- Pendahuluan
Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya yang oleh sebab itu mereka berhak atas jaminan atas perlindungan hak-hak mereka agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak-anak merupakan seorang individu yang berada dalam masa pertumbuhan dan perkembangan menuju usia remaja ke dewasa, sehingga sebenarnya penting bagi anak-anak untuk mendapatkan Pendidikan, kesehatan bahkan waktu bermain yang sesuai dengan kapasitasnya. Dimana hal ini merupakan hal yang layak serta wajar untuk diberikan kepada mereka sebagai rasa tanggung jawab, kita demi kelangsungan hidup bangsa, karena tidak dapat dipungkiri bahwa anak sebagai generasi penerus bangsa yang harus dijaga.
Perkembangan masa sekarang ini, seringkali kita temui anak dibawah umur yang bekerja, bahkan tidak sedikit anak tidak memiliki waktu untuk bermain, maupun belajar demi bekerja membantu ekonomi keluarganya. Hal ini biasanya terjadi dalam suatu keluarga yang memiliki kesulitan ekonomi/finansial, sehingga memaksa anak dibawah umur untuk bekerja. Ada beberapa factor yang mempengaruhi keterlibatan anak dibawah umur harus bekerja, yaitu:
- Berkaitan dengan kemiskinan atau ketidakmampuan ekonomi keluarga.
- Berkaitan dengan keinginan anak sendiri yang dengan sadar memilih dunia "eksploitasi di luar rumah" daripada terus menerus bekerja dibawah kendali orang tua mereka sendiri.
- Berkaitan dengan kepentingan pengusaha yang senantiasa ingin mengakumulasikan keuntungan sebanyak-banyaknya.
Anak dalam kehidupan sehari-hari seringkali mengalami keadaan yang beresiko dapat mengancam keamanan dan keselamatan dirinya, seperti : anak jalanan, kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak, pelacuran anak, eksploitasi dalam bentuk pengedaran dan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika dan lainnya.[2] Tentu saja hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak-hak anak karena keadaan tersebut mendekati praktik perbudakan. Situasi kerja pada anak sangat memungkinkan membahayakan kesehatan tubuh, kesehatan mental, dan nilai moral, apalagi pekerja anak seringkali diberi upah yang sangat minim.
Melalui Konvensi Hak-hak Anak Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nations Convention on the Rights of the Child) PBB melindungi hak-hak anak dalam bidang sipil, politik, sosial, ekonomi dan kultural bagi anak-anak. Dalam hukum nasional, Undang-undang Perlindungan Anak menegaskan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan dari eksploitasi dan diskriminasi. Pada Undang-undang ketenagakerjaan juga mengatur bahwa anak dilarang melakukan Pekerjaan yang dapat mengganggu perkembangan, kesehatan, keselamatan, dan moral anak.
- Pembahasan
Pekerja anak meliputi semua anak yang bekerja pada jenis pekerjaan yang, oleh karena hakikat dari pekerjaan tersebut atau oleh karena kondisi-kondisi yang menyertai atau melekat pada pekerjaan tersebut ketika pekerjaan tersebut dilakukan, membahayakan anak, melukai anak (secara jasmani, emosi dan atau seksual), mengeksploitasi anak, atau membuat anak tidak mengenyam pendidikan.[3] Dalam hal ini, pekerja anak bukanlah anak yang mengerjakan tugas sesuai dengan kemampuannya dan mendukung perkembangannya pada usia anak seharusnya, namun mengarah pada pemberian beban tanggungjawab kepada diri anak untuk memperoleh upah atas beban tanggungjawab tersebut.
Keterlibatan pekerja anak dibawah umur disebabkan oleh anak dianggap sebagai aset ekonomi bagi keluarga maupun pengusaha, karena keuntungan yang cukup diperoleh dari pekerja anak. Seperti yang kita ketahui pula, setiap orang dalam keluarga memiliki banyak peran atau peran ganda dan tidak terkecuali bagi anak. Banyak keluarga yang beranggapan bahwa, anak dianggap sebagai penerus dalam keluarga dan masyarakat sehingga mereka diharuskan untuk mendapatkan fasilitas yang memadai. Tetapi di sisi lain, banyak pula kelurga yang beranggapan anak adalah aset ekonomi potensial yang dapat dioptimalkan sebagai salah satu penyangga ekonomi keluarga. Sehingga, atas dasar tersebut lah anak dibawah umur dipekerjakan bahkan dieksploitasi.
Eksploitasi merupakan perilaku tanpa persetujuan korban tanpa batas terhadap pelacuran, perbudakan, pelayanan paksa, memanfaatkan orang lain dalam mendapatkan keuntungan baik materil maupun non-materil.[4] Hingga saat ini, isu terkait penggunaan anak sebagai pekerja bukan lagi hanya berkutat pada aspek pekerjaan anak itu sendiri, tetapi lebih kepada praktik eksploitasi yang menjadikan anak sebagai buruh. Eksploitasi ini terjadi karena ketidakseimbangan yang terjadi antara kedudukan orang tua sebagai pihak yang lebih tinggi (superordinasi) dan kedudukan anak sebagai pihak yang lebih rendah (subordinasi).Kebergantungan anak kepada orang tua menjadikan orang tua meyakini bahwa anak milik mereka sepenuhnya (Pebriani et al., 2016).
