Mohon tunggu...
GABRIELA PRISCILA BR SITEPU
GABRIELA PRISCILA BR SITEPU Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Aktif UPN "Veteran" Jakarta Fakultas Hukum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pewaris yang Meninggalkan Hutang Saat Kematiannya, Begini Kata Hukum Islam

23 Mei 2024   11:23 Diperbarui: 23 Mei 2024   11:49 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber https://o-cdn-cas.sirclocdn.com/parenting/images/Hukum_Waris_Islam_-2.width-1000.png

Pengertian hukum waris Islam adalah serangkaian aturan untuk mengatur dalam hal pengalihan atau perpindahan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang disebut juga sebagai ahli waris. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 171 yang menjelaskan tentang waris, yaitu "Hukum waris islam sepenuhnya adalah hukum yang dibuat untuk mengatur terkait pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan pewaris, serta menentukan siapa saja yang berhak menerima dan menjadi ahli warisnya, dan juga jumlah bagian tiap ahli waris". Terdapat dalam:

QS An-Nisa' 4:11

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَييْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

b) QS An-Nisa' 4:12

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۚ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ ۚ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ ۚ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ

Artinya: Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.

Dalam hukum islam, yang dapat menjadi ahli waris bisa terjadi karena adanya perkawinan dan akibat keturunan. Yang dapat mendapatkan warisan dari pewaris adalah suami-istri yang masih menjalin hubungan sebagai pasangan, ayah dan ibu dari si pewaris, anak laki-laki dan Perempuan dari si pewaris, jika ada anak angkat, maka dia tidak mendapat warisan, kecuali melalui adanya wasiat.  Namun tak jarang si pewaris atau orang yang meninggal, meninggalkan adanya hutang. Apakah hutang yang ditinggalkan pewaris harus dibayarkan oleh ahli warisnya?  Tanggung jawab ahli waris terhadap utang hanya terbatas dari nilai harta peninggalan si pewaris. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 175 KHI yang berisi ketentuan sebagai  berikut.

Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah:

-mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah sampai selesai,

-menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun penagih piutang;

-menyelesaikan wasiat pewaris;

-membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.

Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban si pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya saja. Dengan kata lain, ahli waris tidak akan bertanggung jawab terhadap utang-utang  si pewaris, kecuali sebatas jumlah atau nilai harta yang ditinggalkan saja. Sebelum harta warisan dibagikan, maka hutang dari pewaris harus terlebih dahulu dilunaskan.

berdasarkan firman Allah ta'ala :

مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ

" (Pembagian-pembagian warisan itu) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya." (QS. An Nisa': 11)

 Hutang dalam hukum islam tidak dapat diwariskan jika orang yang meninggal (pewaris) tidak memiliki harta benda yang dapat diwariskan. Dalam hukum islam, sunnah hukumnya jika keluarga ingin membayar hutang si pewaris, atau tidak wajib.

) ( ) :

يُبَادَرُ) نَدْبًا (بِقَضَاءِ دَيْنِ الْمَيِّتِ) إنْ تَيَسَّرَ حَالًّا قَبْلَ الِاشْتِغَالِ بِتَجْهِيزِهِ مُسَارَعَةً إلَى فِكَاكِ نَفْسِهِ، لِخَبَرِ «نَفْسُ الْمُؤْمِنِ أَيْ رُوحُهُ مُعَلَّقَةٌ: أَيْ مَحْبُوسَةٌ عَنْ مَقَامِهَا الْكَرِيمِ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ» رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ وَغَيْرُهُ، فَإِنْ لَمْ يَتَيَسَّرْ حَالًّا سَأَلَ وَلِيُّهُ غُرَمَاءَهُ أَنْ يُحَلِّلُوهُ وَيَحْتَالُوا بِهِ عَلَيْهِ

Artinya: " Disunnahkan untuk menyegerakan melunasi utang mayit. Jika memungkinkan segera melunasi sebelum sibuk merawat mayit. Karena untuk menyegerakan pembebasan ruhnya mayit berdasarkan hadits: "Ruhnya orang mukmin digantungkan -maksudnya ruhnya tertahan menuju tempatnya yang mulia- sebab utangnya, sampai utangnya itu dilunaskan." (HR. At-Tirmidzi. Ibnu Hibban dan selainnya menilai hadits ini hasan dan shahih). Jika tidak memungkinkan untuk membayarkan utangnya maka walinya mayit meminta kepada yang berpiutang untuk memindahkan utangnya (hiwalah), dan walinya memindahkan utangnya mayit ke dalam tanggungannya." (Al-Khatib As-Syarbini, Mugni al-Muhtaj, [ Bairut, Dar Kutub Ilmiyah: 1415 H], juz II, halaman 44) .

Ahli waris sebenarnya tidak wajib membayar hutang atau kewajiban dari si pewarisnya, hal ini terdapat dalam:

وبالاجماع لو مات ميت وعليه دين لم يجب على وليه قضاؤه من ماله، فان تطوع بذلك تأدى الدين عنه.

 Artinya: "Berdasarkan Ijma', Jika seseorang meninggal dan memiliki tanggungan utang, maka walinya tidak wajib melunasinya dengan hartanya sendiri. Namun jika secara suka rela melunasinya maka utangnya dianggap lunas." (Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jmi' li Ahkmil Quran, [Maktabah Ar-Risalah, Beirut, 2006 M], juz 5, halaman 230).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun