Berbicara mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas remaja tidak dapat dilepaskan dari anggapan sebagian kalangan yang menilai bahwa hal tersebut tabu untuk diperbincangkan. Meski dianggap tabu, nyatanya kita tidak dapat menafikan terjadinya pelbagai kasuskesehatan reproduksi dan seksual remaja.
Data profil kesehatan Indonesia tahun 2010 menunjukan bahwa remaja dalam rentang usia 10-24 tahun masih berada pada kelompok dengan jumlah paling besar, yaitu 63,4 juta orang.
Jumlah remaja yang menduduki kelompok usia terbesar di Indonesia menjadi kelompok yang rentan terhadap pelbagai masalah terkait kesehatan reproduksi seksual, seperti kehamilan di usia muda, kehamilan tidak diinginkan, penyakit menular seksual seperti HIV dan AIDS, aborsi yang tidak aman, maupun kekerasan berbasis gender.
Dalam mengawal masa pubertas remaja, seringkali orang dewasa di sekitar remaja, seperti orang tua, guru, tokoh masyarakat, maupun tokoh agama tidak cukup siap untuk menjelaskan tentang apa yang akan dialami remaja. Akibatnya remaja tidak memiliki cukup pengetahuan dan keterampilan untuk mengatasi masalah seputar kesehatan reproduksi seksualnya.
Dalam wawancara yang dilakukan oleh Pusat Kajian Gender dan Seksualitas UI pada tahun 2012 dengan salah satu wakil kepala SMA di Kota Bandung, ia mengungkapkan kekuatirannya mengenai perilaku seksual siswa.
"Ada kasus KTD (Kehamilan Tidak Diinginkan) di sekolah ini, sejak tahun 2008 dan hampir setiap tahun ada saja siswi yang hamil, namun melakukannya bukan dengan siswa disini, mereka kalo pulang sekolah sering dijemput apa sama pacar atau siapanya, makanya kami sebagai guru terkadang khawatir kalo siswa masih nongkrong sampai sore."
Permasalahan KTD yang dialami salah satu siswi di salah satu SMA di Kota Bandung seperti fenomena gunung es. Mungkin kasus KTD ataupun kasus kesehatan reproduksi seksual lainnya ada namun tidak teridentifikasi dan tercatat dalam perhitungan statistik.
Sebetulnya, apakah esensi pendidikan seks bagi remaja? Menurut saya, melalui pendidikan seks yang komprehensif, remaja dapat dibekali informasi yang tepat mengenai perubahan fisik dan psikis yang terjadi pada diri mereka, mengenali tubuh mereka serta konsekuensi-konsekuensi yang mereka ambil atas pilihannya terkait kesehatan reproduksi dan seksual mereka.
Sehingga menjadi pilihan remaja sepenuhnya, misalnya untuk menikah di usia muda ataupun melindungi diri dari pelbagai kekerasan atau pelecehan seksual yang mungkin menimpa dirinya.
Di tingkat SMA, pendidikan seks sendiri sebetulnya sudah diberikan oleh beberapa guru mata pelajaran seperti biologi, penjasorkes, agama maupun BK/BP.
Berdasarkan hasil penelitian baseline survei "Penguatan Akses Remaja terhadap Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual (PKRS)" tahun 2012 di delapan kota di Indonesia yang dilakukan oleh Puska Gender dan Seksualitas FISIP UI yang dilakukan terhadap guru,mayoritas responden guru telah memberikan materi kesehatan reproduksi (59,1%) di dalam mata pelajaran yang diasuh dan sebesar 66,1% di luar mata pelajaran.
Namun, materi terkait pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual tersebut belum bersifat komprehensif. Pengetahuan siswa mengenai topik tersebut masih sangat terbatas. Berdasarkan hasil survei siswa, sebesar 18,5% menyatakan ketidaktahuan mereka tentang kesehatan reproduksi dan sebesar 27,8% terhadap kesehatan seksual.
Sehingga dapat dikatakan, pendidikan seks yang diterima siswa sebetulnya ada namun tiada. Sebagian guru memberikan materi terkait dalam mata pelajaran yang diasuhnya namun tidak ada materi khusus yang terintegrasi dalam kurikulum nasional dan diberikan siswa mengenai pendidikan seksual yang komprehensif.
Tidak mengherankan jika remaja lebih memilih mencari informasi mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi seksual di media seperti internet, majalah, ataupun TV yang lebih mudah diakses. Namun tentu saja tidak semua informasi yang tersedia tepat dan sesuai bagi tumbuh kembang remaja di masa pubertas mereka.
Pendidikan seksualitas yang komprehensif membutuhkan upaya bersama dari pelbagai pihak, baik sekolah, orang tua, keluarga maupun pemegang kebijakan untuk mengimplementasikan wacana ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H