mengenai penempatan tenaga kerja yang dilaksanan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi. Dalam penjelasan pasal-pasalnya, kata diskriminasi dalam UU ini didasarkan pada Konvensi ILO No. 100, dan No. 111.  Dalam Konvensi ILO nomor 111 tahun 1958 dengan jelas disebutkan larangan diskriminasi terhadap jabatan dan pekerjaan (artinya setiap pembedaan, pengabaian atau preferensi ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, aliran politik, pencabutan kewarganegaraan atau asal muasal yang mengakibatkan lemahnya atau batalnya untuk memperoleh kesetaraan kesempatan dan perlakuan dalam pelatihan, akses ke pekerjaan dan atau jabatan tertentu, keamanan dan kondisi terkait dengan pekerjaan).[6]

Namun dalam praktiknya, ternyata asas perlakuan yang sama bagi tenaga kerja untuk bekerja tanpa diskriminasi ini masih harus dipertanyakan. Salah satu informan penulisan ini menjelaskan bagaimana ia ditolak untuk bekerja setelah lolos seleksi psikotest, FGD dan wawancara dengan userhanya karena ia menjelaskan bahwa dirinya adanya trans laki-laki, sesuai dengan surat yang dikeluarkan oleh psikiater. Ketika kontrak akan ditandatangani, informan AA yang sudah lolos seleksi rekrutmen di sebuah bank swasta sebagai credit analyst dipanggil oleh pihak manajemen dan ia dijelaskan bahwa kebijakan bank tersebut adalah penyesuaian cara berpakaian dan sistem pengupahan dengan identitas yang dimiliki. Ada aturan yang jelas mengenai penampilan karyawan sesuai dengan identitas gender yang tertera di KTP.

Ukuran standar penilaian yang awalnya diberikan kepada informan AA yang dianggap laki-laki karena penampilan fisiknya akhirnya berubah setelah perusahaan mengetahui bahwa di kartu identitas, tertera informasi bahwa AA adalah seorang perempuan. Ketidaksesuaian antara penampilan dan identitas inilah yang membuat AA tidak mendapat akses kepada pekerjaan dan mengalami diskriminasi berbasis gender di dunia kerja. Informan lainnya, RY yang sudah menjalani transisi fisik maupun sosial menyatakan sulitnya untuk memiliki ekspresi gender yang berbeda dengan jenis kelamin yang tertera di kartu identitasnya. "Indonesia itu butuh kepastian. Kalo kamu perempuan ya perempuan. Kalo kamu laki ya laki -- laki. Sementara kan kalau kamu fisiknya begitu tapi suaranya begini itu yang susah."[7]

 Pakaian dalam hal ini, dianggap sebagai penanda identitas yang melekat dengan kedirian. Seseorang dapat dikatakan sebagai laki-laki atau perempuan ketika ia berupaya untuk membuktikan identitas gendernya tersebut kepada publik, salah satunya melalui pakaian yang digunakan. Gender, bahkan seks menurut Butler bagaikan sebuah drag/pertunjukan waria untuk membuktikan sisi feminitasnya yang sebenarnya melalui ujian yang pada akhirnya dapat mengesahkan kehalusan kulit, kegemulaian gerak dan kelembutan suara. Seperti halnya waria, identitas yang dianggap sebenarnya tersebut perlu terus dibuktikan kepada orang tua, teman, media, dsb melalui berbagai cara, salah satunya adalah pakaian.[8] Butler menambahkan bahwa identitas gender ditentukan secara performatif oleh ekspresi gender yang dibentuknya.[9] 

