Enam atau tujuh orang pemuda tampil menghentak panggung. Dandanan mereka nyleneh kalua tidak mau disebut aneh. Kadang memakai kostum pantai, berseragam SD, bahkan bertema hutan atau militer. Tak sampai disitu, rambut palsu dan riasan tebal pun dikenakan.Â
Tak jarang penampilan itu sungguh kontras dengan perawakan tegap mereka. Lagu pembuka berkumandang, sebuah lagu parodi atau plesetan dari jingle sebuah minuman energi yang sempat ngetop pada tahun 2000an.Â
Penonton memanas, tak Cuma kaget dan terhibur dengan penampilan aneh, namun juga lirik-lirik yang dibawakan.
Sastromoeni adalah salah satu band lawas asli Jogja. Nama Sastro merujuk pada Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM -kini Fakultas Ilmu Budaya-, tempat yang membidani lahirnya Sasmoen. Sedangkan muni artinya bunyi atau suara, sehingga Sastromoeni adalah suara dari mahasiswa Fakultas Sastra.
Terbentuk pada tahun 1987, Sasmoen punya spesialis meracik lagu-lagu parodi atau plesetan. Jogja memang kota penuh canda, sesuai dengan ruh masyarakatnya yang ramah dan gayeng atau hangat. Â
Pada awalnya Sastromoeni memilih bermusik secara akustik, seiring perkembangan zaman Sasmoen bersalin rupa. Menggunakan melodi dari lagu-lagu ternama saat itu dengan segala genre music: dangdut, pop, rock, blues, jazz dan menggubah liriknya. Temanya tak jauh-jauh dari nasib mahasiswa atau kondisi social.Â
Potongan-potongan lagu itu kemudian dijahit menjadi medley. Lagu-lagu pop dari Sheila on 7, Hijau Daun atau Armada dipadu dengan lagu-lagu Jawa, Mandarin, jingle iklan hingga India. Tak heran jika penampilan mereka selalu disambut gelak tawa penonton. Untuk mempertahankan eksistensi Sasmoen memberlakukan system regenerasi ditiap angkatan.Â
Artinya Sasmoen adalah milik seluruh mahasiswa FIB, bagi yang ingin bergabung bisa mendaftarkan diri pada registrasi terbuka tiap tahun. Entah bermain alat music, bernyayi atau menjadi kru. Di tahun 2019, band kampus ini telah menelurkan 16 formasi.
Musik parodi di Indonesia bisa ditelusuri lewat kehadiran Pancaran Sinar Petromaks (PSP) juga Warkop. Pada tahun 90an muncul Project Pop, grup sempalan dari Padyangan 6 yang juga tumbuh dari kampus.Â
Di Jogja, sebelum NDX , JHF atau Guyon Waton jadi tren, band-band local ini telah lebih dulu membuat music yang kental dengan kearifan local. Â Sri Redjeki mengawali karier musiknya dari kampus Insistut Seni Indonesia (ISI) Jogja pada medio tahun 2000 awal. Wong Jogja pasti akrab dengan lagu Watu Cilik atau Seniman.Â
Lirik-liriknya berbahasa Jawa penuh dengan humor dengan tema-tema social, percintaan hingga criminal. Keroncong dan dangdut jadi pilihan jenis musik mereka. Ada pula band Produk Gagal alias Produk Gagah yang juga tumbuh pada medio tahun 2000 dengan lagu andalannya Misteri dibalik Punggung.Â
Sementara itu band Jahanam yang kondang lewat lagu Tumini (Nggateli) tumbuh beberapa tahun setelahnya. Berbeda dengan Sasmoen yang memlesetkan lagu terkenal lalu menjadikan medley, tiga band ini  membuat sendiri melodi musinya. Mereka juga membuktikan bahwa bahasa Jawa bisa dipakai pada berbagai genre musik, dari pop hingga hip hop.
Musik adalah media pas dan Bahasa universal untuk menyebarkan pesan. Di tangan anak muda Jogja music-musik pop bisa disesuaikan dengan kondisi kultural setempat. Ini sama seperti semangat yang hendak diusung calon anggota DPD RI perwakilan DIY, Bambang Soepijanto.
Caleg nomer 24 ini hendak membangun Jogja dengan tetap menyesuaikan dengan karakter masyarakat setempat. Ini semata-mata agar nilai budaya tak luntur dimakan zaman dan memihak wong cilik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H