Persepsi dasar masyarakat mengenai cara untuk meningkatkan derajat serta memperoleh "jatah" di dunia kerja adalah dengan menempuh pendidikan tinggi, lulus dengan gelar sarjana, dan mendapatkan pekerjaan yang baik telah menjadi keyakinan umum. Persepsi ini tidak hanya mengakar di masyarakat Indonesia, tetapi juga di banyak negara lain di dunia. Secara prinsip, keyakinan ini tidak sepenuhnya salah karena pendidikan tinggi sering kali dihubungkan dengan peningkatan kualitas hidup, keterampilan, dan peluang kerja.
Namun, realitas di Indonesia menunjukkan sebuah paradoks. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada lulusan pendidikan tinggi justru cukup signifikan, yaitu sekitar 6,29% dari total pengangguran. Hal ini mengindikasikan adanya ketimpangan antara jumlah lulusan sarjana yang dihasilkan dan ketersediaan lapangan pekerjaan yang sesuai. Data dari kemenaker (Kementrian Tenaga Kerja) juga menunjukkan bahwa 12 % dari penganguran di Indonesia didominasi oleh lulusan sarjana dan diploma. Hal ini menunjukkan inkonsistensi ketersediaan lapangan pekerjaan dan surplus sarjana (Grehenson, 2023).
Salah satu penyebab utama fenomena ini adalah ketidaksesuaian antara keahlian lulusan dengan kebutuhan pasar kerja. Kurikulum di banyak perguruan tinggi sering kali belum mampu mengikuti dinamika perubahan dunia kerja yang sangat cepat, terutama di era revolusi industri 4.0 dan transformasi digital. Akibatnya, banyak lulusan yang tidak memiliki kompetensi yang dibutuhkan oleh industri, meskipun mereka memiliki gelar akademik. Selain itu, distribusi lapangan pekerjaan yang tidak merata turut menjadi faktor krisis ketenagakerjaan ini (Xiang et al., 2023). Konsentrasi industri dan peluang kerja yang sebagian besar terpusat di wilayah perkotaan, khususnya di Pulau Jawa, membuat lulusan dari daerah lain menghadapi tantangan yang lebih besar dalam mencari pekerjaan. Hal ini diperburuk oleh minimnya akses pelatihan dan pengembangan keterampilan di daerah-daerah tersebut.
       Dari data-data yang tertera terlihat masalah yang sudah ada dan akan mendatang yang perlu diperhatikan baik oleh pemerintah serta masyarakat umum. Meskipun perkuliahan masih esensial, sepertinya sudah tidak bisa lagi untuk dijadikan satu-satunya jalan dalam meningkatkan kualitas hidup. Gelar sarjana sudah tidak lagi menjadi "job security" karena ketidakseimbangan dalam jumlah lulusan sarjana dan pasar ketenagakerjaan.
      Â
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 6 November 2023. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 5,32 persen dan Rata-rata upah buruh sebesar 3,18 juta rupiah per bulan. Diakses 15 Desember 2024. https://www.bps.go.id/id/pressrelease/2023/11/06/2002/tingkat-pengangguran-terbuka--tpt--sebesar-5-32-persen-dan-rata-rata-upah-buruh-sebesar-3-18-juta-rupiah-per-bulan.html
Grehenson, Gusti. 22 Februari 2023. Menaker: 12 Persen Pengangguran di Indonesia Didominasi Lulusan Sarjana dan Diploma. Diakses 15 Desember 2024. https://ugm.ac.id/id/berita/23493-menaker-12-persen-pengangguran-di-indonesia-didominasi-lulusan-sarjana-dan-diploma/
Xiang, Beishan, Huiying Wang, and Huimin Wang. "Is There a Surplus of College Graduates in China? Exploring Strategies for Sustainable Employment of College Graduates." Sustainability 15, no. 21 (2023): 15540. https://doi.org/10.3390/su152115540.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H