Regulasi dan sensor dalam film bukanlah hal yang asing di negara Indonesia. Keberadaan kedua peraturan tersebut tentunya juga sejalan dengan dasar hukum Indonesia yakni Undang-Undang Dasar tahun 1945.
Sedangkan Love Lesson (2013) sendiri merupakan film bergenre drama romance buatan negara Korea Selatan. Film ini dirasa tidak layak tayang di negara Indonesia karena melanggar regulasi dan sensor dalam film.
Makanya, sebelum membahas lebih dalam terkait pelanggaran regulasi dan sensor apa saja yang dilakukan pada film Love Lesson (2013), sebaiknya lebih dulu saya jelaskan tentang apa itu regulasi dan sensor pada film di Indonesia.
- Regulasi dalam film
Menurut Khusna dan Susilowati (dalam Astuti, 2022 h.49), regulasi merupakan bentuk hukum atau peraturan perundang-undangan tertulis dimana didalamnya berisikan unsur-unsur penting yang perlu diperhatikan pada perfilman di Indonesia. Regulasi ini dibentuk oleh lembaga negara dan biasanya bersifat mengikat. Tujuan dari pembuatan regulasi ini agar tidak ada film yang dengan sengaja melakukan persuasi pada publik untuk melakukan suatu hal yang tidak baik.
Oleh sebab itu, regulasi ini bukan hanya terkhusus pada film, iklan film, maupun adegan nya saja, melainkan ditujukan secara umum sesuai dengan Permendikbud tahun 2019.
Apabila terjadi pelanggaran seperti laporan dari publik atau lembaga bahwa film atau iklan film menimbulkan keresahan, mengganggu ketertiban, dan gangguan lain di masyarakat, baik sebelum film ditayangkan maupun sesudah penayangan film, pemerintah berhak untuk menarik film maupun iklan film dari peredaran di masyarakat.
Agar hal ini tidak terjadi maka dapat ditanggulangi dengan memiliki Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) terlebih dahulu karena nantinya film akan evaluasi terkait dua poin. Pertama, film tidak memberikan dampak buruk pada masyarakat seperti sengaja mendiskriminasi SARA, dan sebagainya. Kedua, film tidak mengandung unsur-unsur yang sebaiknya tidak ditunjukkan di ranah publik, seperti pornografi, narkotika, kekerasan, dan sebagainya.
- Sensor dalam film
Di Indonesia, sensor film sudah dilakukan sejak masa kolonial Belanda, dan bahkan hingga tahun 2019 lalu, perundang-undangan terkait sensor di Indonesia sudah banyak direvisi dan diganti. Menurut Undang-Undang Nomor 33 tahun 2009, sensor film merupakan bentuk penentuan dan penelitian yang melihat apakah film atau iklan film itu layak diedarkan pada masyarakat atau tidak.
Nantinya, film maupun iklan film akan dinilai oleh Lembaga Sensor Film (LSF) dengan melihat empat elemen yakni sisi keagamaan, sisi ideologi dan politik, sisi sosial budaya masyarakat, serta sisi ketertiban umum.
Proses pengecekan dapat dilakukan dengan beberapa tahapan. Pertama, pihak film atau iklan film wajib mendaftarkan film atau iklan mereka secara online dan langsung ke pihak sekretariat LSF. Lalu pihak LSF akan menyeleksi film atau iklan film yang didaftarkan.
Apabila telah diseleksi, pihak pemegang hak cipta film maupun iklan film, perlu mendaftarkan hak ciptanya dan menyampaikan sinopsis serta membayar biaya sensor dan juga Surat Tanda Pemberitahuan Pembuatan Film.Â