Pakaian seperti kemeja, jas maupun celana panjang yang digunakan trans laki-laki adalah bentuk komunikasi non verbal yang digunakan untuk merepresentasi diri sebagai 'laki-laki'. Konsepsi tubuh yang terkait dengan pakaian dapat dianggap sebagai identitas ganda signifikan, baik untuk pengguna dan untuk orang-orang yang berinteraksi dengan pengguna. Tubuh menempati posisi kunci dalam unit dasar representasi dalam karya Claude Lvi-Strauss, dimana tubuh adalah konstruksi simbolis.[10] Tubuh dibentuk dan dikendalikan oleh masyarakat. Shiling dalam bukunya The Body and Social Theory,mengungkapkan pandangan Foucault dan Goffman pengaturan atas tubuh oleh struktur sosial yang berada di luar jangkauan diri/individu.[11] Le Breton yang juga mengkaji tubuh dari sudut pandang sosiologis juga menyoroti unsur imajinasi sosial atas tubuh karena semua tindakan manusia terhadap lingkungan didasarkan pada sistem makna dan nilai-nilai.[12]

Tubuh media ekspresi diri, yaitu sarana untuk bebas mengekspresikan semua yang ada di dirinya sendiri, apakah dalam bentuk perasaan, pikiran maupun ide-ide. Pilihan yang diambil untuk melakukan transisi, baik secara sosial maupun fisik oleh trans laki-laki adalah ekspresi tubuh yang seharusnya dimiliki oleh tubuh yang otonom. Namun, nyatanya masyarakat memiliki mekanismenya sendiri untuk mengatur tubuh. Tubuh privat tidak lagi menjadi tubuh yang otonom, namun menjadi tubuh yang terikat pada aturan dan sistem nilai yang telah terbentuk sebelumnya. Gail Weiss menekankan tentang identitas tubuh yang membedakan seseorang atau sekelompok orang lain. Ia juga menjelaskan tentang gagasan otonomi tubuh sebagai kemampuan seseorang untuk mengontrol tubuh mereka.[13] Kebebasan tubuh yang otonom nyatanya menjadi gagasan yang probematis; di satu sisi, itu adalah hak mutlak bagi individu, tetapi di sisi lain kita tidak pernah mengetahui apakah setiap individu dapat benar-benar mengaksesnya. Namun, dalam masyarakat yang relatif komunal, arti 'tubuh' tidak dapat berdiri sendiri. Sedangkan dalam masyarakat individualistis, saklar tubuh, menandai batas-batas individu, yang adalah untuk mengatakan di mana dimulai dan berakhir kehadiran seorang individu.[14]

Negosiasi Kerja atas Pilihan Transisi

Ketika trans laki-laki memilih untuk melakukan transisi fisik, bukan berarti mereka menunjukkan visibilitas identitas mereka kepada publik. Berdasarkan wawancara dengan informan, beberapa informan yang secara tegas menunjukan dan mengakui identitas gender mereka sebagai trans laki-laki sulit mengakses pekerjaan tertentu. Visibilitas ini menyulitkan trans laki-laki untuk dapat bekerja, khususnya di sektor formal. Beberapa informan akhirnya memutuskan untuk mengubah data diri mereka secara ilegal dengan tujuan untuk bisa mengakses pekerjaan dengan status sebagai 'laki-laki'.

Ketika sebuah identitas kebertubuhan menjadi suatu persoalan di ranah kerja formal, beberapa informan akhirnya memilih untuk mencari pekerjaan lain di sektor informal. Informan RYD yang berprofesi sebagai bidan sebelumnya, setelah menegaskan dirinya sebagai trans laki-laki melalui HRT, akhirnya memilih berprofesi sebagai ojek online. Hal ini dilakukannya sebagai negosiasi atas pilihan transisi fisik yang dilakukannya. Ketika harus memilih untuk bekerja sebagai bidan namun tetap harus menjadi 'perempuan' atau mencari pekerjaan lain yang tidak memiliki aturan khusus mengenai identitas gender, ia akhirnya melakukan transisi pekerjaan. Informan RD yang sebelumnya berprofesi sebagai perawat juga akhirnya memutuskan untuk berjualan minyak dan gel rambut laki-laki secara online. Hal ini mereka lakukan untuk tetap dapat bertahan dengan pilihan identitas gender yang mereka yakini namun tetap dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka secara finansial.

