Mohon tunggu...
Gabrella Harianja
Gabrella Harianja Mohon Tunggu... Lainnya - Teruslah belajar sampai detik-detik terakhir di hidupmu.

Seseorang yang ingin berguna bagi Nusa dan Bangsa.

Selanjutnya

Tutup

Book

Refleksi dari buku "Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama" -Yonky Karman

17 September 2024   20:04 Diperbarui: 17 September 2024   20:21 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Pustaka Sabda Agung

Bibliografi:

Karman, Yonky.  Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama.  Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019.

Saya meyakini bahwa Yesus Kristus bukan hanya jawaban atas segala pertanyaan, tetapi juga bagian dari pertanyaan itu sendiri. Dibutuhkan iman untuk mempercayainya. 

Namun, sangat disayangkan jika ada yang meragukan pekerjaan-Nya atau menyeleksi perkataan-Nya, seperti yang dilakukan oleh komunitas Jesus Seminar dalam penelitian mereka. 

Saya sepakat dengan Karman yang menekankan bahwa kitab Injil tidak dapat dibandingkan dengan tulisan-tulisan lain yang otoritasnya kurang diakui, seperti Injil Tomas yang bernuansa Gnostik.

Bab kedua membuat saya tersadar bahwa, dalam banyak diskusi modern, penciptaan seringkali dikesampingkan. Tafsir yang berfokus pada manusia telah mengurangi ketertarikan pada Tuhan sebagai Pencipta. 

Dyrness menyatakan bahwa penciptaan sering dianggap kurang penting dibandingkan penebusan, padahal dalam Alkitab urutan yang diberikan sangat jelas: "Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi." Penebusan adalah pemulihan atas kerusakan yang diakibatkan oleh dosa, dan penciptaan adalah awal dari segala sesuatu.

Laki-laki dan perempuan sama-sama diciptakan menurut gambar Allah. Mereka setara tanpa hierarki, meski memiliki peran yang berbeda. 

Perempuan disebut sebagai penolong bukan untuk menunjukkan statusnya, tetapi untuk melengkapi kekurangan Adam. Kesatuan antara manusia dan tanah menandakan kematian, sementara kesatuan laki-laki dan perempuan membawa kehidupan. 

Gerakan feminisme, meskipun kadang bisa radikal, seharusnya lebih fokus pada pemberdayaan perempuan daripada memberontak melawan dominasi laki-laki.

Bab ini juga menyoroti bahwa tanah yang diberikan Allah kepada umat-Nya bertujuan untuk menciptakan hubungan permanen dengan-Nya. Tanah Kanaan menjadi tanah perjanjian, tetapi Israel harus merebutnya dari bangsa-bangsa lain. 

Dalam Yosua 1:6-9, 18, mereka membutuhkan keberanian dan iman. Tanah ini sebenarnya milik Allah, dan Israel hanya menumpang. Dalam Perjanjian Baru, tanah berubah menjadi simbol ciptaan baru dalam Kristus, bukan lagi sekadar lokasi fisik. 

Pemberian tanah dalam Perjanjian Lama menjadi gambaran kehidupan berkelimpahan dalam Kristus.

Keprihatinan saya muncul ketika menyadari bahwa banyak umat Israel tidak dapat percaya kepada Yesus. Sebagai orang Kristen, kita tidak boleh sombong, karena kita hanya seperti tunas liar yang mendapat anugerah. Gereja sebagai ciptaan baru adalah kelanjutan dari umat Israel, dan melalui kematian Kristus, kita memiliki kesatuan rohani dengan mereka. 

Namun, proses menjadi umat Allah di Perjanjian Baru berbeda dengan keumatan Israel, karena dipengaruhi oleh penginjilan, perbedaan doktrin, dan partisipasi dalam perang.

Keselamatan, baik di Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, selalu didasarkan pada anugerah dan iman. Meski ada perbedaan dalam hal Yesus dan kehidupan kekal, keselamatan dalam Perjanjian Lama tetap berkaitan dengan Kristus. 

Setelah bertobat, umat Israel dipandu oleh Taurat dalam kehidupan sehari-hari, dan Kristus menebus kita bukan dari Taurat, tetapi dari perbudakan hukum.

Perang dalam Perjanjian Lama sering menimbulkan pertanyaan moral. Meskipun banyak perang terjadi atas perintah Allah, seringkali terdapat unsur hawa nafsu manusia di dalamnya. Oleh karena itu, perang dalam Perjanjian Lama perlu diinterpretasikan ulang dengan mempertimbangkan hak asasi manusia, tanpa mengabaikan nilai-nilai modern.

Bab tentang ratapan menyadarkan saya bahwa penderitaan adalah bagian dari kehidupan. Ratapan bukanlah penolakan terhadap kedaulatan Tuhan, tetapi ungkapan ketidakmengertian terhadap kekacauan yang dialami. 

Luther pernah mengatakan bahwa doa dan air mata adalah senjata gereja. Namun, sayangnya, tradisi ratapan semakin hilang dari gereja, padahal itu sangat penting untuk membantu jemaat keluar dari penderitaan melalui doa kepada Tuhan.

Doa dalam Perjanjian Lama bukanlah komunikasi satu arah. Doa adalah respons terhadap firman dan tindakan Allah, baik dalam bentuk pujian maupun ratapan. Ketika umat dalam pembuangan, yang ditekankan bukan kekuasaan Tuhan, tetapi keadilan dan kasih-Nya. 

Keberanian orang dalam Perjanjian Lama untuk berdoa timbul dari keyakinan mereka akan keadilan Allah. Sebagai umat Tuhan, kita harus berdoa dengan sikap rendah hati, menggabungkan sikap hati dan tubuh dalam doa yang penuh keberanian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun