Kata budaya memang sangat tidak asing di telinga kita. Di Indonesia memiliki beraneka ragam budaya dari segi bahasa, pakaian adat, makanan, kebiasaan, kehidupan adat istiadatnya dan tentu ciri khas berupa kesenian pasti memiliki makna yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, kita memiliki semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua.Â
Mengulik soal budaya tentu tidak lepas dari komunikasi. Komunikasi dan kebudayaan tidak sekedar dua kata tetapi dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. Dimana studi komunikasi antar budaya dapat didefinisikan sebagai studi yang menekankan pada efek kebudayaan terhadap komunikasi. Budaya merupakan sesuatu yang berkembang dan dimiliki secara bersama oleh suatu kelompok sosial dari generasi ke generasi. Â Secara tidak langsung, lingkungan sosial merefleksikan bagaimana orang hidup sehingga terjadilah relasi dan interaksi dengan orang lain.
Dilihat dari beraneka macam budaya dari berbagai daerah tentu memiliki istilah identitas. Nah, kali ini kita akan membahas seputar teori identitas budaya.
Seperti yang kita tahu Kota Yogyakarta merupakan kota yang memiliki berbagai warisan budaya peninggalan nenek moyang sehingga dijuluki sebagai kota seni dan budaya. Warisan yang diberika berupa fisik dan non fisik. Budaya fisik antara lain kawasan yang memiliki label cagar budaya dan benda cagar budaya.Â
Untuk budaya non fisik berupa sistem nilai dan norma berlaku, karya seni (seni tari, wayang, dan batik), bagaimana sistem sosial atau perilaku sosial yang dibangun dalam suatu masyarakat. Para wisatawan asing yang sering kita jumpai di wilayah Yogyakarta merasakan budaya di negara mereka sangat berbanding terbalik.Â
Sehingga Yogyakarta menjadi destinasi favorit karena memiliki keanekaragaman obyek wisata dan tentu saja keramah tamahan masyarakatnya serta gaya hidup yang murah dan mudah dijangkau oleh berbagai kalangan. Serta destinasi yang menjadi sorotan oleh wisatawan asing yakni Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.Yogyakarta memiliki pertunjukan kesenian khususnya kesenian tari sebagai atraksi utama dalam membangun sejarah perjalanan wisata di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Salah satu seni tari yang masih melekat adalah tarian Bedhaya Sapta. Apasih itu? Yuk simak bareng-bareng.
Sejarah Bedhaya Sapta
Bedhaya Sapta merupakan salah satu tari klasik Yasan Dalem (karya) Sri Sultan Hamengku Buwono IX (1940-1988).'Sapta' berarti tujuh, hal ini merujuk pada jumlah penari Bedhaya Sapta tujuh penari, tidak seperti tari bedhaya yang biasanya dibawakan oleh sembilan penari.Tari Bedhaya Sapta ini merupakan tarian yang menceritakan tentang perjalanan utusan Sultan Agung pada masa itu untuk menuju Batavia, Pada masa itu Batavia dikuasai oleh J.P. Coen.Â
Dalam tarian ini dua orang utusan Sultan Agung ditampilkan berusaha sekuat tenaga dalam menghadapi segal macam rintangan yang menghadang. Tarian Bedhaya Sapta diciptakan langsung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan jumlah penari sebanyak tujuh orang,di mana penari bedhaya biasanya berjumlah sembilan orang.Â
Dilansir dari Kratonjogja.id (2020) Ketika Sri Sultan Hamengku Buwono IX memiliki jabatan penting dalam pemerintahan Republik Indonesia di Jakarta, tari Bedhaya Sapta tidak lagi dipentaskan.Â
20 April 1985, tarian ini kembali dipentaskan dalam rangka Tingalan Jumenengan Dalem atau Ulang Tahun Penobatan Sultan meskipun ada beberapa perubahan ketika pementasan berlangsung karena guna menyelaraskan tembang. Hingga saat ini, eksistensi Bedhaya Sapta masih dipertahankan dan tetap diajarkan kepada para Abdi Dalem Matoyo (penari) yang berlokasikan di Keraton Yogyakarta.
Dari akun Instagram Kraton Jogja, Bedhaya Sapta secara umum dibawakan dalam beberapa ragam gerak, antara lain: gudhawa asta minggah, mlampah semang, impang encot, gajah ngoling, impang majeng, nggrudha, bangomate, dan puspita kamarutan.