Gender dan seksualitas adalah hasil konstruksi sosial yang ada di masyarakat. Dalam masyarakat kontemporer, seksualitas dan gender memainkan peran penting dalam pembangunan identitas individu. "Seksualitas adalah nama yang diberikan untuk konstruksi sosial, menunjuk rasi bintang yang sangat berbeda, baik dilihat dari praktek, interaksi, emosi dan representasi yang menentukan ruang lingkup hubungan dan menyebabkan proses konstruksi tentu saja dapat bervariasi."[15]

Butler juga melihat seks dan gender sebagai bentuk dari konstruksi sosial karena baginya tidak ada kondisi alamiah bagi manusia selain penampakan tubuhnya sendiri. Seorang trans laki-laki yang sudah melakukan transisi fisik melalui operasi misalnya, dapat diasumsikan bahwa ia telah mengubah kondisi fisik alamiahnya dari bentuk perempuan secara biologis menjadi bentuk laki-laki. Ia tidak hanya mengubah bentuk fisiknya saja tetapi juga jenis kelamin dan berdampak pula pada orientasi seksualnya. Butler menyampaikan bahwa seks, gender maupun orientasi seksual bersifat sangat cair dan dapat berubah karena berbagai faktor serta dipengaruhi oleh konstruksi sosial yang ada di dalam masyarakat.[16]      

Konstruksi sosial yang memandang trans laki-laki sebagai suatu penyimpangan sosial juga membuat informan VL memilih untuk tidak melakukan transisi fisik dan menunjukan visibilitasnya sebagai seorang trans laki-laki karena alasan pekerjaan. Bekerja di sebuah bank yang mengharuskan ia berpenampilan menarik secara fisik membuat pakaian dan sepatu yang ia gunakan pun diatur. Transisi fisik bukan pilihan yang akhirnya diambil karena ia tidak ingin pilihannya untuk melakukan transisi tersebut justru akan menghambat karirnya. Informan muda yang sedang membangun karirnya di industri perbankan tersebut akhirnya mengambil pilihan yang dianggapnya rasional untuk mengikuti aturan kantornya tersebut untuk memakai kemeja, rok dan high heels. 

Kesimpulan

Identitas gender yang diyakini sebagai trans laki-laki memberikan pilihan untuk menunjukkan visibilitas mereka melalui ekspresi gender, baik secara terbuka maupun tertutup. Ekspresi gender yang terbuka dapat ditunjukkan melalui transisi, baik secara sosial maupun fisik. Namun, hal ini ternyata menimbulkan dilema tersendiri ketika mereka dengan terbuka menunjukkan visibilitas atas ekspresi gender mereka di dunia kerja. Persolan yang umumnya dihadapi oleh trans laki-laki muda di dunia kerja terkait dengan isu registrasi diri. Indonesia adalah salah satu negara yang dengan spesifik mencantumkan informasi atas jenis kelamin biner (perempuan dan laki-laki) dalam KTP sebagai standar informasi diri.

Negasi atas pemberian identitas gender sesuai yang tertera dalam kartu identitas diri mereka membuat beberapa informan penulisan ini akhirnya melakukan perubahan data diri secara ilegal (dari jenis kelamin perempuan menjadi laki-laki). Negasi lain yang dilakukan adalah dengan menunjukkan ekspresi gender mereka sebagai laki-laki lewat penampilan dan pakaian. Hal ini menimbulkan masalah karena adanya anggapan ketidaksesuaian antara penampilan dengan data jenis kelamin yang tercantum di dalam KTP mereka. Trans laki-laki yang berpenampilan maskulin dengan kemeja, celana panjang, rambut pendek, kumis maupun jenggot serta bersuara berat menemui masalah ketika pihak perusahaan menemukan adanya perbedaan antara ekspektasi dan realitas yang tertera dalam data diri mereka di KTP sebagai perempuan.