Berdasarkan wawancara yg dilakukan di salah satu daerah di Sumatera Utara, sebagian besar dari pekerja anak bekerja di sektor informal. Alih-alih menikmati masa anak-anak mereka dengan bersenang-senang, mereka justru berjualan keliling untuk menjajakan kerupuk, tisu, air mineral, mengamen, memulung bahkan mengemis. Mereka bekerja dari pulang sekolah sampai sore bahkan malam hari dengan pendapatan sekitar Rp. 25.000 -- Rp. 50.000 per hari. Alasan anak-anak tesebut bekerja disebabkan karena keluarga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar, sehingga mereka terpaksa mengirim anak-anak mereka untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Bahkan, dalam beberapa kasus terdapat anak-anak yang dipaksa bekerja adalah untuk menggantikan peran orang tua mereka demi memenuhi kebutuhan hidup sehari hari. Selain itu, penyebab lainnya adalah pendidikan orang tua yang rendah, di mana hal ini berpengaruh pada pola pikir orang tua yang beranggapan bahwa pendidikan hanya buang-buang uang, sehingga tidak mendorong anaknya untuk bersekolah, dan hanya memaksa anak untuk bekerja dan mendapatkan uang. Akibatnya, mereka kehilangan hak-hak mereka untuk belajar, bermain dan bergaul dengan teman sebaya. Bahkan beberapa di antara mereka tidak dapat mengakses pendidikan yang semestinya mereka dapatkan. Beberapa pekerjaan juga dapat mengancam kesehatan dan keselamatan pekerja anak, serta tak jarang mereka mendapat ancaman atau pelecehan dari orang dewasa.
Eksploitasi pekerja anak dibawah umur merupakan suatu pelanggaran hukum, hal ini sudah secara tegas tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 13. Lebih lanjut pada pasal 88 Undang-Undang Perlindungan Anak, orang yang melakukan tindakan eksploitasi pada pekerja anak akan mendapat sanksi pidana, yaitu dijatuhi pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 74 dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur larangan terhadap pekerja anak dalam pekerjaan yang tidak layak. Untuk melindungi hak-hak pekerja anak, terdapat persyaratan khusus yang harus dipatuhi dalam proses perekrutan mereka. Hal ini dijelaskan secara rinci mulai dari Pasal 68 hingga Pasal 75 dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Selain itu, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP 115/MEN/VII/2004 juga menetapkan pedoman terkait kriteria khusus dan syarat untuk mempekerjakan anak, dengan mempertimbangkan bakat dan minat mereka.
- Kesimpulan dan Saran
Konvensi Hak-hak Anak Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nations Convention on the Rights of the Child) dan Undang-undang Nasional seperti Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang yang telah melindungi hak-hak setiap anak terutama dalam hal perlindungan dari eksploitasi dan diskriminasi. Namun, dalam kenyataannya Eksploitasi pekerja anak di bawah umur merupakan suatu masalah yang masih banyak terjadi di Masyarakat. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti perekonomian keluarga yang sulit, serta rendahnya pendidikan orang tua. Dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (2) dinyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan juga anak yang berhak atas kelangsungan hidupnya, tumbuh dan berkembang dan berhak atas perlindungan dari kekerasan ataupun diskriminasi yang terdapat dalam Pasal 28B ayat (2). Oleh karena itu, eksploitasi anak di bawah umur juga merupakan suatu pelanggaran hukum, karena telah merampas hak-hak anak. Dalam hal ini, peran orang tua, masyarakat dan pemerintah sangat diperlukan dalam hal melindungi dan menegakkan hukum demi perlindungan anak.
Sumber:
Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, Jakarta: Kencana, 2010.
Frietje Rumimpunu, “Larangan Mempekerjakan Anak Dibawah Umur Ditinjau Dari Perspektif Perlindungan Hak Asasi Manusia”, Servanda Jurnal Ilmiah Hukum, Vol. 7, No. 2 (2013).
Organisasi Perburuhan Internasional, “Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Pekerja Anak”, (Jakarta: Organisasi Perburuhan Internasional, 2009).
Muh. Fauzan Khibran, Hasni, Rismawati Kadir, Muhammad Syukur, M. Ridwan Said Ahmad, “Eksploitasi Anak Usia Dibawah Umur Sebagai Pengemis di Lampu Merah di Kota Makassar”, “COMSERVA: (Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat)” - Vol. 2, No.1 (2022).
Penulis:
Kamelia Tamara Matondang (210200005), Gabriela Anastasya Br Gultom (210200341), Aqila Hisanah (210200343).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H