Bedhaya Sapta memiliki pola lantai yang berbeda dari bedhaya pada umumnya karena langsung dipaparkan dalam pola lantai dan pesindhenan sejak awal gendhing. Peran-peran penari seperti endhel, batak dan sebagainya yang biasa terdapat dalam bedhaya tidak berlaku dalam Bedhaya Sapta. Penyebutannya diganti dengan penari 1, 2, 3, 4, 5 serta a dan b.
Sementara, kemiripan Bedhaya Sapta dan bedhaya yang dibawakan sembilan penari terletak pada pola rakit lajur, rakit ajeng-ajengan atau rakit gelar. Pola garis diagonal merupakan kekhasan yang hanya dimiliki Bedhaya Sapta. Sementara komposisi gendhing yang akan ditampilkan, meliputi gendhing pambuka, gendhing soran, gendhing lirihan I, II dan III serta gendhing panutup
Menurut Senayanpost.com (2020), memperingati hari kelahiran atau Wiyosan Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X yang digelar pada hari Selasa Wage tanggal 20 Oktober 2020 silam, Keraton Yogyakarta menggelar Uyon-Uyon Hadiluhung di Bangsal Sringanti, Keraton Yogyakarta.Â
Dikarenakan situasi dan kondisi masih menyebarnya wabah virus Covid-19, pertunjukan kali ini digelar tanpa adanya reservasi dan juga penonton. Namun tetap disiarkan melalui siaran langsung atau live streaming di kanal Youtube dan Periscope Kraton Jogja, serta siaran melalui RRI Pro 4 Yogyakarta yang dimulai pada pukul 20.00 WIB. Dalam Uyon-Uyon Hadiluhung tahun ini, Keraton Yogyakarta akan mempersembahkan komposisi gendhing dan tari Bedhaya Sapta. Gendhing merupakan alat atau instrumen yang memiliki fungsi untuk memeriahkan acara Uyon-Uyon Hadiluhung dan juga sebagai alat musik khas dari Jawa khususnya Yogyakarta.
Adanya penyelenggaraan Uyon-Uyon Hadiluhung dan menampilkan tari Bedhaya Sapta jelas terdapat identitas budaya yang dirangkum dari teori dalam berita Keraton Yogyakarta Hadirkan Bedhaya Sapta pada Puncak Peringatan Sewindu UU Keistimewaan yang diterbitkan oleh Kratonjogja.id adalah budaya yang mungkin jarang didengar oleh orang-orang khususnya masyarakat Yogyakarta masih berkembang dan tetap diajarkan kepada penari-penari Keraton.Â
Hal tersebut menjadi sorotan bagi kita terutama kaum milenial yang terbawa oleh zaman, untuk melestarikan dan dijaga keutuhan dari segi makna dan pola tarinya supaya tidak hilang atau musnah karena arus globalisasi yang sangat cepat dan pesat. Identitas budaya juga berarti bahwa budaya memiliki ciri khas, dapat disimpulkan tarian khususnya di Keraton Yogyakarta tidak lepas dari alat musik gendhing dimana merupakan peninggalan bersejarah bagi masyarakat Jawa.Â
Dilansir dari Kratonjoga.id, Sri Sultan Hamengku Buwono X memberikan apresiasi atas terselenggaranya agenda tersebut. Sultan mengatakan bahwa gelar seni yang menampilkan Bedhaya Sapta dan Beksan Bandabaya, dapat menggambarkan soliditas kepemimpinan DIY. "Restrukturisasi budaya menjadi dasar kebangkitan perspektif baru. Budaya Yogyakarta dapat berkembang dengan menanggalkan dan meninggalkan yang semestinya dibuang agar makin baik.Â
Selain itu, mengusung norma baru menuju normal baru untuk Indonesia baru. Sebab, penyelenggaraan budaya menjadi keniscayaan sejarah menghadapi masa depan yang kompleks," ujar Ngarsa Dalem. Dengan adanya pernyataan seperti itu, kita patut bangga dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X karena beliau membangunkan atau menghidupkan budaya-budaya Yogyakarta yang mulai terasingkan atau bahkan terkikis oleh perjalanan waktu yang semakin canggih. Sehingga kita sebagai warga asli Yogyakarta maupun wisatawan hendaknya menghargai atas peninggalan budaya yang sangat kental di Yogyakarta salah satunya tari Bedhaya Sapta.
Daftar Pustaka
Admin. (2020). Keraton Yogyakarta Hadirkan Bedhaya Sapta pada Puncak Peringatan Sewindu UU Keistimewaan. Diakses dari h pada 15 Desember 2020.
Sulaiman, Atan. (2020). Wiyosan Dalem akan Sajikan Bedaya Sapta. Diakses dari  pada 16 Desember 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H