 Tanggapan perusahaan terkait hal ini ditanggapi secara berbeda oleh trans laki-laki muda. Memilih untuk menjalani kerja di bidang informal akhirnya dipilih oleh beberapa informan sebagai bentuk negosiasi atas pilihan mereka untuk mempertahankan penampilannya yang maskulin. Namun, pilihan untuk tidak melakukan transisi fisik juga akhirnya diambil oleh informan lainnya sebagai pilihan rasional untuk tetap diterima bekerja di bidang pekerjaan yang ia minati. Di Indonesia, adanya aturan hukum ketenagakerjaan yang dengan jelas melarang praktik diskriminasi atas dasar apapun masih perlu dipertanyakan karena identitas gender ternyata masih menjadi dasar terjadinya diskriminasi dan ketidaksetaraan seksual. Oposisi biner yang berbasis konstruksi sosial masih menjadi dasar kuat yang menentukan status dan peran seseorang dalam dunia kerja.
 
 

[1] Cisfemale dan cismale (cis-gender) menjelaskan adanya keselarasan antara seks pada saat dilahirkan dengan identitas gender yang mereka yakini. Cisfemale adalah seseorang yang terlahir perempuan dan meyakini bahwa identitas gendernya juga perempuan sedangkan cismale adalah seseorang yang terlahir laki-laki dan meyakini bahwa identitas gendernya juga adalah laki-laki.

[2] Transgender pada umumnya didefinisikan sebagai individu yang dengan sengaja menolak penetapan gender yang diberikan pada saat lahir. Kelompok transgender adalah transseksual, namun melingkupi kelompok yang dapat lebih luas dari definisi ini. Catherine Connell, 2010, "Doing, Undoing or Redoing Gender? Learning from the Workplace Experience of Trangender People", Gender and Society, Vol 24, 1, p. 33.

[3] Terminologi yang digunakan untuk menunjuk trans yang mengidentifikasikan dirinya sebagai laki-laki (misalnya: seseorang yang terlahir sebagai perempuan namun mengidentifikasikan dirinya sebagai laki-laki). Bahasanya lain yang digunakan adalah FTM (female to male).Health Policy Project, Asia Pacific Transgender Network, United Nation Development Programme. 2015. Blueprint for the Provision of Comprehensive Care for Trans People and Trans Communities in Asia and the Pacific.Washington, DC: Futures Group, Health Policy Project.

[4] Hidup sebagai LGBT di Asia : Laporan Nasional Indonesia , Tinjauan Analisa Partisipatif tentang Lingkungan Hukum dan Sosial Bagi Orang dan Masyarakat Madani Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT), diakses dari http://www.id.undp.org/content/dam/indonesia/docs/LGBT/Indonesia%20report,%2027%20May%2014_ID_FINAL_Bahasa.pdf

[5] Dalam wawancara yang dilakukan, informan penulisan ini mendefinisikan transisi sebagai proses 'penegasan' identitas mereka sebagai laki-laki. Transisi dapat dilakukan dalam bentuk transisi sosial, yaitu tidak melakukan penegasan fisik namun mengubah penampilan seperti laki-laki dan transisi fisik/medis, yaitu melakukan penegasan fisik melalui tindakan medis berupa HRT (Hormone Replacement Therapy). HRT adalah terapi yang dilakukan untuk meningkatkan kadar hormon testosteron dan menekan unsur hormon estrogen dalam tubuh.    

[6] Konvensi-Konvensi ILO tentang Kesetaraan Gender di Dunia Kerja, Kantor Perburuhan Internasional, diakses dari http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/@asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/documents/publication/wcms_122045.pdf

[7] Wawancara dengan informan RY, 29 Februari 2016.

[8] Judith Butler, Gender trouble: feminism and the subversion of identity, New York: Routledge, 1990, p. ix.

[9] Ibid., p. 33.

[10] David Le Breton, La sociologie du corps, Paris, Presses Universitaires de France, 2002, p.37.

[11] Chris Shiling, The Body and Social Theory, London, Sage Publication, p. 71.[12] Op. Cit., p.37.  

[13] Gail Weis, 2009, "Intertwined Identities: Challenges to Bodily Autonomy". Perspectives: International Postgraduate Journal of Philosophy, 2 (1) : 22-37.
[14] Le Breton, Loc.Cit., p.34.

[15] Michel Bozon, Orientations intimes et constructions de soi. Pluralit et divergences dans les expressions de la sexualite * , Socits Contemporaines, 2001, no 41-42, p.15.

[16] Butler, Loc. Cit, p. 96.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun